- Sektor agrikultur menyumbang 14% emisi gas rumah kaca secara global, yang turut meningkatkan kenaikan suhu global.
- Ketergantungan pada penggunaan pestisida dan pupuk kimia adalah alasan utama sektor agrikultur menyumbang emisi CO2 dan NO2 yang tinggi.
- Meningkatnya emisi CO2 berpengaruh signifikan pada keberlangsungan produksi tanaman pangan, khususnya padi yang menjadi komoditas utama Indonesia.
- Pemerintah perlu menerapkan konsep pertanian ramah lingkungan yang inklusif guna menekan angka emisi CO2.
Sektor Agrikultur di Indonesia
Sektor agrikultur, termasuk pertanian, kehutanan, dan perikanan, merupakan sektor yang krusial dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2022, sektor agrikultur berkontribusi sebesar 12,4% terhadap PDB Indonesia, setara dengan Rp2,4 kuadriliun[1]. Dengan angka ini, sektor agrikultur masuk dalam jajaran tiga besar sektor yang paling penting bagi PDB Indonesia. Tidak mengherankan jika pemerintah terus mengembangkan produksi produk pangan untuk meningkatkan pendapatan nasional dan memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Selain memiliki kontribusi yang tinggi, apakah Sobat EBT Heroes tau, kalau sektor ini juga merupakan sektor dengan jumlah pekerja terbanyak?
Baca Juga:
- PT Geo Dipa Energi, Pionir Pengembangan Energi Panas Bumi di Indonesia
- Kurangnya Peraturan Mengenai Penerapan Proyek CCS di Indonesia
Selain kontribusi yang tinggi, sektor ini juga menyerap tenaga kerja terbanyak, dengan jumlah pekerja mencapai 38,7 juta jiwa per Agustus 2022[2]. Angka ini hampir mencapai 30% dari total pekerja di seluruh sektor di Indonesia, menunjukkan pentingnya pengelolaan sektor ini dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berubah. Salah satu perubahan signifikan adalah meningkatnya penerapan teknologi dalam pengelolaan lahan pertanian atau smart farming, yang didorong oleh kesadaran tentang pentingnya pengelolaan pertanian yang efisien dan ramah lingkungan.
Lantas, mengapa sektor pertanian perlu dikembangkan menjadi pertanian ramah lingkungan?
Sektor pertanian ramah lingkungan terus digaungkan oleh berbagai praktisi dan akademisi karena tingginya emisi karbon dioksida yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian. Emisi ini terutama disebabkan oleh penggunaan bahan kimia seperti pestisida dan pupuk urea. Dampak emisi karbon dioksida sangat berbahaya bagi lingkungan karena memperparah pemanasan global.
Pengaruh Sektor Agrikultur dengan Pemanasan Global
Pemanasan global merupakan kondisi naiknya suhu rata-rata global karena meningkatnya jumlah gas rumah kaca di atmosfer bumi. Salah satu aktivitas manusia yang dapat menjadi faktor pemicu peningkatan emisi gas rumah kaca adalah aktivitas di bidang agrikultur. Bidang agrikultur di Indonesia telah menyumbang emisi gas rumah kaca sebesar 14% dalam skala global dan 7% dalam skala nasional. Jenis gas rumah kaca yang umumnya dihasilkan dari aktivitas di bidang agrikultur adalah karbon dioksida (CO2).
Aktivitas pertanian yang dapat memicu meningkatnya emisi gas rumah kaca adalah penggunaan pestisida dan pupuk urea atau pupuk kimia dalam proses produksi tanaman pangan. Hal ini memicu penumpukan gas rumah kaca karena mengemisikan gas karbon dioksida (CO2) dan nitrogen dioksida (NO2)[3]. Sektor pertanian menyumbang 108.598 ribu ton CO2, menjadikannya sektor dengan jumlah emisi karbon dioksida tertinggi kedua setelah sektor energi[4]. Angka ini membahayakan tatanan ekologi, termasuk perubahan suhu, cuaca, dan iklim yang turut berpengaruh pada produktivitas tanaman pangan nasional.
