
- Industri fashion, terutama fast fashion, berkontribusi pada pencemaran lingkungan melalui penggunaan bahan kimia berbahaya, serat mikro plastik, dan limbah tekstil. Pakaian sintetis seperti poliester melepaskan mikroplastik yang mencemari air dan tubuh manusia.
- Konsumsi tekstil diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat pada 2050, menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca dan pencemaran mikroplastik yang lebih parah
- Ellen MacArthur Foundation mengusulkan langkah-langkah seperti menghilangkan bahan kimia berbahaya, meningkatkan kualitas pakaian, dan memperkuat daur ulang untuk menciptakan industri fashion yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Sobat EBT Heroes pasti menganggap pakaian adalah bagian penting dari kehidupan. Selama ribuan tahun, manusia mengenakan pakaian untuk melindungi tubuh, memberikan kehangatan, menutupi diri, dan memenuhi kebutuhan kesopanan. Selain itu, pakaian juga menjadi sarana untuk mengekspresikan diri, menunjukkan kreativitas, dan mencerminkan status sosial. Dalam beberapa konteks, pakaian juga digunakan untuk memenuhi standar tertentu, seperti seragam sekolah yang menyamarkan perbedaan ekonomi antar siswa atau pakaian kerja yang menunjang profesionalitas.
Namun, hubungan kita dengan pakaian telah berubah drastis dalam beberapa dekade terakhir. Kini, pakaian tidak hanya berfungsi praktis tetapi juga menjadi bagian dari tren dan ekspresi kekayaan. Perubahan ini memicu berbagai tantangan lingkungan yang perlu kita perhatikan, terutama dalam konteks keberlanjutan.
Industri Fashion dalam Angka

Industri fashion adalah salah satu sektor ekonomi terbesar di dunia, dengan nilai mencapai $1,3 triliun pada 2018. Lebih dari 80 miliar artikel pakaian diproduksi setiap tahun, yang setara dengan rata-rata 10 pakaian per orang di seluruh dunia. Industri ini melibatkan lebih dari 300 juta pekerja, sebagian besar berada di negara berkembang seperti Bangladesh.
Namun, ada beberapa tren yang menjadi perhatian:
1. Produksi Berbiaya Rendah
Sebagian besar pakaian saat ini diproduksi di negara berkembang dengan biaya tenaga kerja rendah. Di Amerika Serikat, pada tahun 1990, 50% pakaian masih dibuat secara lokal. Kini, angka tersebut kurang dari 2%, memungkinkan harga pakaian menjadi jauh lebih murah.
2. Peningkatan Konsumsi
Karena harga yang lebih terjangkau, konsumen membeli lebih banyak pakaian, bahkan lebih dari kebutuhan mereka. Penjualan pakaian meningkat dua kali lipat dari tahun 2000 hingga 2015, lebih cepat dibandingkan pertumbuhan PDB global. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris menjadi kontributor utama dalam peningkatan konsumsi ini.
3. Penurunan Frekuensi Pemakaian
Seiring dengan bertambahnya jumlah pakaian, frekuensi penggunaan setiap artikel pakaian menurun hingga 36% selama 15 tahun terakhir. Di negara-negara maju, penurunan ini bahkan lebih drastis.
Fenomena Fast Fashion

Fast fashion adalah model bisnis yang dirancang untuk memproduksi pakaian dengan cepat dan murah, sambil memperkenalkan tren baru setiap beberapa minggu. Ini sangat berbeda dengan masa lalu ketika tren mode terbagi dalam empat musim utama. Kini, tren berubah dengan cepat, didorong oleh influencer media sosial yang mendorong konsumen untuk selalu mengikuti mode terbaru. Dampak fast fashion dapat menurunkan kualitas pakaian. Konsumen cenderung tidak peduli dengan kualitas pakaian karena hanya digunakan untuk waktu singkat sebelum diganti dengan item baru. Produsen juga mengikuti pola ini dengan menurunkan kualitas pakaian. Dengan waktu singkat, akan terjadi peningkatan limbah karena siklus pembelian dan pembuangan yang masif.
Dampak Lingkungan dari Produksi Pakaian
Industri tekstil adalah pencemar terbesar kedua di dunia. Berikut beberapa dampaknya:
1. Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
Kapas sebagai bahan utama pakaian membutuhkan insektisida dan herbisida dalam jumlah besar. Pewarna sintetis yang digunakan untuk memberi warna pada pakaian sering kali mengandung logam berat beracun.
2. Limbah Industri
Limbah dari pabrik tekstil sering kali dibuang langsung ke sumber air tanpa pengolahan, mencemari lingkungan lokal.
3. Regulasi yang Lemah
Negara-negara berkembang dengan regulasi lingkungan yang lemah menjadi pusat produksi pakaian. Bahkan jika ada aturan, politisi sering kali enggan menerapkannya karena takut kehilangan pekerjaan di sektor ini.
Baca Juga
- Alur Produksi dan Pemanfaatan Biomassa Woodchip
- Dari Rio ke Kyoto: Diplomasi Iklim dan Peran AS dalam Perubahan Global
Bahaya PFAS dalam Pakaian Kita

