• Mitos: Pengembangan geotermal memicu gempa bumi dan meningkatkan risiko bencana.
• Mitos: Pengembangan geotermal mengganggu ketersediaan air tanah dan mengontaminasi sumber air bersih.
• Mitos:  Biaya pengembangan geotermal sangat tinggi dan tidak ekonomis.

Transisi energi menuju sumber daya yang lebih berkelanjutan menjadi isu global yang mendesak.  Geotermal sebagai energi terbarukan yang andal dan relatif konsisten, memiliki peran penting dalam upaya ini. 

Namun, persepsi masyarakat terhadap pengembangan geotermal seringkali diwarnai oleh miskonsepsi dan kekhawatiran yang perlu diluruskan agar penerimaan publik terhadap energi ini dapat meningkat. Artikel ini akan membahas beberapa mitos umum, memberikan fakta-fakta ilmiah sebagai klarifikasi, dan  menyertakan contoh nyata dari implementasi geotermal di Indonesia.

Mitos: Pengembangan Geotermal Memicu Gempa Bumi dan Meningkatkan Risiko Bencana

Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi peningkatan aktivitas seismik akibat pengembangan geotermal. Mitos ini berpusat pada anggapan bahwa pengeboran dan injeksi fluida dalam sistem enhanced geothermal system (EGS) akan memicu gempa bumi yang signifikan. Sebagai contoh, terdapat anggapan di kalangan masyarakat sekitar area geotermal Gunung Salak bahwa gempa berkaitan dengan aktivitas pengeboran geotermal. Namun, peristiwa gempa yang terjadi di Sukabumi, Jawa Barat pada Maret 2020 diperkirakan disebabkan oleh pergeseran sesar Citarik.

Faktanya, proses ini memang memicu kejadian seismik, tetapi umumnya berupa gempa-gempa kecil yang jarang terasa oleh manusia. Gempa-gempa ini disebut sebagai induced seismicity, dan magnitudonya jauh lebih rendah dibandingkan gempa tektonik.

Induced seismicity dipengaruhi oleh beberapa faktor utama, seperti karakteristik geologi lokasi, tekanan injeksi fluida, dan metode pengeboran yang digunakan. Oleh karena itu, studi mendalam dan pemantauan seismik ketat selama operasi geotermal sangat penting untuk meminimalkan risiko.

Teknologi modern memungkinkan deteksi dan pengukuran aktivitas seismik dengan tingkat akurasi yang tinggi sehingga memungkinkan respons yang cepat jika terjadi peningkatan aktivitas yang tidak diinginkan.

Mitos: Pengembangan Geotermal Mengganggu Ketersediaan Air Tanah dan Mengontaminasi Sumber Air Bersih

Kekhawatiran lain yang sering muncul adalah dampak pengembangan geotermal terhadap sumber air tanah. Terdapat anggapan bahwa proses pengeboran dan penggunaan air dalam sistem geotermal akan menguras air tanah dan mencemari sumber air bersih di sekitarnya.

Namun, dengan perencanaan dan manajemen yang tepat, dampak ini dapat diminimalisir.
Studi hidrogeologi yang terperinci dilakukan sebelum pembangunan pembangkit geotermal untuk memahami karakteristik hidrologi dan mengidentifikasi potensi dampak terhadap sumber air tanah.

Sistem manajemen air yang efektif, termasuk penggunaan teknologi daur ulang dan pengolahan air limbah, diimplementasikan untuk memastikan bahwa penggunaan air terkontrol dan tidak membahayakan sumber daya air lokal.

Di Dieng, Jawa Tengah, pengelolaan air limbah dari pembangkit geotermal dikelola dengan ketat untuk mencegah kontaminasi dan menjaga kualitas air. Teknologi pengolahan modern serta pemantauan berkala diterapkan guna memastikan keberlanjutan sumber daya air bagi masyarakat sekitar.

Baca juga

---

• Inovasi Teknologi Geothermal Indonesia Bersaing di Kancah Global
• PLN Pasok Listrik PLTP Ijen, Dukung Energi Terbarukan

---

Mitos: Biaya Pengembangan Geotermal Sangat Tinggi dan Tidak Ekonomis

Mitos lainnya menyebutkan bahwa biaya pengembangan geotermal sangat tinggi sehingga tidak ekonomis dibandingkan dengan energi fosil. Meskipun benar bahwa biaya investasi awal untuk proyek geotermal lebih tinggi dibandingkan dengan pembangkit listrik konvensional, penting untuk dicatat bahwa biaya operasional geotermal jauh lebih rendah karena tidak memerlukan bahan bakar. Sumber daya panas bumi yang berkelanjutan menghasilkan energi dengan biaya yang relatif stabil dan terprediksi dalam jangka panjang.

Sebagai contoh, pembangkit listrik geotermal di Kamojang, Jawa Barat, telah beroperasi selama beberapa dekade dan terbukti ekonomis. Meskipun investasi awal yang diperlukan cukup besar, biaya operasional yang rendah telah memberikan pengembalian investasi yang signifikan dan menghasilkan listrik dengan harga yang kompetitif.

Dukungan pemerintah melalui insentif dan kemudahan perizinan mendorong pengembangan geotermal, sekaligus meningkatkan daya saingnya terhadap energi fosil.

Dalam konteks ini, jika kita membandingkan harga listrik dari sumber energi yang berbeda, harga listrik geotermal berkisar antara 7 hingga 13 sen dolar per kWh, tergantung pada kapasitasnya. Ini jauh lebih murah dibandingkan dengan harga listrik dari bahan bakar minyak (BBM), yang dapat mencapai 20 sen dolar per kWh. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan aspek ekonomi jangka panjang, termasuk dampak lingkungan dan ketahanan energi, geotermal terbukti menjadi pilihan yang semakin ekonomis dan berkelanjutan.

Penutup

Beberapa mitos yang beredar di masyarakat tentang pengembangan geotermal seringkali didasari oleh kurangnya informasi dan pemahaman yang benar. Dengan pemahaman yang lebih akurat tentang teknologi, manajemen risiko, dan dampak lingkungan yang sebenarnya, persepsi negatif dapat diubah.

Contoh-contoh nyata dari pengembangan geotermal di Indonesia menunjukkan bahwa dengan perencanaan dan implementasi yang tepat, geotermal dapat menjadi sumber energi bersih, andal, dan berkelanjutan yang berkontribusi signifikan terhadap transisi energi nasional.

#ZonaEBT #Sebarterbarukan #EBTHeroes

Editor: Aghnia Tazqiah

Baca juga

---

• Panas Bumi dan Gempa Bumi, Apakah Berkaitan?
• Banyak Ditolak Warga, Apa Solusi Agar Panas Bumi Bisa Terus Maju?

---

Referensi

[1] Debunking Geothermal Myths (Mengupas Mitos-Mitos Geotermal)

[2] Pakar Geothermal Sepakat Pemboran Geothermal Tidak Mengakibatkan Gempa Bumi