- Perubahan iklim ini selain berdampak secara fisik, penting untuk kita juga memahami dampak secara psikis.
- Kecemasan ini ditandai oleh frustasi, ketidakberdayaan, perasaan kewalahan, putus asa, dan merasa tidak memiliki kendali, serta dapat menunjukkan kombinasi gejala yang relevan secara klinis.
- Jika perubahan iklim terus berlanjut dan tidak stabil, dapat menyebabkan krisis, yang memerlukan adaptasi segera dan intervensi strategis.
Perubahan iklim ini sudah menjadi tantangan untuk dihadapi abad ini. Adapun perubahan iklim sendiri dapat terjadi karena adanya aktivitas manusia yang dapat menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca yang telah menjadi pemicu terjadinya kenaikan permukaan air laut, perubahan suhu global, dan berbagai dampak ekologi lainnya.
Sekitar dua puluh tahun yang lalu, kita dapat dengan mudah mengetahui kapan akan datang musim hujan, dan kapan akan datang musim kemarau. Tentunya dengan kestabilan terjadinya perubahan musim di Indonesia, akan memudahkan masyarakat dalam mempersiapkan diri untuk musim yang akan datang.
Suhu udara rata-rata di Indonesia mengalami peningkatan, seperti pada data yang ditunjukkan BMKG, bahwa pada tahun 2022 suhu rata-rata di Indonesia adalah 27,0 derajat celcius. Jika dibandingkan dengan sekitar tahun 1990-2020, suhu rata-rata pada periode tahun tersebut adalah sekitar 26,8 derajat celcius.
Maka di Indonesia sendiri telah mengalami kenaikan suhu rata-rata yang menjadi salah satu pengaruh pola curah hujan dan durasi musim. Seperti durasi musim hujan yang telah meningkat pada beberapa wilayah mengalami tambahan durasi paling banyak sekitar 49 hari. tentunya dengan bertambahnya durasi hujan ini akan berkontribusi pada frekuensi hujan menjadi ekstrim, terutama pada pulau Jawa dan Kalimantan.
Perubahan iklim ini selain berdampak secara fisik, penting untuk kita juga memahami dampak yang secara psikis juga rentan dialami oleh individu maupun masyarakat. Dampak psikologis dari perubahan iklim ini diantaranya adalah stres, kecemasan, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan mental yang lain. Salah satu efek psikologis dari perubahan iklim adalah terjadinya kecemasan.
Baca Juga :
- Suhu Bumi Semakin Panas, Apakah Perlu Khawatir?
- Green Building adalah Inovasi Arsitektur Hemat Energi dan Ramah Lingkungan
Kecemasan Ekologi (Eco-Anxiety)
Lingkungan alam sedang berubah, dan banyak orang mengkhawatirkan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Kekhawatiran tersebut, dapat semakin parah hingga menyebabkan tekanan emosional dan gangguan dalam kehidupan, hal ini disebut sebagai kecemasan ekologi.
Asosiasi Psikologi Amerika mendefinisikan kecemasan ekologi atau yang juga dikenal sebagai kecemasan iklim, sebagai “ketakutan kronis terhadap kehancuran lingkungan.” Ketakutan ini dapat berasal dari pengalaman langsung terhadap cuaca ekstrem dan perubahan lingkungan misalnya, banjir, kebakaran hutan, badai, kekeringan atau dari paparan informasi tentang perubahan iklim melalui media berita dan sumber lainnya.
Dampak dari perubahan iklim ini tidak hanya dapat dirasakan secara fisik saja, namun juga berdampak negatif pada kesejahteraan mental melalui berbagai jalur langsung dan tidak langsung. Jalur langsung yang dapat menyebabkan kecemasan adalah dengan pengalaman langsung dan respon terhadap peningkatan kerentanan fisik yang diakibatkan oleh peristiwa yang dialami akibat perubahan iklim. Paparan ini berhubungan dengan berbagai masalah kesehatan mental, termasuk Gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD), tekanan emosional, serta kecemasan dan depresi.
Jalur tidak langsung yang dimaksud adalah merujuk pada tekanan kognitif serta kekhawatiran atau kecemasan emosional sebagai respons terhadap perubahan iklim, meskipun tanpa mengalami peristiwa langsung. Respons psikologis terhadap perubahan iklim ini diekspresikan melalui berbagai emosi terkait iklim, yang muncul dalam bentuk praktis atau berpotensi patologis dari ‘kecemasan ekologi’ dan ‘kecemasan iklim’ (Corvalan, 2022).
Definisi lain yang dipaparkan oleh Paolo Cianconi (2023) mengenai kecemasan iklim merujuk pada spektrum respons emosional negatif berbasis pikiran, dan berpotensi mempengaruhi perilaku akibat kesadaran tentang risiko eksistensial dari perubahan iklim, sedangkan istilah kecemasan ekologi memperluas konsep emosional tersebut terhadap kesadaran akan krisis ekologi yang lebih luas.
Gejala Eco-Anxiety
Kecemasan ekologi akan timbul langsung dari masalah lingkungan yang dialami, tetapi juga seringkali akan timbul secara tidak langsung yaitu dari kesadaran akan masalah tersebut, seperti melihat berita mengenai perubahan iklim. Hal ini dapat dirasakan oleh individu memiliki emosi yang “melihat ke depan,” yang berkaitan dengan ancaman di masa depan yang tidak pasti, tidak dapat diprediksi, tidak dapat dikendalikan, dan yang merampas masa depan.
