
- Isu pengelolaan sampah telah menjadi masalah yang kompleks di Indonesia.
- PLTSa diperkenalkan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk mengolah sampah sekaligus menghasilkan listrik.
- Dari 12 proyek PLTSa yang direncanakan, hanya 2 yang masih beroperasi (Solo & Surabaya). Banyak proyek gagal akibat kendala finansial, operasional, serta penolakan masyarakat.
- Diperlukan solusi yang lebih menyeluruh, termasuk edukasi masyarakat, regulasi tegas, serta infrastruktur yang mendukung pengelolaan sampah secara berkelanjutan.
Isu pengelolaan sampah di Indonesia telah lama menjadi perbincangan yang kompleks dan tiada habisnya. Menurut data Sistem Informasi Pengolahan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2024 di 268 kabupaten/kota se-Indonesia, terdapat 26,1 juta ton timbunan sampah di Indonesia setiap tahunnya. Dari angka tersebut, sekitar 61,95% sampah dapat dikelola, sedangkan 38,05% sampah belum dikelola. Terbatasnya sampel kabupaten/kota tersebut tentu belum bisa menunjukkan realitas keseluruhan pengelolaan sampah di Indonesia.
Di beberapa daerah Indonesia, kapasitas tempat pembuangan akhir tidak lagi mampu menampung timbunan sampah yang datang tiap harinya. Bukti nyatanya dapat Sobat EBT Heroes! liat di beberapa kota besar Indonesia yang mengalami over kapasitas, seperti TPA Sarimukti Bandung, TPA Cipayung Depok, dan TPA Piyungan Yogyakarta. Hal ini sinyal bahwa kondisi pengelolaan sampah di Indonesia sedang dalam keadaaan darurat dan harus segera menemui solusi.
Baca Juga
Untuk menangani permasalahan sampah ini, pemerintah telah melakukan berbagai upaya salah satunya adalah dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di berbagai kota Indonesia. Namun, apakah langkah yang diambil pemerintah ini bisa menyelesaikan masalah yang ada atau justru sebaliknya? Untuk itu artikel ini berupaya menyajikan bagaimana dinamika dan problematika penerapan PLTSa sebagai bagian kebijakan pemerintah.
Digagas Sebagai Bagian Proyek Strategis Nasional (PSN)
Pada awalnya konsep pengelolaan sampah di Indonesia hanya berpaku pada konsep angkut dan buang. Konsep ini kemudian berubah melalui Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 yang menekankan pengelolaan sampah melalui konsep reduce, reuse, recycle (3R).
Dalam perkembangannya, pemerintah menawarkan solusi baru dengan menggagas PLTSa sebagai solusi untuk mengolah sampah dalam skala besar. Solusi ini kemudian diperkuat melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 dengan menetapkan tiga titik PLTSa sebagai bagian dari PSN. Secara bertahap, kebijakan ini diperkuat dengan Perpres Nomor 18 Tahun 2016 yang menambah jumlah PLTSa menjadi 7 titik hingga akhirnya melalui Perpres Nomor 35 Tahun 2018 menjadi 12 titik.

Tidak hanya bersandar pada regulasi, pemerintah juga menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk proyek PLTSa, mengingat biaya pembangunannya yang tinggi. Menurut WALHI, citra positif PLTSa dibangun dengan mengintegrasikannya ke dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN, memasukkan 8 proyek berkapasitas 136 MW ke dalam JETP, dan menjadikannya bagian dari rencana pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia.
Antara Harapan dan Kenyataan
PLTSa pada awalnya ditampilkan oleh pemerintah sebagai solusi untuk menangani masalah pengelolaan sampah yang ada di Indonesia. Tidak hanya itu, pemerintah berencana mengolah sampah menjadi produk bernilai tambah melalui proyek PLTSa yang tersebar di berbagai daerah.
