
- Sektor penerbangan menghadapi tantangan besar dalam mengurangi emisi karbon seiring dengan proyeksi pertumbuhan jumlah penumpang yang signifikan.
- Negara-negara di Asia, seperti Singapura, Malaysia juga Indonesia, telah mengambil langkah proaktif dalam mengadopsi SAF.
- Meskipun upaya positif oleh Pertamina pada SAF, tantangan seperti biaya produksi dan kapasitas produksi masih perlu diatasi.
SAF Jadi Salah Satu Sektor yang Paling Disorot dalam Upaya Mitigasi Iklim
Tantangan global pada emisi yang dihasilkan dari sektor penerbangan sangat menghawatirkan. Jika proyeksi pertumbuhan jumlah penumpang global lebih dari 100% dalam dua dekade ke depan, industri penerbangan menghadapi tantangan besar dalam mengelola dampak lingkungan dari pertumbuhan tersebut.
IATA (International Air Transport Association), memperkirakan bahwa pertumbuhan penumpang internasional akan paling cepat terjadi di Asia Pasifik, yang menunjukkan potensi besar bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan kontribusi mereka dalam industri penerbangan.
Pertumbuhan permintaan untuk bahan bakar penerbangan diperkirakan akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2050, yang menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan penggunaan bahan bakar fosil. Saat ini industri penerbangan telah mencapai beberapa kemajuan dalam pengurangan emisi, termasuk peningkatan efisiensi bahan bakar pesawat dan pengelolaan lalu lintas udara yang lebih baik.
Namun, meskipun ada kemajuan ini, tantangan tetap ada dalam meningkatkan penggunaan bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF). SAF menawarkan solusi untuk mengurangi emisi karbon, tetapi adopsinya masih terbatas. Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan penggunaan SAF di seluruh dunia, yang tidak hanya membantu mengatasi tantangan lingkungan. Akan tetapi juga mendukung aspek sosial dan ekonomi dari industri penerbangan.
Salah satu tantangan utama dalam transisi ke SAF adalah kurangnya alternatif bahan bakar jangka pendek yang kredibel. Penerbangan memerlukan kepadatan energi yang tinggi, dan proses produksi bahan bakar jet saat ini membutuhkan fasilitas besar yang rumit. Selain itu, bahan baku untuk bio-jet berbasis biomassa harus mudah diakses dan berbiaya rendah agar dapat bersaing dengan bahan bakar fosil.
Baca Juga
- Indonesia’s New President Has A Military Background, Will Nuclear Become Energy?
- PT ThorCon Power Indonesia: Nuclear Energy Sector Has a Share of 11% in 2060
Namun, biomassa memiliki kadar oksigen yang tinggi, yang dapat mempengaruhi efisiensi konversi dan biaya produksi. Meskipun teknologi biojet telah mengalami kemajuan, masih diperlukan upaya lebih besar untuk meningkatkan efisiensi konversi biomassa dan menurunkan biaya produksi agar SAF dapat diadopsi secara luas.
Secara keseluruhan, industri penerbangan berada di persimpangan antara pertumbuhan yang pesat dan kebutuhan mendesak untuk mengurangi dampak lingkungan. Dengan proyeksi pertumbuhan yang signifikan dalam jumlah penumpang dan permintaan bahan bakar, penting bagi industri penerbangan untuk berinvestasi dalam teknologi yang lebih berkelanjutan dan efisien.
Pengembangan dan adopsi SAF merupakan langkah penting dalam mencapai keberlanjutan di sektor penerbangan, dan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan peneliti akan menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ini. Hanya dengan pendekatan yang holistik dan inovatif, industri penerbangan dapat berkontribusi pada upaya global untuk mengatasi perubahan iklim dan mencapai tujuan keberlanjutan. Meski terdengar sangat kompleks, pengaplikasian SAF telah dilakukan oleh beberapa negara.

Penggunaan Sustainable Aviation Fuel di Asia
Di kawasan Asia, sejumlah negara dan maskapai penerbangan telah mulai mengadopsi Sustainable Aviation Fuel (SAF) sebagai bagian dari upaya mereka untuk mengurangi jejak karbon dan berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan. Salah satu contoh yang menonjol adalah Singapura, yang berencana untuk mewajibkan semua penerbangan yang berangkat dari negara tersebut untuk menggunakan SAF mulai tahun 2026. Langkah ini mencerminkan komitmen Singapura untuk berpartisipasi dalam inisiatif global yang bertujuan untuk mengalihkan industri penerbangan ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
Baca Juga
- Biomassa Bisa Jadi Alternatif Energi Sektor Pertahanan
- Oppenheimer’s Movie! Does Nuclear Look Like a Weapon or Energy?