Baca Juga:
- Mengenal Agrivoltaik: Perpaduan Pertanian dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
- Intip Tren Bisnis Berkelanjutan Yang Semakin Dilirik Oleh Perusahaan Berbasis Pertanian
Dampak Pemanasan Global pada Sektor Agrikultur
Perubahan suhu, cuaca, dan iklim yang semakin masif tentunya dapat berdampak negatif pada keberlangsungan aktivitas pertanian. Dampak negatif ini dapat membuat aktivitas pertanian menjadi sulit dilakukan dan memicu penurunan hasil panen yang berpengaruh pada produktivitas pangan nasional. Berikut beberapa dampak pemanasan global pada sektor pertanian:
1. Perubahan Cuaca yang Sulit Diprediksi
Perubahan cuaca sangat mempengaruhi tumbuh kembang tanaman pertanian. Kondisi suhu, kelembapan, dan sinar matahari memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan tanaman pangan. Perubahan cuaca yang sulit diprediksi juga mengganggu masa tanam hingga masa panen. Jika kemarau berkepanjangan, petani harus meningkatkan penyediaan air untuk mencegah kekeringan. Sebaliknya, jika hujan berkepanjangan, tanaman pertanian terancam membusuk atau terendam banjir, yang dapat menurunkan hasil panen secara signifikan dan menurunkan pendapatan petani.
2. Meningkatnya Hama Pertanian yang Dapat Merusak Tanaman Pertanian
Hama pertanian seperti ulat, wereng, dan burung pipit sangat dipengaruhi oleh perubahan cuaca dan memengaruhi produktivitas pertanian. Perubahan cuaca dapat menyebabkan ledakan populasi hama di lahan pertanian. Saat musim hujan, petani sering menghadapi banyak permasalahan hama. Dengan perubahan cuaca yang sulit diprediksi, populasi hama mampu berkembang dengan cepat, sehingga petani tidak mampu melakukan langkah pencegahan atau mitigasi untuk menyelamatkan tanaman. Kerusakan akibat hama sangat merugikan petani karena hama tidak hanya merusak bagian tanaman tertentu, tetapi juga merusak hasil panen secara keseluruhan, seringkali menyebabkan gagal panen dan kelangkaan komoditas pangan di pasar.
3. Harga Komoditas Pangan yang Meningkat Drastis
Kuantitas hasil panen yang terganggu akibat perubahan cuaca dan hama menyebabkan harga komoditas pangan meningkat. Stok yang terbatas dan distribusi yang memakan biaya tinggi sering merugikan masyarakat dan membuat pemerintah melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, meskipun kegiatan impor ini dapat memicu pro dan kontra di masyarakat.
Upaya Penanggulangan Tingginya Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Agrikultur
Untuk menangani kondisi ini, pemerintah dapat menerapkan konsep ekonomi hijau dan smart farming dalam operasional produksi pertanian. Langkah ini bisa dimulai dengan penggunaan pupuk kompos, pestisida alami, dan meminimalisir penggunaan produk perawatan pertanian yang tinggi bahan kimia. Pemerintah juga dapat menerapkan pertanian aeroponik dan hidroponik sebagai alternatif pertanian modern yang rendah karbon. Upaya ini dapat menjadi langkah potensial dalam mengurangi emisi karbon dari sektor agrikultur, sehingga pemanasan global dapat direduksi seiring waktu.
#zonaebt #EBTHeroes #Sebarterbarukan
Editor: Savira Oktavia
Referensi:
[1] Jumlah Kontribusi Sektor Agrikultur terhadap PDB Indonesia
[2] Jumlah Masyarakat Indonesia yang Bekerja di Sektor Pertanian
1 Comment