Namun, harapan terkadang tidak selaras dengan hasil yang didapatkan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh WALHI, proyek PLTSa dinilai tidak efektif dan justru menimbulkan permasalahan lain. Selain itu, dari 12 proyek PLTSa yang direncanakan, kini hanya dua yang beroperasi, yakni di Solo dan Surabaya.
Di Jakarta, PLTSa tidak berjalan efektif, karena terhambat masalah modal dan operasional yang tidak sesuai dengan kapasitas finansial Jakpro dan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. Akibatnya, proyek PLTSa ini terjerat risiko pailit yang mengkhawatirkan jika tetap dilanjutkan.
Masalah yang hampir sama terjadi di Bandung, skema finansial yang ditawarkan dalam proyek PLTSa Bandung dianggap memiliki risiko tinggi untuk mengalami kebangkrutan. Selain itu, PLTSa yang dibangun di Bandung harus menghadapi konflik dengan masyarakat lokal. Bahkan, 2 PLTSa yang saat ini masih bertahan harus mengalami masalah karena perencanaan PLTSa yang tidak adaptif.
Baca Juga
Menurut WALHI, PLTSa cenderung menimbulkan masalah baru yang tentunya tidak diinginkan. Pembangunan PLTSa berpotensi menjadi ladang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) karena anggaran proyek yang besar dan bernilai. Pemerintah daerah juga harus dihadapkan pada peningkatan biaya anggaran pengelolaan sampah yang melonjak hingga 2-3 kali lipat. Rencana awal PLTSa sebagai pengolah sampah juga melenceng, fasilitas ini kini dipandang sebagai pembangkit listrik semata sehingga memerlukan pasokan material sampah yang stabil. Hal ini bertentangan dengan prinsip reduce sebagai prinsip pengelolaan sampah, tetapi apabila stok pembangkit listrik tidak tersedia dengan stabil maka akan berpengaruh terhadap operasionalnya.
Apa yang Perlu Diperbaiki?
Meskipun proyek PLTSa mengalami banyak tantangan dan kendala, bukan berarti proyek ini kehilangan peluang sepenuhnya. Sebelum mengubah sampah menjadi energi, kita perlu mundur sejenak untuk menyelesaikan masalah fundamental yang sejatinya dibutuhkan. Solusi terhadap suatu permasalahan tentu tidak berasal dari satu jalan yang sama, ada banyak cara yang perlu ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan sampah di Indonesia.
Permasalahan sampah saat ini merupakan masalah yang sistematis dan kompleks sehingga satu alternatif solusi seperti PLTSa tentu tidak mampu menjadi panasea keseluruhan masalah yang ada. Perlu integrasi antara aspek struktural dan kultural untuk membangun sebuah sistem yang komprehensif.

Menangani sampah tidak hanya soal infrastruktur, tetapi juga penguatan budaya agar masyarakat sadar pentingnya konsumsi bertanggung jawab dan pengelolaan sampah. Perilaku dan kesadaran masyarakat adalah kunci sebelum tahap yang lebih lanjut, beberapa cara yang bisa dilakukan, seperti adaptasi konsep zero-waste, edukasi dan kampanye publik, serta pengurangan penggunaan plastik.
Tidak cukup hanya sampai di situ, aspek struktural bisa dijadikan pendukung sistem pengolahan sampah agar menjadi lebih optimal. Infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah harus menyediakan opsi-opsi yang mendorong masyarakat membudayakan perilaku yang lebih sadar akan pentingnya isu sampah. Masyarakat dapat diberikan fasilitas pengolahan sampah terpadu, penyediaan regulasi yang tegas dan tepat, dan membangun berbagai infrastruktur pendukung lainnya.
#zonaebt #sebarterbarukan #ebtheroes #PLTSa #Sampah #Energi
Editor : Alfidah Dara Mukti
Referensi:
[3] TPA Over Kapasitas, Bukti Belum Efektifnya Pengelolaan Sampah di Indonesia?
[4] Nasib PLTSa di Indonesia, Direncanakan 12 yang Jalan Hanya 2
[5] Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Menimbulkan Persoalan Lingkungan dan Sosial