Industri tekstil modern memiliki masalah serius dengan bahan kimia PFAS (perfluoroalkyl and polyfluoroalkyl substances), atau yang sering disebut sebagai forever chemicals. PFAS ditemukan di berbagai produk seperti pakaian atletik, furnitur, karpet, bahkan kosmetik. Zat ini menjadi perhatian utama karena sifatnya yang tidak terurai di lingkungan, menyebabkan akumulasi yang luas di udara, air, dan tanah. Lebih mengkhawatirkan lagi, PFAS telah ditemukan dalam aliran darah manusia dan satwa liar, meskipun dampak pasti terhadap kesehatan kita belum sepenuhnya diketahui.
Stabilitas kimiawi PFAS membuat mereka sulit dihancurkan, sehingga terus bertahan di lingkungan. Ketika industri tekstil menggunakan PFAS dalam proses produksi, bahan ini berkontribusi pada pencemaran yang sulit ditangani. Sayangnya, banyak negara berkembang yang memproduksi pakaian tidak memiliki regulasi lingkungan yang memadai untuk mengontrol penggunaan zat berbahaya ini.
Serat Mikro Plastik: Ancaman Tersembunyi
Selain PFAS, industri tekstil juga bertanggung jawab atas pencemaran serat mikro plastik. Serat ini terutama berasal dari pakaian berbahan poliester, nilon, atau campuran poliester-katun. Ketika pakaian dicuci, serat-serat kecil ini terlepas dan masuk ke saluran air limbah. Karena ukurannya yang sangat kecil, serat mikro ini tidak bisa disaring oleh instalasi pengolahan air limbah, sehingga akhirnya mencemari sungai, danau, lautan, bahkan air minum.
Penelitian menunjukkan bahwa serat mikro plastik ini sudah ditemukan di hampir semua saluran air global, termasuk lokasi terpencil. Lebih buruk lagi, mereka masuk ke rantai makanan saat dimakan oleh satwa liar, seperti ikan dan burung. Ketika manusia mengonsumsi hewan-hewan ini, serat mikro juga berakhir di tubuh kita. Penemuan terbaru menunjukkan bahwa serat mikro bahkan bisa masuk ke aliran darah, yang berarti mereka telah mencapai tingkat nano plastik yang mampu melintasi membran jaringan tubuh.
Baca Juga
- Rumah dan Kota Berkelanjutan: Masa Depan yang Layak Huni
- Membangun Rumah Berkelanjutan: Sertifikasi Bangunan Hijau
Proyeksi Dampak Hingga 2050
Jika pola konsumsi dan produksi tekstil saat ini terus berlanjut, dampaknya akan semakin memburuk:
- Konsumsi Sumber Daya Meningkat: Menurut Ellen MacArthur Foundation, konsumsi sumber daya untuk tekstil diproyeksikan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050.
- Ketergantungan pada Minyak: Karena poliester berasal dari minyak bumi, permintaan serat ini akan mendorong penggunaan minyak hingga tiga kali lipat dibandingkan saat ini.
- Emisi Gas Rumah Kaca: Industri tekstil sudah menjadi salah satu penyumbang besar emisi karbon. Pada tahun 2050, emisi ini diperkirakan meningkat sepuluh kali lipat.
- Pencemaran Mikro Plastik: Diperkirakan 22 juta ton serat mikro plastik akan mencemari perairan dunia antara tahun 2015 dan 2050, memperburuk masalah lingkungan global.
Mengatasi Tantangan: Langkah Menuju Industri Tekstil yang Bertanggung Jawab
Meskipun dampaknya mengkhawatirkan, ada solusi yang dirancang untuk menciptakan industri tekstil yang lebih ramah lingkungan. Ellen MacArthur Foundation melalui laporan mereka, A New Textiles Economy: Redesigning Fashion’s Future, mengusulkan langkah-langkah berikut:
1. Menghapus Zat Kimia Berbahaya: Mengurangi atau menghilangkan bahan kimia seperti PFAS dari proses produksi tekstil.
2. Mengelola Serat Mikro Plastik: Mengembangkan teknologi untuk mencegah pelepasan serat mikro selama pencucian.
3. Meningkatkan Pemanfaatan Pakaian: Memproduksi pakaian dengan kualitas tinggi agar dapat digunakan lebih lama, mengurangi kebutuhan akan konsumsi berlebihan.
4. Mengoptimalkan Daur Ulang: Membangun infrastruktur dan teknologi yang efisien untuk menyortir, memisahkan, dan mendaur ulang pakaian di akhir masa pakainya.
5. Menggunakan Sumber Daya Terbarukan: Beralih ke bahan alami dan serat daur ulang, serta memanfaatkan energi terbarukan dalam produksi tekstil.
Dengan adopsi ekonomi sirkular, industri tekstil memiliki peluang besar untuk menjadi lebih bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan. Langkah-langkah ini memungkinkan mode menjadi sesuatu yang tidak hanya tentang gaya, tetapi juga tentang keberlanjutan dan tanggung jawab.
Fast fashion selama ini menciptakan dampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan dan sosial. Namun, dengan visi seperti yang ditawarkan oleh Ellen MacArthur Foundation, kita bisa melihat jalan menuju masa depan yang lebih cerah. Menghapus zat kimia berbahaya, memanfaatkan pakaian lebih lama, dan menggunakan bahan serta energi yang terbarukan adalah langkah penting menuju industri fashion yang mendukung keberlanjutan planet kita.
#ZonaEBT #Sebarterbarukan #EBTHeroes
Editor: Adhira Kurnia Adhwa
Referensi: