
- Studi terbaru Portland State University dan Oregon State University mengungkap sebanyak 99% dari 182 sampel makanan laut yang diteliti telah terkontaminasi mikroplastik, termasuk bagian daging yang biasa dikonsumsi manusia.
- 180 dari 182 sampel mengandung partikel antropogenik; serat tekstil menjadi kontaminan dominan (lebih dari 80%).
- Studi ECOTON mengungkap, 80% ikan konsumsi masyarakat Indonesia telah terkontaminasi mikroplastik, termasuk ikan bandeng, nila, dan lele.
- International Pollutants Elimination Network (IPEN) mengungkap, ECOTON memberikan rekomendasi penanganan mikroplastik di Indonesia. Salah satunya dengan penetapan batas aman atau Standar Mikroplastik dalam air minum, ikan, dan air limbah industri, khususnya dari industri daur ulang kertas dan plastik
Makanan laut atau seafood dikenal sebagai sumber protein tinggi yang kaya akan nutrisi penting bagi tubuh. Di berbagai negara Asia, termasuk Indonesia, banyak orang menyukai seafood yang dimasak setengah matang atau bahkan disantap mentah, dengan alasan untuk mempertahankan cita rasa laut yang khas sekaligus menjaga kandungan gizinya.
Namun, di balik kelezatannya, terdapat ancaman yang patut diwaspadai, yaitu kontaminasi mikroplastik. Pengelolaan sampah plastik yang belum optimal di berbagai negara telah menyebabkan limbah plastik dibuang ke sungai dan laut.
Kondisi ini mencemari ekosistem perairan, termasuk organisme laut yang kemudian dikonsumsi manusia. Sebuah studi terbaru dari Portland State University dan Oregon State University mengungkapkan fakta mencengangkan yaitu, sebanyak 99% sampel makanan laut yang diteliti telah terkontaminasi mikroplastik.
Mikroplastik dalam Daging Ikan
Penelitian yang diterbitkan di Frontiers in Toxicology pada Desember 2024 ini meneliti paparan partikel antropogenik pada jaringan ikan komersial dan udang merah muda.
Sebagai gambaran, partikel antropogenik merupakan partikel pencemar yang dihasilkan atau dimodifikasi oleh aktivitas manusia. Contohnya meliputi kain sintetis, jaring plastik, hingga mikroplastik yang terurai menjadi serpihan kecil dan mencemari lingkungan.
Dalam penelitian tersebut, para peneliti menganalisis 182 sampel hasil perikanan, baik dari tangkapan kapal di wilayah Oregon, Amerika Serikat, maupun dari makanan laut seperti fillet ikan yang dijual di supermarket setempat.
Baca Juga
Elise F. Granek, penulis utama studi ini, mengungkapkan bahwa mereka meneliti berbagai jenis makanan laut, seperti Salmon Chinook (Oncorhynchus tshawytscha), ikan Lingcod (Ophiodon elongatus), Black Rockfish (Sebastes melanops), Udang Merah Muda (Pandalus jordani), Lamprey Pasifik (Entosphenus tridentatus), dan Herring Pasifik (Clupea pallasii).
Hasilnya mengejutkan, dari 182 sampel yang diuji, sebanyak 180 di antaranya atau sekitar 99% mengandung partikel antropogenik, termasuk mikroplastik. Jenis partikel yang paling dominan adalah serat tekstil, yang ditemukan pada lebih dari 80% dari sampel makanan laut tersebut.

Kadar tertinggi mikroplastik ditemukan pada udang merah muda (Pandalus jordani) yang paling sering dibeli di pasaran.
Granek dan timnya menilai, penyebab utama kandungan mikroplastik ini diakibatkan oleh pemangsaan ikan dan udang terhadap plankton di permukaan air. Selain itu diketahui mikroplastik tak hanya menempel di insang atau organ pencernaan, tetapi bisa berpindah ke jaringan ikan yang dikonsumsi manusia.
“Plankton sering kali terkumpul di pesisir dan bergerak di area pasang surut dengan cara yang sama seperti mikroplastik,” kata Granek pada The Guardian (03/02/2025).
Lebih lanjut, Granek menyebutkan bahwa yang paling harus diwaspadai adalah senyawa yang terkandung di dalam plastik. Seperti polifluorinasi (PFAS), ftalat, dan zat pewarna, karena dapat larut dan terserap ke dalam air serta jaringan tubuh makhluk hidup.
Negara Berkembang Seperti Indonesia Paling Rentan
Meskipun studi ini dilakukan di Amerika Serikat, temuan ini sangat relevan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang merupakan negara kepulauan dengan konsumsi seafood tinggi.
