
- SDM hanya diperlakukan sebagai komoditas, bukan individu yang memiliki potensi, selain itu green job seharusnya tidak hanya dilihat dari sektor ramah lingkungan, tetapi juga dari pengetahuan dan kesadaran lingkungan karyawan yang terlibat.
- Generasi muda dibebani ekspektasi tinggi, namun terhambat oleh sistem kerja hierarkis dan pola pikir usang.
- Transisi energi dan bioenergi kerap disalahartikan sebagai solusi bersih tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial secara menyeluruh.
Sobat EBT Heroes di era saat kita mengalami bonus demografi, sudah barang tentu selalu dibarengi dengan permasalahan klasik namun tetap susah diselesaikan, yaitu pengangguran. Karena isu krusial ini beberapa waktu lalu jagat media ramai membahas video Wakil Presiden RI yang mengangkat tema bonus demografi. Lalu, apa dampaknya? Bukankah narasi tersebut telah lama menjadi perbincangan dan harusnya pemerintah bukan lagi mengulang-ulang narasi lama. Melainkan bergerak beberapa langkah ke depan, yaitu pada rencana penyelesaian dan pengelolaannya, karena harusnya konsep dan ide bonus demografi sudah selesai dibahas.
Faktanya saat ini kita hanya dilihat sebagai statistik, ditandai dengan nilai satu dan tidak dilihat sebagaimana realistiknya manusia. “Komoditas” itulah bagaimana nilai kita sebagai manusia sekarang. Itulah mengapa muncul istilah sumber daya manusia (SDM). Bukan sebuah sistem untuk membangun manusia melainkan memetakan dan mengkapitalisasi manusia sebagai sebuah barang dagang. Dari semua itu sarana untuk menilai komoditasnya adalah menggunakan statistik yang saat ini difokuskan untuk dilakukan pemerintah alih-alih membuat rencana solusinya.
Nasib Green Job Tidak Akan Sepenuhnya Bersih
Lapangan kerja hijau saat ini hanya jadi slogan upaya untuk terlihat bersih dan memenuhi standar kualifikasi sebagai salah satu alat kelengkapan citra perusahaan. Green job selalu dilihat sebagai salah satu solusi dalam perubahan iklim yang kian menjadi topik utama. Semua isu terkait lingkungan jika dibarengi dengan lapangan pekerjaan maka “green job” akan menjadi salah satu jawaban pamungkas. Narasi ini sudah sering didengar oleh masyarakat Indonesia saat ini, seperti “hilirisasi, swasembada, Indonesia emas” dan puncak dari semua itu adalah “makan bergizi gratis” (MBG).
Faktanya posisi atau lapangan kerja yang dikatakan green job seharusnya tidak sekadar mengenai bagaimana perusahaan bergerak di sektor ramah lingkungan. Tetapi juga menyangkut terkait dengan esensi pengetahuan dan kualitas SDMnya. Alasan mengapa saat ini gerakan hijau tidak hanya soal bagaimana energi yang menghasilkan polusi dan menyebabkan pemanasan global. Melainkan juga terkait dengan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia di luar dari upaya menghasilkan energi.
Sebenarnya masalah sosial yang sangat klise untuk disebut, namun memang menjadi salah satu alasan utama, yaitu pola pikir masyarakat yang jauh dari konsekuensi lingkungan. Seperti membuang sampah sembarangan, menggunakan produk yang merusak lingkungan, tindakan tidak bertanggungjawab pada pengerusakan lingkungan, dan yang terparah adalah ketidakpedulian lingkungan.
Pola pikir masyarakat ini yang harus dibenahi lebih dulu sebelum menggemborkan pengembangan green job pada semua sektor yang berhubungan atau berkontribusi untuk lingkungan. Karena label green job pada karyawan untuk tujuan peningkatan upaya mitigasi iklim harus memiliki makna yang sama dengan peningkatan data sektor green job itu sendiri.
Sejalan dengan itu, Ciocirlan mendefinisikan karyawan hijau sebagai seseorang yang “memiliki identitas lingkungan, motivasi intrinsik untuk melindungi lingkungan melalui pekerjaan, dan yang bertujuan untuk menjaga konsistensi antara perilaku lingkungan rumah dan kantor.”
Lalu, bagaimana jika karyawan tersebut masih melakukan tindakan yang merusak lingkungan?
Baca Juga
- Biomassa Masih Belum Terlalu Menggoda Dibandingkan Fosil
- Prabowo’s Swasembada Energi Without New Renewable Energy Will Be Useless
Jika pekerja sektor green job masih membuang sampah sembarangan, maka tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip green job. Karena hal tersebut seharusnya tidak dapat dianggap sebagai pekerja hijau. Akan tetapi hubungan antara pekerjaan ramah lingkungan dan perilaku karyawan adalah hal yang sangat kompleks dan penuh nuansa.
