
- Kontribusinya cofiring hanya mencukupi 0,23% dari total konsumsi listrik nasional, menunjukkan pencapaian yang masih jauh dari memadai.
- Indonesia menghadapi tantangan dalam mencapai target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025.
- Pengembangan bioenergi perlu dipercepat untuk menggantikan energi fosil, terutama dalam sektor transportasi laut.
Melihat Pesan Tersembunyi dari Narasi Pemerintah Soal Biomassa
PT PLN (Persero) telah menerapkan teknologi substitusi batu bara atau co-firing biomassa di 47 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di tahun 2024. Inisiatif strategis ini menghasilkan energi hijau sebesar 1,67 juta Megawatt hour (MWh), meningkat 60% dibandingkan tahun sebelumnya. Penggunaan biomassa dalam teknologi co-firing di PLTU ini berhasil mengurangi emisi karbon sebesar 1,87 juta ton CO2 pada tahun 2024. Namun, apakah ini sudah bisa dianggap cukup memuaskan? Faktanya belum dan masih jauh dari kata cukup, mari kita lihat mengapa itu kurang.
Berdasarkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RKUN) 2025 yang dirilis oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, konsumsi listrik Indonesia pada tahun 2024 mencapai angka 430 terawatt-hour (TWh). Jika kita hitung, berarti produksi energi yang berasal dari co-firing tersebut hanya setara 0,23 persen dari keseluruhan total konsumsi energi nasional. Meski sebenarnya merupakan langkah strategis dan sebuah awal dalam mewujudkan energi baru terbarukan di sistem ketenagalistrikan nasional.
Akan tetapi memuji dengan sangat berlebihan pada angka 0,23 persen tampaknya kurang adil bagi masyarakat yang terkena imbas. Kita bahkan belum menyebutkan banyaknya korban yang ada dalam upaya penghasilan energi nasional, baik terdampak secara langsung atau tidak. Menengok bagaimana pembabatan hutan untuk membuka lahan tambang, polusi dari hasil pembakaran, sampai kurangnya perhatian pada limbah batu bara.
Argumen Positif Terhadap Potensi SDA yang Salah
Meski ada argumen alternatif seperti upaya transisi energi tidak hanya sebatas di sektor co-firing. Sebagai contoh lain ada tenaga surya, bayu, air, sehingga banyak sektor yang masih bisa berkontribusi. Terlebih lagi Indonesia memiliki potensi yang lebih besar pada sektor tenaga surya yang bisa menyuplai kebutuhan listrik nasional. Namun, argumen tersebut tidak sepenuhnya benar dan tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran serta upaya normalisasi kecilnya kontribusi energi bersih. Karena saat ini bahkan energi surya yang dihitung memiliki potensi sebesar 3.200 gigawatt (GW) baru dimanfaatkan sebesar 200 Megawatt.
Mari lihat alasan lain mengapa ada sebuah kesalahan jika menerima argumen tersebut. Bukan hanya sekadar co-firing dan tenaga surya yang dibanggakan untuk bauran yang tidak memuaskan. Fakta bahwa target bauran nasional yang diproyeksikan sebesar 23 persen pada tahun 2025, malah stagnan di 13 persen sampai saat ini. Dari sini bisa dilihat jika pada skala nasional upaya untuk melakukan bauran bukan hanya tidak terpenuhi, namun gagal total.
Oleh karena itu, narasi pada upaya transisi energi nasional di Indonesia membebankan pada pencapaian sektoral seperti co-firing menggunakan presentasi peningkatan dengan perbandingan tahun sebelumnya sebesar 60 persen. Dibandingkan dengan menggunakan narasi capaian bauran secara nasional yang masih 13 persen, yang akan menyebabkan sentimen negatif pada kinerja pemerintah.
Baca Juga
- Independence Day In 2024: Indonesia Could Be An Avatar For Renewable Energy
- Biomassa Komoditas Penting Untuk Peningkatan Pertahanan

Kenapa Bioenergi Harus Ditingkatkan?
Alasan kenapa bioenergi perlu untuk dikembangkan hingga dapat menggantikan fosil karena penggunaan masif tidak hanya di darat melainkan juga di laut. Fakta menarik dari seluruh persediaan logistik dunia bergantung pada transportasi jalur laut. Kapal-kapal yang membawa logistik beroperasi menggunakan tenaga fosil.
Perlu diketahui jika 80% logistik yang ada di dunia didistribusikan melalui jalur laut, sehingga perlu upaya yang serius. Melalui penggunaan bioenergi, transisi energi sektor transportasi laut dapat dilakukan lebih cepat dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya. Misal tenaga surya, bayu, penggunaan energi terbarukan yang disebutkan sangat tidak efisien untuk transportasi laut.
