Transformasi Energi Negara Kaya SDA, Bagaimana Posisi Indonesia?

Nasionalisme energi Indonesia terkait transisi iklim, namun ketergantungan pada batu bara masih menjadi tantangan utama.
Sumber idxchannel.com
  • Isu nasionalisme dalam energi menjadi salah satu fenomena domestik di era saat ini.
  • Perubahan energi menjadi titik balik bagi negara kaya sumber daya alam.
  • Kapabilitas Indonesia dalam melakukan transisi iklim masih tidak bisa melepaskan diri dari batu bara.

Dalam era transisi energi global, berbagai negara berlomba-lomba mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan beralih ke sumber energi yang lebih bersih. Tiongkok, misalnya, telah menunjukkan ambisi besar dalam mengembangkan energi terbarukan, sementara negara-negara kaya sumber daya alam seperti Arab Saudi mulai mencari alternatif untuk mengurangi dominasi minyak dalam perekonomian mereka. Di tengah dinamika ini, pertanyaannya adalah bagaimana posisi Indonesia? Apakah negara ini mampu mengambil langkah progresif dalam transisi energi, atau justru terjebak dalam paradigma lama yang mempertahankan ketergantungan pada bahan bakar fosil?

Biomassa yang Harus Jadi Bagian dari Bahan Bakar?

Minyak menjadi sumber energi utama bagi mayoritas transportasi, mulai dari kendaraan bermotor seperti motor dan mobil, hingga kapal dan pesawat. Mengingat perannya yang sangat penting, apakah sektor ini akan diprioritaskan?

Jika kita melihat program pemerintah menuju 2025, banyak upaya yang mengusung semangat nasionalisme yang kental, seperti ketahanan energi dan ketahanan pangan melalui swasembada. Jargon nasionalisme ini memang lumrah digunakan untuk menarik atensi, membangun kepercayaan masyarakat, dan mengumpulkan dukungan politik. Namun, pertanyaannya, akankah ini sekadar menjadi jargon nasionalisme semata?

Untuk menilainya, kita perlu melihat kondisi energi nasional saat ini. Di sektor listrik, misalnya, Indonesia mengalami surplus yang berusaha diserap untuk mengurangi kerugian. Berbagai upaya telah dilakukan, seperti program konversi motor listrik dan kompor listrik. Namun, situasinya berbeda dengan bahan bakar minyak (BBM). Data dari Kementerian ESDM menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan domestik, Indonesia masih harus melakukan impor.

Kata “impor” sering kali memiliki konotasi negatif dalam perspektif masyarakat, terutama ketika pemerintah gencar mempromosikan nasionalisme. Impor sering dianggap sebagai tanda ketidakmampuan negara dalam memenuhi kebutuhan domestik. Padahal, impor tidak selalu buruk. Fungsinya bisa untuk menstabilkan harga dan memenuhi permintaan pasar yang semakin besar akibat dampak globalisasi.

Baca Juga



Nasionalisme energi Indonesia terkait transisi iklim, namun ketergantungan pada batu bara masih menjadi tantangan utama.
Sumber presidenri.go.id

Kebijakan impor sebenarnya dapat dimaklumi selama masih dalam batas yang wajar, mengingat hal tersebut merupakan bagian dari skema pasar global. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan konsep swasembada yang terus digaungkan oleh pemerintah? Swasembada secara harfiah berarti tidak bergantung pada impor dan mampu mandiri. Apakah nantinya negara akan mendefinisikan ulang makna swasembada, seperti halnya isu definisi “miskin” yang berdasarkan pada pengeluaran?

Selain itu, apakah masyarakat tidak berhak merasa cemas terhadap ketahanan energi negara? Apakah mereka tidak memiliki kebebasan untuk berpikir kritis hingga merasa dibohongi oleh negara?

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa upaya ketahanan energi Indonesia masih sebatas rencana. Transisi energi masih berada pada tahap awal, dan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Misalnya, penggunaan biomassa yang dianggap sebagai langkah menuju energi hijau justru terkendala oleh masalah domestik, seperti pembebasan lahan untuk perluasan perkebunan. Belum lagi tantangan dalam hal kemampuan produksi, distribusi, dan riset yang masih perlu ditingkatkan.

Di sisi lain, Indonesia juga masih menghadapi masalah lingkungan yang serius. Produksi energi nasional sering kali dikaitkan dengan kerusakan lingkungan, sehingga menimbulkan kritik dari dunia internasional. Contoh nyata adalah konflik dengan Uni Eropa terkait ekspor kelapa sawit, serta isu batu bara yang kini menjadi sorotan dalam permasalahan iklim global. Dua isu ini tidak hanya menjadi batu sandungan, tetapi juga telah membuat Indonesia menghadapi tekanan besar di tingkat internasional.

Ketergantungan Negara Kaya SDA dan Langkah Transformasi Energi

Nasionalisme energi Indonesia terkait transisi iklim, namun ketergantungan pada batu bara masih menjadi tantangan utama.
Sumber bisnis.com

Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya sangat mengandalkan minyak sebagai penopang utama ekonomi mereka. Kekayaan alam ini menjadi keajaiban di era industrialisasi, memungkinkan mereka tumbuh pesat sebagai negara berpenghasilan tinggi. Namun, ketergantungan ini juga menjadi tantangan besar bagi keberlanjutan ekonomi mereka, terutama dengan meningkatnya kesadaran lingkungan global yang membuat energi fosil semakin dipandang negatif. Selain itu, struktur ekonomi yang terlalu bergantung pada satu sumber daya, yaitu “emas hitam,” menimbulkan risiko besar di masa depan.