Kecemasan ini ditandai oleh frustasi, ketidakberdayaan, perasaan kewalahan, putus asa, dan merasa tidak memiliki kendali, serta dapat menunjukkan kombinasi gejala yang relevan secara klinis, seperti kekhawatiran, ruminasi, mudah marah, gangguan tidur, hilang nafsu makan, serangan panik, dan gejala fisik kecemasan.
Kecemasan ini juga bisa mengarah pada bentuk-bentuk penyangkalan, yang pada akhirnya akan berisiko meningkatkan rasa cemas berlebih. Banyak orang mencoba mengatasinya dengan menyangkal dan menambah tekanan emosional, hal ini akan menciptakan lingkaran setan. Masalah kesehatan mental yang sudah ada sebelumnya atau sensitivitas kecemasan dapat berkontribusi pada kemungkinan dan tingkat keparahannya. Namun, kecemasan ini juga dialami oleh banyak orang yang tidak memiliki masalah kesehatan mental sebelumnya, dan mungkin tidak selalu memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan mental atau fungsi kehidupan sehari-hari.
Baca Juga :
- Menanam Kembali Lahan Bekas Tambang, Stok Karbon Akan Membaik
- Mengupas Alasan di Balik Harga Murah Kendaraan Listrik China
Sebaliknya, kecemasan ini bisa menjadi emosi proaktif yang memberi peringatan tentang tantangan lingkungan, mendorong keterlibatan kognitif, dan mengarah pada perilaku pro-lingkungan. Ada usulan untuk mengkonseptualisasikannya sebagai bentuk “kecemasan praktis,” yaitu kecemasan yang muncul ketika ada ketidakpastian tentang apa yang benar untuk dilakukan, yang akhirnya memunculkan sikap pemecahan masalah, terlibat dalam aksi iklim, dan aktivisme lingkungan. Hal ini pada akhirnya dapat meredakan dampak kecemasan pada kesehatan mental dan mengubah perasaan mereka menjadi optimisme dan determinasi.
Kecemasan ini juga bisa memainkan peran transformatif dalam masyarakat: orang yang mengalami kecemasan iklim dapat dilihat sebagai pengingat bagi orang lain bahwa kondisi kritis telah tercapai dan tindakan mendesak diperlukan. Namun, ini bisa tergantung pada tingkat keparahan kecemasan iklim, karena kecemasan yang lebih parah dapat menyebabkan tekanan yang lebih besar dan gangguan pada kemampuan untuk berfungsi, sehingga tidak lagi bersifat adaptif.
Siapa Saja yang Berisiko?
Anak muda. Generasi muda diperkirakan akan lebih rentan terkena dampak dari perubahan iklim dan biasanya lebih cemas tentang masa depan mereka.
Masyarakat adat. Alam memiliki peran yang sangat penting dalam budaya dan kehidupan sehari-hari bagi masyarakat adat.
Kelompok yang terpinggirkan dengan sumber daya terbatas. Termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang kehilangan tempat tinggal, mereka yang sudah memiliki masalah kesehatan fisik atau mental, dan mereka yang berada dalam kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan.
Pekerja yang bergantung pada alam. Orang-orang seperti petani, nelayan, pemburu, dan peneliti iklim mungkin merasakan dampak perubahan iklim ini lebih jelas.
Orang yang tinggal di daerah berisiko tinggi. Beberapa daerah menghadapi risiko yang lebih besar terhadap dampak ekstrem perubahan iklim dibandingkan dengan daerah lain, seperti komunitas di wilayah utara atau daerah pesisir.
Petugas tanggap darurat. Mereka yang berada di garis depan dalam menangani bencana cuaca merasakan langsung akibat dari krisis iklim ini.
Kesehatan mental sangat penting bagi stabilitas sistem, karena setiap sistem sosial dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kesehatan mental individu dan masyarakat. Perubahan iklim mempengaruhi stabilitas struktural dan kondisi psikologis kita, yang mengarah pada sistem baru antara manusia, perubahan iklim, dan ketidakstabilan. Jika perubahan iklim terus berlanjut dan tidak stabil, hal itu dapat menyebabkan krisis, yang memerlukan adaptasi segera dan intervensi strategis.
Respons sosial terhadap perubahan iklim bervariasi, memengaruhi struktur, urgensi, persepsi risiko, dan tingkat keparahan. Peneliti dan dokter harus memahami kompleksitas perubahan iklim dan dampaknya terhadap kesehatan manusia, memahami hubungan antara perubahan iklim dan kesehatan mental, dan mengembangkan intervensi yang tepat. Profesional kesehatan mental juga harus menerapkan kebijakan, memanfaatkan intervensi medis dan psikologis, dan fokus pada kepentingan ekonomi.
#zonaebt #Sebarterbarukan #EBTHeroes #makintahuIndonesia
Editor: Savira Oktavia
Referensi:
[1] Mental health and the global climate crisis
[2] Eco-emotions and Psychoterratic Syndromes: Reshaping Mental Health Assessment Under Climate Change
[3] Eco-anxiety and climate-anxiety linked to indirect exposure: A scoping review of empirical research
[4] Fear for the future: Eco-anxiety and health implications, a systematic review
1 Comment
Newtoki Nice post. I learn something totally new and challenging on websites