Beberapa pekerja green job menunjukkan perilaku lingkungan yang positif karena ada faktor tertentu yang memengaruhinya. Bagaimanapun perusahaan yang berani melabeli diri sendiri dengan pekerjaan green job harusnya punya standar, tidak hanya skill yang mumpuni untuk posisi tertentu. Namun juga terkait pengetahuan dasar dan mentalitas perusahaan serta karyawannya akan kesadaran lingkungan yang baik.
Mengingat definisi green job yang sangat luas, maka kriteria dan faktor untuk penilaian apakah green job yang ada sesuai dan memenuhi klasifikasi atau tidak jadi krusial. Oleh karena itu dengan adanya kondisi ini harusnya dalam praktek pekerja yang masuk klasifikasi green job bisa dibatalkan statusnya. Namun, menggunakan metode ini akan menghasilkan berbagai macam biaya, terutama dalam asesmen, serta kemungkinan menjadi batu sandungan dalam upaya peningkatan sektor ini.
Melalui perspektif baru ini diharapkan dapat menciptakan kesadaran yang berkesinambungan antara pekerjaan dan gaya hidup, sehingga dapat mewujudkan tujuan mitigasi iklim. Jadi menurut Sobat EBT Heroes, apakah menjadi sebuah kewajiban jika memiliki etika lingkungan yang baik untuk dapat dikatakan sebagai pekerja sektor green job selain dari kualifikasinya?

Harus Sehijau Apa Green Job?
Ada beberapa aspek yang dapat dilihat dalam kriteria green job. Pertama, tuntutan pekerjaan hijau, yang menggambarkan sejauh mana pekerjaan mengharuskan karyawan untuk mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan. Kedua, otonomi pekerjaan hijau, yang mengacu pada kebijaksanaan yang diberikan oleh pekerjaan seseorang untuk membuat keputusan dan terlibat dalam perilaku yang terkait dengan keberlanjutan lingkungan.
Dalam hal ini ada sedikit perbedaan yang mendasar terkait dengan green job, fokusnya apakah hanya pada kontribusi pekerja saja dalam pekerjaannya atau juga dihitung dalam ranah individu. Perilaku ramah lingkungan karyawan mungkin lebih relevan dengan peran pekerjaan formal beberapa karyawan (misalnya, petugas keberlanjutan organisasi) daripada yang lain (misalnya, kasir supermarket).
Employee green behavior (EGB) dapat ditentukan secara formal oleh organisasi. Misalnya, menciptakan produk yang berkelanjutan, memberikan layanan dengan cara yang berkelanjutan, dan yang paling penting kesadaran karyawan akan lingkungan.
Dari semua itu kesadaran lingkungan tidak hanya diberatkan pada individu atau juga pada komunitas tertentu saja. Akan tetapi harus dimulai dari pemerintah yang memiliki instrumen kebijakan dan semua perangkat yang mendukung. Dengan membiarkan rakyat didorong mandiri tanpa pembinaan baik skill maupun kesadaran lingkungan, itu bukan sebuah solusi untuk membuat negara maju.
Karena dengan mengesampingkan tanggung jawab dan malah fokus pada eksploitasi sumber daya manusia. Berujung akan menciptakan kerentanan pada negara yang memiliki 280 juta penduduk. Kerusakan seperti itu tidak akan bisa dipulihkan dalam waktu singkat. Terus terang saja, kita akan melihat tidak ada seorang pun yang mau menanggungnya, bahkan negara ini sendiri.
Masalah Utama Indonesia Bukan Sekadar Menyediakan Green Job!
Secara gamblang bisa dilihat tanpa harus memerlukan analisa atau skill tertentu, Sobat EBT Heroes akan dengan mudah melihat masalah Indonesia. Di mana remaja atau generasi penerus diberikan beban yang di luar nalar pada aspek sumber daya manusia. Generasi ini diberikan beban untuk dapat menguasai teknologi, kemampuan komunikasi, skill serta memahami generasi sebelumnya.
Generasi sebelumnya mungkin secara alami digembleng dalam aturan yang keras dan pada era itu dikenal sebagai “perploncoan”. Dimana perspektif itu sangat keras di era sekarang, cerita itupun sebenarnya tidak bisa digunakan sebagai sebuah komparasi dengan generasi selanjutnya terkait betapa unggul dan kuatnya mereka menghadapi zaman. Menggunakan narasi itu adalah sebuah sesat pikir, karena pada dasarnya menormalisasi penghilangan hak dasar manusia yang membuat negara ini beradab.
Selain itu mereka tidak dibebani ekspektasi untuk membuat negara ini maju, mereka dibebani untuk memiliki mental yang kuat, generasi penerus yang dibebani ekspektasi itu. Bukan berarti isu perploncoan menjadi terlihat remeh dengan perbandingan ini. Perploncoan sangat berpengaruh pada generasi sebelumnya dan berujung pada korban jiwa.