Dalam perjalanan industrialisasi, banyak negara berlomba mengeksploitasi sumber daya alam dan mengoptimalkan kapitalisasi sumber daya manusia. Namun, beberapa negara tanpa kekayaan alam justru berhasil membangun pusat industri yang kuat untuk mengompensasi kekurangan tersebut. Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan adalah contoh bagaimana negara dengan keterbatasan sumber daya alam mampu berkembang pesat melalui inovasi dan industri berteknologi tinggi. Meskipun telah terjadi pergeseran perspektif mengenai dampak lingkungan dari eksploitasi sumber daya alam, prinsip fundamental terkait diversifikasi ekonomi tetap berlaku hingga kini.

Negara yang kaya akan sumber daya alam sering kali mendapat label negatif seperti perusak lingkungan, penyebab degradasi ekosistem, dan penghasil polusi. Kondisi ini mendorong mereka mencari alternatif selain minyak dan gas sebagai sumber utama pendapatan negara. Uni Emirat Arab telah menunjukkan langkah nyata dengan mengembangkan industri pariwisata kelas dunia, sementara Arab Saudi kini mengikuti jejaknya dengan proyek ambisius seperti The Line, sebuah mega proyek kota futuristik yang berfokus pada keberlanjutan dan teknologi canggih.

Melihat contoh dari Indonesia dan Tiongkok, kedua negara ini memiliki kesamaan dalam kekayaan sumber daya alam dan produksi energi berbasis fosil. Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok tampak lebih ambisius dalam melakukan transisi menuju energi baru terbarukan, meninggalkan Indonesia jauh di belakang.

Tiongkok dikenal sebagai produsen panel surya terbesar di dunia dan telah mengambil langkah drastis untuk mengurangi ketergantungannya pada batu bara. Keputusan ini sangat berani, bahkan berdampak pada beberapa industri domestik yang mengalami kekurangan energi akibat penurunan produksi energi fosil. Namun, langkah ini menunjukkan komitmen Tiongkok sebagai pemimpin global dalam energi bersih, sekaligus memperkuat posisinya dalam persaingan dengan Amerika Serikat.

Selain untuk kepentingan domestik, kebijakan energi hijau Tiongkok juga dapat dilihat sebagai strategi geopolitik. Dengan semakin ketatnya regulasi proteksi di negara-negara Barat terhadap produk buatan Tiongkok, pemerintah Tiongkok berusaha membangun citra positif di mata dunia. Melalui transisi energi bersih, Tiongkok ingin menembus pasar yang lebih luas dengan menunjukkan kepatuhan terhadap standar lingkungan global. Ini menjadi langkah taktis di tengah tekanan internasional dan ketegangan politik yang terus meningkat terhadap negeri Tirai Bambu.

Baca Juga



Bagaimana Dengan Kapabilitas Indonesia?

Apakah Indonesia tidak memiliki kapabilitas untuk melakukan aksi yang menakjubkan seperti Tiongkok? Jika mempertimbangkan potensi risiko politik dan rivalitas dengan negara adidaya, jawabannya mungkin tidak. Namun, Indonesia bukan berarti diam. Sebagai negara besar, Indonesia juga memiliki tanggung jawab internasional dalam mengurangi emisi dan melakukan transisi energi, meskipun dalam skala yang berbeda dengan Tiongkok.

Sayangnya, langkah transisi energi Indonesia belum bisa dikatakan sebagai aksi yang berani. Misalnya, dalam sektor kelistrikan, transisi yang dilakukan bukanlah penghapusan batu bara, melainkan perubahan dari batu bara ke batu bara dalam bentuk yang berbeda. Fakta ini menunjukkan bahwa meskipun ada dorongan untuk beralih ke energi baru terbarukan seperti PLTA, PLTB, PLTD, dan PLTS, ketergantungan terhadap batu bara masih sulit dihilangkan.

Sebagai respons terhadap tantangan ini, Indonesia mendeskripsikan ulang konsep “aksi mitigasi iklim” dengan pendekatan yang lebih realistis. Alih-alih menghapus batu bara sepenuhnya, Indonesia menerapkan teknologi gasifikasi dan pencairan batu bara yang diklaim menghasilkan emisi karbon lebih rendah dibandingkan pembakaran tradisional.

Pada dasarnya, negara tidak perlu terus mempertahankan strategi lama yang kurang efektif hanya demi kepentingan politik atau ego nasional. Menjadi negara maju membutuhkan visi yang jelas, keberlanjutan, dan kesadaran akan kapasitas domestik. Dengan perencanaan yang matang dan kebijakan yang realistis, kemajuan bisa dicapai secara merata di berbagai sektor dan level masyarakat.

Dalam sistem pemerintahan yang berbasis politik, pengambilan keputusan sering kali menjadi tantangan tersendiri, baik dalam birokrasi maupun dalam memenuhi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, keseimbangan antara kepentingan politik, ekonomi, dan sosial menjadi hal yang krusial bagi para pemimpin negara.

Negara yang memiliki prospek diplomasi yang baik dan didukung oleh lingkungan politik yang stabil dapat memanfaatkannya untuk menjalankan proyek nasionalisme yang menguntungkan tanpa harus memicu konflik dengan sektor lain. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat menemukan jalannya sendiri dalam transisi energi tanpa harus mengikuti pola negara lain secara mutlak.

#sebarterbarukan #zonaebt #sobatebtheroes

Editor : Alfidah Dara Mukti

Referensi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *