- Tahun 2024 diprediksi akan menjadi tahun terpanas, memecahkan rekor suhu akibat kombinasi perubahan iklim dan fenomena El Nino.
- Perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia mengakibatkan peningkatan suhu ekstrem berdampak negatif pada kesehatan, pertanian, dan ketahanan pangan.
- Mengurangi emi gas rumah kaca melalui langkah-langkah kecil seperti penggunaan energi terbarukan dan kesadaran individu sangat penting untuk meminimalkan dampak perubahan iklim.
Perubahan iklim sering kali terjadi secara signifikan dalam jangka waktu tertentu. Perubahan iklim diartikan sebagai perubahan drastis pada suhu, cuaca, dan curah hujan. Peran manusia dalam perubahan iklim telah ditetapkan secara ilmiah.
Sejak tahun 1800-an, perubahan iklim telah dipicu oleh pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak. Pembakaran ini menghasilkan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan peningkatan panas matahari dan kenaikan suhu global.
Layanan pemantauan perubahan iklim Uni Eropa memprediksi bahwa 2024 akan menjadi tahun terpanas di dunia, berdasarkan data perubahan suhu pada bulan Juni. Menurut catatan Copernicus Climate Change Service (C3S) Uni Eropa, rata-rata suhu dunia telah memecahkan rekor selama 13 bulan berturut-turut.
Apa itu El Nino?
Melansir dari BetaHita, Reuters, ilmuwan peneliti di Berkeley Earth, Zeke Hausfather, menyatakan bahwa perubahan iklim disebabkan oleh manusia, dan fenomena cuaca alami El Niño menciptakan suhu panas yang menjadi rekor tertinggi pada tahun ini.
El Niño adalah fenomena pemanasan suhu muka laut (SML) di atas kondisi normal yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah hingga timur. Intensitas El Niño terbagi dalam tiga skala, yaitu El Niño lemah (0,5 – 1.0), El Niño moderat (1.0 – 2.0), dan El Niño kuat (lebih dari 2.0).
El Niño menyebabkan perubahan iklim dan berdampak pada cuaca dalam jangka waktu yang lebih pendek, seperti yang terjadi pada tahun 2023. Menurut Badan Iklim PBB, IPCC, pemanasan bumi yang sangat cepat dalam jangka waktu satu tahun tidak sepenuhnya alami.
Baca Juga:
- Our Digital Carbon Footprints: Get to Know More!
- Konsumsi Makanan, Ketahanan Pangan dan Jejak Karbon
Ilmuwan kimia di Institut Grantham, Imperial College London, menyebutkan bahwa peristiwa El Niño bisa datang dan pergi kapan saja. Perubahan iklim jangka panjang disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti penggunaan bahan bakar fosil, batu bara, minyak, dan transportasi. El Niño tidak bisa dihentikan begitu saja, tetapi dampaknya bisa dikurangi dengan menghentikan pembakaran minyak, gas, dan batu bara.
Selama revolusi industri, penggunaan besar bahan bakar fosil menyebabkan peningkatan CO2 di atmosfer sebanyak 50%. CO2 yang terlepas dari pembakaran bahan bakar fosil memiliki jejak kimiawi yang khas, yang semakin banyak terdeteksi di atmosfer.
Perubahan iklim menimbulkan konsekuensi bencana di seluruh dunia pada tahun 2024. Lebih dari 1.000 orang tewas dalam panas terik selama ibadah haji bulan lalu. Kematian akibat panas juga tercatat di New Delhi, yang mengalami gelombang panas yang sangat panjang, dan di antara wisatawan di Yunani.
Frekuensi dan intensitas gelombang panas merupakan salah satu penanda penting perubahan iklim. Menurut data NOAA, terjadi peningkatan signifikan jumlah hari bersuhu ekstrem sejak 1950. Sebagai contoh, dibandingkan dengan pertengahan abad ke-20, hari-hari dengan suhu melebihi 35°C di AS telah berlipat ganda. Sementara itu, gelombang panas di Eropa pada 2003 mengakibatkan lebih dari 70.000 korban jiwa, menunjukkan betapa berbahayanya fenomena ini.
Dampak Suhu Ekstrem
Perubahan iklim telah memberikan pengaruh yang nyata di Indonesia. Berdasarkan data BMKG, terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan di sejumlah area. Jakarta mencatatkan suhu harian tertinggi hingga 38°C pada tahun 2020, yang menjadi rekor terpanas dalam puluhan tahun terakhir. Kenaikan temperatur ini mengakibatkan berbagai masalah serius, termasuk meningkatnya kemungkinan terjadinya kebakaran hutan, kondisi kekeringan yang lebih parah, serta ancaman terhadap kesehatan penduduk.
Kenaikan suhu juga dapat menurunkan hasil pertanian, mengancam ketersediaan pangan, dan memperparah kondisi kemiskinan di banyak wilayah. Tanaman pokok seperti gandum, jagung, dan padi sangat rentan terhadap perubahan suhu dan pola curah hujan. Menurut FAO, tanpa upaya mitigasi yang berarti, perubahan iklim bisa mengurangi produksi pangan global hingga 10% pada tahun 2050. Hal ini akan berdampak besar pada ketahanan pangan, khususnya di negara berkembang yang mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber utama penghidupan dan pangan masyarakat.
Baca Juga:
- Efisiensi Energi: Menghadapi Tantangan Lingkungan dan Ekonomi
- Deretan Negara yang Gemar Memasak dengan Panas Bumi
Dr. Hausfather menyatakan bahwa tahun 2024 mungkin lebih panas dari tahun 2023 akibat pelepasan panas dari permukaan laut ke atmosfer. Namun, prediksi ini sulit dipastikan karena perilaku El Niño yang tidak biasa saat ini. Menurut Badan Meteorologi Inggris, ada kemungkinan besar bahwa suhu global di tahun 2024 akan melewati batas kenaikan 1,5°C selama satu tahun penuh untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Langkah Kecil Mengurangi Emisi
Beberapa langkah kecil untuk mengurangi dampak buruk perubahan iklim meliputi menekan emisi gas rumah kaca, beralih ke energi terbarukan, dan meningkatkan kesadaran publik tentang pelestarian lingkungan. Ini penting untuk meminimalkan efek negatif perubahan iklim. Beberapa negara telah mengupayakan target pengurangan emisi, seperti yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015, di mana banyak negara telah menetapkan sasaran ambisius untuk mengurangi emisi. Tujuan utamanya adalah membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C, dengan upaya optimal untuk tidak melampaui 1,5°C.
Upaya mengurangi emisi gas rumah kaca tidak hanya tergantung pada kebijakan pemerintah. Masyarakat juga memiliki peran krusial. Kesadaran individu tentang pentingnya pengurangan jejak karbon dapat dilakukan dengan cara mengurangi penggunaan energi, berjalan kaki, atau menggunakan kendaraan listrik.
#zonaebt #Sebarterbarukan #EBTHeroes
Editor: Savira Oktavia
1 Comment