Apalagi jika dilakukan dalam ranah profesional merupakan salah satu kejahatan di dunia pekerjaan, kita bisa melihat isu terbaru di Kementerian Pendidikan. Namun bukan berarti budaya ini bisa kemudian diturunkan ke generasi selanjutnya bahkan menambah ekspektasi baru, yakni untuk tidak menggagalkan bonus demografi yang dicita-citakan guna dapat menjadi batu loncatan bersejarah. Kemungkinan bahwa korban perploncoan akan menjadi pelaku dikemudian hari sangat besar. Selain itu ini akan menjadi masalah lain yaitu turnover yang tinggi dalam sebuah perusahaan.
Saat ini seakan-akan kita lupa pada fakta bahwa sebagian besar regenerasi yang ada di pucuk kepemimpinan masih dipegang oleh generasi hasil perploncoan dan kolot yang mementingkan hierarki. Alhasil meskipun marak perusahaan sekarang ingin merekrut penerus yang lebih muda dengan harapan masih memiliki semangat dan ide serta idealisme yang tinggi berakhir gagal total. Sebab aplikasinya tidak seperti itu, ada hambatan pada pola hirarki dan pemikiran kolot dalam perusahaan.
Tetapi generasi penerus terus menjadi sorotan utama kegagalan dalam prosesnya. Padahal sistemnya sendiri tidak sehat dan tidak pula men-support perubahan itu. Gen Z dan generasi selanjutnya akan menjadi korban yang tak akan pernah bisa mendapat haknya. Mereka ditampar fakta untuk menerima pendahulu yang telah rusak dan merugikan, dipaksa memperbaiki, sekaligus dihambat oleh struktur yang masih dipimpin oleh pendahulunya.

Bioenergi yang Punya Nasib sama seperti Green Job dan SDM
“Setiap generasi punya tantangannya masing-masing. Sekarang terkesan ada di media dan sosial media, seakan-akan sekarang banyak orang yang menganggap generasi sekarang ini kurang. Tapi percayalah bapak ibu, kita dulu waktu seumuran mereka juga dianggap kurang sama generasi yang lebih tua daripada kita,” ujar Rici Ronaldo, Sub Koordinator Layanan Pencari Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia melihat bagaimana kondisi perusahaan di pasar kerja yang tidak realistis.
Beliau menekankan kepada perusahaan untuk dapat dengan baik melihat potensi SDM untuk berkembang alih-alih menilai terlalu cepat pelamar kerja. “Kita menyebut generasi sekarang strawbery atau apa itu, namun kita lupa jika kita yang membesarkannya, kita yang membentuknya,” tambah Rici dalam melihat keberlanjutan pasar kerja dan persaingan internasional yamg makin timpang.
Begitulah harusnya saat kita melihat transisi energi, upaya ini memang diperuntukan sebagai salah satu langkah mitigasi iklim. Sebuah langkah strategis dan menjadi kunci menurunkan karbon melalui pemberhentian penggunaan batu bara. Akan tetapi pada kenyatannya embel-embel energi bersih (yang tidak sepenuhnya bersih) digunakan untuk menutupi aktivitas energi kotor. Sebut saja yang paling dekat dengan kita, seperti kendaraan listrik akan dilihat sebagai salah satu kendaraan ramah lingkungan.
Padahal pemikiran ini adalah omong kosong terbesar, yang menjadikan mobil listrik bersih adalah bukan karena tidak menghasilkan karbon melainkan asal listriknya. Jika listrik negara masih menggunakan fosil maka peningkatan penggunaan kendaraan listrik hanya akan menimbulkan peningkatan pembangunan pembangkit yang disokong oleh fosil. Banyak masyarakat yang masih terjebak dalam pola pikir ini, kesalahan yang sama juga terkait dengan bioenergi, apa itu?
Baca Juga
- Kampanye Hitam Berbayar Melawan Transisi Energi Bersih
- PT ThorCon Power Indonesia: Nuclear Energy Sector Has a Share of 11% in 2060
Bioenergi dianggap sebagai salah satu energi yang ramah lingkungan yang dapat dilihat dari berbagai macam kampanye yang ada mengunggulkan sektor ini dibandingkan fosil. Kesalahan utama adalah terkait dengan sumbernya, apakah didapat secara berkelanjutan atau tidak atau bahkan melalui serangkaian pengerusakan hutan serta ancaman pada habitat hewani. Kita terjebak pada pandangan yang masih belum melihat sebuah produk solusi mitigasi iklim dengan lebih jauh dan mendalam. Ini adalah pekerjaan rumah terbesar Indonesia, bisa menjembatani jurang pemisah yang lebar antara masalah dan solusi nyata.
