Konsumsi Makanan, Ketahanan Pangan dan Jejak Karbon

Ilustrasi Jejak Karbon atau Carbon Footprint. Sumber: https://pixabay.com/id/illustrations/gas-rumah-kaca-jejak-karbon-co2-7140634/
  • Konsumsi makanan merupakan salah satu aktivitas atau kegiatan yang dapat menimbulkan jejak karbon.
  • Pengembangbiakan, pengolahan hingga penyaluran bahan makanan tertentu dapat meningkatkan emisi gas karbon.
  • Perlunya mengembangkan kebijakan publik oleh pemerintah dalam upaya ketahanan pangan demi pengurangan kegiatan yang menimbulkan jejak karbon.

Saat ini, masyarakat semakin aktif berpartisipasi dalam mengurangi emisi karbon yang menyebabkan kerusakan lingkungan, pencemaran, dan perubahan iklim ekstrem. Berbagai upaya dan inovasi dilakukan oleh kelompok masyarakat serta individu untuk berperan aktif dalam mengurangi emisi karbon. Salah satu fokus gerakan tersebut adalah meminimalisir jejak karbon, yang merupakan jumlah karbon atau gas emisi yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas manusia, baik individu, kelompok, maupun korporasi.

Bagi pegiat dan pemerhati lingkungan, istilah ini sudah sangat dikenal. Jejak karbon disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia. Artikel ini akan membahas aktivitas yang menyebabkan peningkatan jumlah emisi karbon, terutama dalam konteks makanan sebagai kebutuhan pokok manusia.

Kegiatan Sehari-hari yang Dapat Meningkatkan Emisi Karbon

Potret Hidangan Berbahan Dasar Daging Sapi. Sumber: https://pixabay.com/id/photos/daging-makanan-protein-shish-kebab-1155132/

Mengurangi jejak karbon bukan berarti harus berhenti makan. Manusia memerlukan nutrisi untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Namun, penting untuk memperhatikan bagaimana makanan tersebut diproduksi dan didistribusikan. Misalnya, sapi merupakan salah satu sumber utama gas metana, gas rumah kaca yang paling melimpah setelah karbon dioksida.

Bagaimana sapi dapat mengeluarkan gas metana dalam jumlah yang besar? Sapi menghasilkan metana melalui pencernaan dan kotoran mereka, terutama melalui bersendawa dan perut kembung. Diperkirakan bahwa satu ekor sapi dapat menghasilkan 250 hingga 500 liter metana setiap hari. Pada awal tahun 2020, terdapat sekitar 1,4 miliar sapi di Bumi., yang mengindikasikan jumlah emisi yang sangat besar. Selain dari proses pengembangbiakan, distribusi daging sapi impor juga menambah emisi karbon.

Jika kalian menyukai konten siaran makan di depan kamera (mukbang), maka hal ini tidak akan asing. Belakangan ini konten-konten yang berisi kegiatan makan ataupun review tempat makan sangat populer di kalangan pengguna media sosial. Kalian akan banyak menemukan review seputar makanan atau tempat makan fancy, khususnya yang menyediakan daging sapi impor yang banyak digemari karena kualitasnya.

Banyak orang lebih memilih daging sapi impor dari Australia, Amerika, dan Eropa karena kualitasnya. Namun, proses pengiriman ini membutuhkan perjalanan jarak jauh yang signifikan, sehingga mengingkatkan emisi karbon. Selain daging sapi, banyak bahan makanan pokok lainnya juga diimpor. Oleh karena itu, hal ini dapat menambah jejak karbon keseluruhan.

Baca Juga:



Pemenuhan Ketahanan Pangan untuk Mengurangi Impor Bahan Makanan

Foto Ilustrasi Lahan Pertanian. Sumber: https://pixabay.com/id/photos/lapangan-jalan-pedesaan-jalan-desa-213364/

Di Indonesia, impor bahan makanan masih menjadi cara utama untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam negeri, termasuk daging sapi, beras, buah-buahan, dan sayuran. Kegiatan impor ini menghasilkan emisi karbon yang signifikan, selain membutuhkan energi besar untuk distribusinya. Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi pada impor beras dan komoditi lainnya, seperti gula, garam, susu, bawang merah, bawang putih, dan kedelai.

Meskipun dikenal sebagai negara agraris dengan sumber daya alam melimpah, sektor pertanian Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan beras secara mandiri Indonesia yang juga dikenal sebagai negara kepulauan karena memiliki daerah perairan yang luas, memberikan potensi besar untuk pengembangan pangan.. Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam melimpah. Seharusnya, pemerintah dapat membuat kebijakan ketahanan pangan yang lebih baik, bedasarkan potensi alam dan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, sejatinya kita memiliki banyak opsi dalam pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri.

Dengan pengelolaan potensi alam yang tepat, setiap daerah administrasi di Indonesia bisa mengembangkan pangan lokal, dan mengurangi ketergantungan pada bahan impor. Apabila ketahanan pangan nasional dapat ditingkatkan, maka jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke udara pun akan berkurang.

Baca Juga:



Apakah Kita Harus Menghentikan Konsumsi Makanan Impor?

Ilustrasi Taman atau Kebun di Rumah. Sumber: https://pixabay.com/id/photos/tanaman-hidroponik-pertumbuhan-1204662/

Melihat lahan pertanian yang semakin berkurang dan perkembangan industrialisasi yang pesat, mengurangi impor bahan pangan adalah tantangan besar. Ibarat membangun 1.000 candi dalam satu waktu, menghentikan impor bahan pangan dalam waktu singkat menjadi tidak realistis, mengingat bahan pangan adalah kebutuhan pokok yang produksi dalam negerinya belum mencukupi.

Namun, masyarakat dapat secara bertahap mengurangi konsumsi bahan pangan impor. Bagi kalian yang gemar mengonsumsi daging sapi, bisa mempertimbangkan protein alternatif, seperti ikan yang merupakan salah satu potensi laut di Indonesia. Selain itu, berkebun di rumah bisa menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri sekaligus mengurangi jejak karbon.

#zonaebt #EBTHeroes #Sebarterbarukan

Editor: Savira Oktavia

Referensi:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 Comment