Pada tahun 2018, Indonesia menempati peringkat kedua dunia dalam hal tangkapan ikan, dengan total sekitar 7,22 juta metrik ton per tahun.
Sayangnya, berdasarkan data United Nation Environment Programme (UNEP), Indonesia juga merupakan penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok dan sekitar 1,29 juta ton mencemari laut.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga mencatat, setidaknya 10 provinsi dengan konsumsi ikan tertinggi, menghasilkan konsumsi gabungan sebesar 702,74 kg/kapita/tahun. Jika ditotalkan secara nasional diangka 2,67 juta kg/kapita/tahun.
Angka yang mencengangkan ini mengkhawatirkan karena kemungkinan sebagian besar produk perikanan yang dikonsumsi sangat mengandung mikroplastik.

Bahkan menurut ECOTON (Ecological Observation and Wetlands Conservation), sekitar 80% ikan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia, termasuk ikan nila, bandeng, dan nila, terkontaminasi mikroplastik. Hal ini menunjukkan bagaimana mikroplastik telah menyusup ke dalam rantai makanan manusia, yang menimbulkan risiko kesehatan yang serius.
Bahaya Konsumsi Kerang dan Udang Terkontaminasi
Tidak hanya itu, Indonesia juga perlu mewaspadai terkait jenis seafood seperti jenis bivalvia atau kerang dan tiram. Kerang dan sejenisnya merupakan filter feeder atau pemakan partikel dan material di air yang memerangkap banyak polutan berbahaya di tubuhnya.
Ini diperkuat dari Jurnal Environmental Monitoring and Assessment, Maret 2025 lalu. Penelitian yang dilakukan di Selat Makassar, Indonesia ini mendapatkan bahwa ketika bivalvia seperti kerang mengonsumsi mikroplastik mereka juga dapat secara tidak sengaja mengonsumsi polutan berbahaya lainnya seperti logam berat.
Selain itu, Guru Besar Bidang Ekobiologi dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Etty Riani, yang mengkaji kerang hijau di Teluk Jakarta mengungkap, logam berat di kerang dapat memicu berbagai penyakit kanker dan penyakit degeneratif bagi pengonsumsinya.
Etty mengungkap, konsumsi kerang harus dibatasi setiap orang karena kandungan polutannya tinggi.
“Kalau untuk kerang hijau, batasnya 0,002 kilogram per minggu, itu batas makan kerang hijau untuk anak-anak dilihat dari kandungan logam Pb (timbal), sedangkan kalo dilihat dari kandungan Hg (merkuri)-nya hanya boleh 0,002 kilogram per minggu dan jika dilihat dari Cd (Kadmium) boleh sampai dengan 0,024 kilogram per minggu. Selebihnya akan sangat berpotensi terkena penyakit,” ucap Etty pada Kompas (25/02/2019).
Baca Juga
Tak Bisa Dihindari, Tapi Masih Bisa Dikurangi
Sayangnya, menghentikan makanan laut bukanlah menjadi solusi. Karena tidak bisa dipungkiri mikroplastik kini telah ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari air minum, udara, hingga produk pertanian. Sehingga, mengubah pola makan saja tidak cukup.
Dikutip dalam laman International Pollutants Elimination Network (IPEN), ECOTON juga memberikan rekomendasi untuk para pemerintah di Indonesia, terutama dalam penanganan mikroplastik.
Seperti penetapan batas aman atau standar mikroplastik dalam air minum, ikan, dan air limbah industri, khususnya dari industri daur ulang kertas dan plastik.
Kemudian melakukan pengujian menyeluruh dan berkala terhadap tingkat mikroplastik di sungai, air permukaan yang digunakan untuk minum, dan udara. Bahkan menyarankan pembentukan Badan Pengawas Mikroplastik.
ECOTON menilai, selama plastik masih digunakan luas dalam kehidupan sehari-hari, selama itu pula mikroplastik akan terus menjadi bagian dari makanan.
Tentu penelitian dari para peneliti adalah alarm keras bagi kita semua, bahwa perlu ada upaya kolektif dari pemerintah, industri, hingga konsumen untuk mengurangi penggunaan plastik dan paparannya dari laut hingga piring makanan kita.
#zonaebt #sebarterbarukan #ebtheroes #KurangiPlastik #MengolahSampah #Mikroplastik
Editor : Alfidah Dara Mukti
Referensi:
[1] Study finds microplastic contamination in 99% of seafood samples
[2] Microplastics in Fish and Fishery Products and Risks for Human Health: A Review
[3] Penjelasan Ahli soal Kerang Hijau Teluk Jakarta yang Berbahaya
[4] Indonesia in a Microplastics Crisis
[5] National Plastic Waste Reduction Strategic Actions for Indonesia