Kegagalan itu menjadi alasan kenapa kita melihat konflik terkait kelapa sawit dengan Uni Eropa sebagai sebuah upaya mematikan pasar dalam negeri. Sejatinya memang ada aspek terkait kepentingan oleh Uni Eropa, namun perlu dilihat mereka melakukan kebijakan tersebut berdasarkan aspek yang mendalam. Tidak hanya sebatas pada persaingan komoditas kelapa sawit dengan produksi minyak biji matahari Uni Eropa, melainkan juga pada isu yang menyertainya.
Seperti pola tanam yang merusak hutan, mengesampingkan kesejahteraan pekerja dan indikasi mempekerjakan anak di bawah umur. Aspek ini yang kemudian tidak diperlihatkan oleh pemerintah dan malah menggunakan kampanye mengambil simpati rakyat (lewat nasionalisme) untuk melawan Uni Eropa karena menghambat komoditas Indonesia. Jika coba menilik kembali isu yang dilihat Uni Eropa tidak sepenuhnya salah, memang faktanya lahan kelapa sawit sebenarnya adalah hutan.
Pemerintah tidak berani mengelak karena faktanya memang demikian, jika diteruskan bisa lebih parah dan menjadi bumerang serta mendapatkan kritik domestik. Oleh karena itu pemerintah menggunakan alasan kesetaraan dalam menghadapi isu ini. Sebuah langkah yang harusnya dapat dilihat secara gamblang oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu indikasi bahwa negara ini tidak peduli sebenarnya dengan iklim.
Meskipun sudah menjadi pengetahuan umum kerusakan lingkungan akan menyebabkan kerugian yang besar dan merugikan rakyatnya. Lewat pola yang ada seharunya Sobat EBT Heroes sudah bisa tahu bagaimana negara ini akan merespon. Melalui serangkaian program nasional demi kepentingan nasional yang dibangun tanpa studi yang komprehensif serta bertanggung jawab.
Fakta terakhir dari semua ini yang mungkin sering dilupakan adalah bahwa kita sebagai masyarakat punya kewajiban untuk menjaga keseimbangan pemerintah. Masyarakat adalah pasar yang laku 5 tahun sekali, karena itu harga kita akan naik lagi pada tahun 2029. Tetapi hal itu akan terjadi jika kita tidak tergiur oleh janji manis dan serangan fajar. Oleh karena itu apabila kita sengaja gagal sebagai masyarakat dengan tidak melakukan kewajibannya, sudah seharusnya tidak memposisikan diri sebagai korban dari kebijakan.
#zonaebt #EBTHeroes #Sebarterbarukan
Editor: Tri Indah Lestari
Referensi
[LIVE] SEMINAR KARIER : KARIER ZAMAN NOW. (n.d.). YouTube. https://www.youtube.com/live/DIyledSwH2k?feature=shared
Ren, S., Tang, G., & Zhang, S. (2022). Small actions can make a big difference: voluntary employee green behaviour at work and affective commitment to the organization. British Journal of Management, 34(1), 72–90. https://doi.org/10.1111/1467-8551.12597
Ciocirlan, C. E. (2016). Environmental workplace behaviors. Organization & Environment, 30(1), 51–70. https://doi.org/10.1177/1086026615628036
Stein, M., Kühner, C., Katz, I. M., & Zacher, H. (2025). Do green workplaces grow green employees, and vice versa? Investigating reciprocal relations between green work characteristics and proactive employee green behaviour. European Journal of Work and Organizational Psychology, 1–15. https://doi.org/10.1080/1359432x.2025.2468649
Kristensen, A. K., Kristensen, M. L., & Mikkelsen, E. G. (2023). Workplace hazing in nursing: An integrative literature review. Health Sciences Review, 9, 100120. https://doi.org/10.1016/j.hsr.2023.100120
Ciocirlan, C. E. (2022). Have me do, and I’ll always be true: Exploring the match between green employees and their jobs. Journal of Cleaner Production, 383, 135471. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2022.135471
Zacher, H., Rudolph, C. W., & Katz, I. M. (2022). Employee green behavior as the core of environmentally sustainable organizations. Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior, 10(1), 465–494. https://doi.org/10.1146/annurev-orgpsych-120920-050421
Yang, W., & Xu, S. (2023). Should we be more mindful? The joint Impact of an abusive work environment and Mindfulness on Employee Well-Being and Turnover Intentions. Journal of Hospitality & Tourism Research, 48(4), 712–724. https://doi.org/10.1177/10963480231156832
Perpeloncoan dapat timbulkan rasa dendam. (n.d.). Analisadaily.com. https://analisadaily.com/berita/arsip/2016/7/23/251710/perpeloncoan-dapat-timbulkan-rasa-dendam/
Comment closed