Pola pikir inilah yang perlu ditumbuhkan dalam melihat upaya transisi “peka”. pola inilah yang digunakan oleh Amerika dalam kondisi perang tarif, saat komoditas Barbie produksi Indonesia menjadi sorotan dalam tarif. Sri Mulyani Menteri Keuangan, mengatakan jika Amerika memperhitungkan potensi yang dapat mengganggu ekonomi negara pada produk Barbie buatan Indonesia.
Alur berpikir dan sudut pandang inilah yang menjadi pembeda antara negara yang memiliki kemampuan manajemen risiko yang baik dan tidak. Amerika melakukan upaya proteksi pasar, melalui kebijakan tarif yang selektif. Apakah Indonesia memiliki pola pikir yang sama terhadap upaya transisi? Ya, khususnya pada pengelolaan batu bara. Hal ini bisa dilihat dari sisi upaya trilemma energi.
Trilemma energi secara singkat adalah sebuah mekanisme manajemen energi yang digunakan oleh negara terdiri dari tiga ketahanan, keadilan, dan keberlanjutan. Dalam posisinya melihat batu bara dan upaya transisi dapat dilihat melalui langkah Indonesia dengan melakukan gasifikasi batu bara dan pencairan batu bara.
Langkah ini dapat dilihat sebagai salah satu upaya untuk melakukan transisi, namun juga tetap mempertahankan ketahanan dan keadilan energi nasional. Batu bara masih menjadi sumber utama energi nasional, oleh karena itu kesalahan dalam pengelolaannya akan berdampak serius pada kondisi negara. Akan tetapi mengapa pada konteks awal, disebutkan bahwa Indonesia masih punya jurang pemisah pada upaya melihat transisi. Hal ini karena beberapa hal
Baca Juga
- Biomassa Bisa Jadi Alternatif Energi Sektor Pertahanan
- Efisiensi Sebabkan Indonesia Keluar Dari Perjanjian Paris?
Upaya Transisi Indonesia Tidak Merata dan Adil
Wilayah Indonesia adalah kepulauan, dengan pulau Jawa sebagai wilayah dengan penduduk terbanyak, dari sini konsumsi energi nasional akan timpang. Hal ini terjadi di sektor batu bara, penambangan dilakukan di Kalimantan kemudian diangkut ke Jawa sebagai konsumen, proses ini merusak dua pulau sekaligus. Oleh karena itu inovasi transisi energi tetap menggunakan batu bara sebagai energi nasional masih belum tepat.

Upaya Transisi Indonesia Terhalang oleh Pemikiran yang Masih Berorientasi pada Fosil
Indonesia masih menghadapi kendala dalam menepati komitmen yang tercantum dalam deklarasi maupun produk hukumnya sendiri. Pemerintah menargetkan pencapaian bauran energi sebesar 23 persen pada tahun 2025, namun hingga tahun 2024 realisasinya baru mencapai 13 persen. Akibatnya, target tersebut direvisi menjadi 17–19 persen. Langkah ini sangat disayangkan dan berpotensi menjadi preseden buruk bagi kebijakan mitigasi iklim di masa mendatang.
Meski banyak negara juga yang mengoreksi baurannya karena masalah domestik dan regional terkait dengan ketersediaan energi. Misal Jerman dan beberapa negara Eropa karena sanksi yang dilakukan terhadap Rusia akibat perang Rusia-Ukraina. Namun Indonesia memiliki cerita lain, penurunan proyeksi ke 17-19 persen bukan saja karena Covid yang menurunkan ekonomi. Melainkan karena ketakutan akan gagalnya ambisi proyek besar PLTU 35.000 Megawatt.
Kemudian membuat negara tidak hanya bergelut pada upaya realisasi proyek, namun juga kerugian, dan bayangan akan tekanan internasional mengenai komitmen transisi. Berujung pada upaya negara untuk menghentikan PLTU batu bara yang telah jadi dan yang baru akan dibuat. Selain itu juga membuat para pemilik pembangkit yang belum melakukan konstruksi untuk dapat mengubah rencana pembangunan dari PLTU ke energi baru terbarukan.
#zonaebt #EBTHeroes #serbaterbarukan
Editor: Tri Indah Lestari
Referensi
https://knic.co.id/id/perkembangan-panel-surya-di-indonesia-pada-2024
https://data.goodstats.id/statistic/rasio-elektrifikasi-indonesia-terus-tumbuh-hampir-sentuh-100-lA9mb
Comment closed