Komitmen Singapura terhadap SAF
Singapura, sebagai salah satu pusat penerbangan utama di Asia, mengambil langkah proaktif dalam mengadopsi SAF. Dengan mewajibkan penggunaan bahan bakar ini, Singapura tidak hanya berupaya mengurangi emisi karbon dari sektor penerbangan, tetapi juga berfungsi sebagai contoh bagi negara-negara lain di kawasan tersebut. Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah Singapura memahami pentingnya keberlanjutan dan berkomitmen untuk menjadi pemimpin dalam transisi energi di industri penerbangan.
Inisiatif Malaysia dalam Penggunaan SAF
Tidak hanya Singapura, Malaysia juga menunjukkan komitmen yang kuat terhadap penggunaan SAF. Melalui Peta Jalan Transisi Energi Nasional yang diterbitkan pada tahun 2023, Malaysia menetapkan mandat pencampuran SAF yang dimulai dengan 1 persen. Target ini menunjukkan langkah awal yang signifikan dalam transisi menuju penggunaan bahan bakar yang lebih berkelanjutan. Selain itu, Malaysia menargetkan untuk mencapai campuran SAF sebesar 47 persen pada tahun 2050, yang mencerminkan ambisi besar negara tersebut dalam mengurangi emisi karbon di sektor penerbangan.

Implementasi SAF Indonesia
Pertamina telah melakukan riset dan inovasi sejak 2010 untuk mengolah Used Cooking Oil (UCO) menjadi SAF, dan telah berhasil melakukan uji coba serta mendapatkan sertifikasi internasional untuk produk SAF yang dihasilkan. Di event Bali International Air Show, September 2024, Pertamina Patra Niaga (PPN) melakukan trial penjualan SAF kepada customer airline di event tersebut.
Selain itu Pertamina bekerja sama dengan subholding dan anak perusahaan untuk memperkuat ekosistem SAF, mencakup riset, produksi, pemasaran, dan pemberdayaan masyarakat, termasuk program pengumpulan minyak jelantah dari masyarakat. Pertamina berupaya mendukung swasembada energi dan mengurangi emisi di industri penerbangan dengan memproduksi SAF dari bahan baku seperti minyak jelantah.
Apa yang Bisa Dilihat dalam Implementasi SAF?
Meskipun langkah-langkah ini sangat positif, tantangan tetap ada dalam implementasi SAF di Asia. Salah satu tantangan utama adalah biaya produksi SAF yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar jet konvensional. Selain itu, kapasitas produksi SAF saat ini masih terbatas, sehingga sulit untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat.
Negara-negara seperti Singapura dan Malaysia perlu bekerja sama dengan industri penerbangan dan produsen bahan bakar untuk mengatasi tantangan ini dan memastikan pasokan SAF yang cukup untuk memenuhi mandat yang telah ditetapkan. Adopsi Sustainable Aviation Fuel di Asia, terutama di Singapura dan Malaysia, menunjukkan langkah positif menuju penerbangan yang lebih berkelanjutan.
Dengan komitmen untuk menggunakan SAF, negara-negara ini tidak hanya berkontribusi pada pengurangan emisi karbon. Selain itu juga mendorong inovasi dan investasi dalam teknologi bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, dan memberikan contoh bagi negara-negara lain di seluruh dunia.
#zonaebt #EBTHeroes #serbaterbarukan
Editor: Tri Indah Lestari
Referensi
https://www.leadventgrp.com/events/world-sustainable-aviation-fuel-forum/details
https://maritim.go.id/uploads/magazine/20241015092900-2024-10-15magazine092716.pdf
https://sea.ub-speeda.com/asean-insights/trend-reports/sustainable-aviation-fuel/
https://listrikindonesia.com/detail/15386/aksi-nyata-pertamina-perkuat-sistem-saf-indonesia
https://maritim.go.id/detail/peranan-saf-capai-dua-per-tiga-dari-pengurangan-emisi-aviasi-pada-2025