- Perubahan iklim yang terjadi menyebabkan beberapa ekosistem laut di Sumenep terganggu, salah satu daerah yang terkena dampaknya, yaitu Kecamatan Bluto.
- Adanya penurunan pendapatan nelayan yang terjadi akibat perubahan iklim.
- Banyak nelayan yang beralih mata pencaharian demi memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Sebagaimana yang telah kita ketahui sebelumnya, Indonesia telah mengalami perubahan iklim yang ekstrem. International Panel On Climate Change (IPCC, 2007) telah membuktikan gejala perubahan iklim tersebut dengan hasil observasi yang menunjukkan telah terjadinya peningkatan suhu udara lautan secara global, melelehnya es secara cepat dan luas, serta meningkatnya ketinggian permukaan laut secara global. IPCC menyebutkan bahwa dampak dari pemanasan global itu, salah satunya adalah terjadi kenaikan permukaan air laut antara 10 dan 20 cm selama abad terakhir ini 90-99% yang disebabkan oleh pemanasan global. Dampaknya, ekosistem laut dan pesisir pantai memburuk. Perubahan ekosistem pesisir, seperti terumbu karang, hutan bakau, sungai, dan ekosistem lahan basah, dapat mempengaruhi pariwisata, ketersediaan sumber daya air tawar, perikanan dan keanekaragaman hayati.
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang paling terkena dampak dari adanya perubahan iklim. Letak geografis wilayah pesisir menjadikannya sangat rentan terhadap kejadian ekstrem, seperti badai, topan tropis, dan naiknya permukaan air laut. Di wilayah pesisir, diperkirakan setiap tahunnya, 120 juta orang terkena dampak angin cyclone tropis. Selain itu, kenaikan permukaan air laut menyebabkan banjir, erosi, serta hilangnya ekosistem pesisir dan laut.
Pemanasan global juga mengakibatkan pemutihan terumbu karang yang semakin meluas. Penurunan ekosistem pantai terutama daerah hutan bakau dan terumbu karang akan menimbulkan dampak yang serius terhadap masyarakat sekitarnya yang bergantung pada ekosistem pesisir dan laut, yaitu untuk menangkap ikan, maupun untuk keperluan jasa pengakutan barang atau penumpang. Kenaikan permukaan air laut dan pemutihan terumbu karang akan berdampak terhadap produksi ikan dan udang. Hal itulah yang dirasakan oleh para nelayan di Kecamatan Bluto di Kabupaten Sumenep.
Masyarakat di Kecamatan Bluto memilih mata pencaharian sebagai nelayan, di mana mereka menjual hasil tangkapan laut mereka dalam bentuk olahan ikan. Salah satu contoh olahan ikan adalah ikan kering. Dalam melakukan kegiatan mata pencaharian, nelayan sangat bergantung pada kondisi alam, yaitu kondisi angin, musim hujan, dan kemarau. Namun, kondisi musim sudah beberapa tahun belakang ini tidak tepat, tak sama seperti pada 10 tahun lalu. Musim hujan yang tidak kunjung datang menyebabkan kondisi angin cenderung lebih kencang dari biasanya.
Baca Juga
Dampak Perubahan Iklim terhadap Lingkungan Pesisir yang Dirasakan Nelayan
Kenaikan permukaan air laut meyebabkan banjir, erosi, serta memburuknya ekosistem laut, pesisir dan pantai. Ekosistem laut, seperti terumbu karang, hutan bakau, dan keaneka-ragaman hayati juga bisa hilang. Salah satu dampak perubahan iklim terjadi pada daerah sekitar pantai Desa Aeng Dake, Kecamatan Bluto, yaitu terjadinya abrasi akibat naiknya permukaan laut, derasnya arus laut, serta kuatnya ombak yang menghantam pantai. Karena adanya abrasi, sejak dua tahun terakhir, garis pantai di wilayah tersebut mundur ke arah pemukiman penduduk, sekitar 10 meter.
Abrasi juga terjadi di beberapa kecamatan lain, yaitu Kecamatan Ambuten, Gapura, Talango, dan Giligenting. Naiknya permukaan air laut dan ditambah seringnya dilakukan penambangan pasir oleh masyarakat, menyebabkan pulau Gersik Putih, yang termasuk Pulau Gili Raja Kecamatan Giligenting mengalami penurunan dan dikhawatirkan akan tenggelam. Ketika musim penghujan pada sekitar bulan Maret, pasangnya air laut akan menyebabkan air laut masuk ke dalam rumah penduduk yang berada di dekat pantai.
Gelombang besar dan arus laut juga mempengaruhi ekosistem mangrove di perairan Sumenep. Sebagaimana disebutkan dalam data DKP, mangrove tumbuh di pantai yang landai dengan kondisi tanah yang berlumpur atau berpasir. Mangrove tidak dapat tumbuh di pantai yang terjal, berombak besar, atau yang mempunyai pasang surut tinggi, dan berarus deras. Mangrove akan tumbuh dengan lebat pada pantai yang dekat dengan muara sungai atau delta sungai yang membawa aliran air dengan kandungan lumpur dan pasir. Hal ini terjadi karena di wilayah tersebut terdapat pasir dan lumpur yang merupakan media utama pertumbuhannya. Dengan adanya perubahan arus di perairan Sumenep, yang menurut pengakuan masyarakat akhir-akhir ini bertambah kencang, maka kemungkinan terebut akan mempengaruhi keberadaan mangrove.
Penyebaran mangrove di Kabupaten Sumenep terdapat di pantai perairan pulau Raas. Akan tetapi, dari keterangan yang diperoleh, tampaknya di kawasan pesisir bagian utara dan barat Pulau Raas hampir tidak dijumpai tanaman mangrove. Hal ini terjadi karena mangrove di daerah ini memiliki tingkat kerusakan yang paling parah akibat abrasi pantai yang terjadi lima tahun terkahir. Perubahan lingkungan ini yang dirasakan masyarakat sekitar. Dampak dari kerusakan pantai tersebut, salah satunya adalah rusaknya jalan penghubung di Desa Ketupat (salah satu desa di Kecamatan Raas).
Pengaruh perubahan iklim terhadap ekosistem laut dapat dilihat pula dari keberadaan sumber daya ikan, yaitu dari produksi ikan. Pada beberapa tahun terakhir diketahui bahwa jumlah produksi penangkapan ikan di Kabupaten Sumenep mengalami penurunan karena musim hujan yang panjang dan lama.
Baca Juga
- Hutan Mangrove: Penjaga Iklim yang Terlupakan
- Bersepeda: Solusi Kurangi Emisi Karbon Penyebab Krisis Iklim
Dampak Perubahan Iklim terhadap Kegiatan Ekonomi di Sumenep
Adanya perubahan iklim yang tampak dari keadaan arus laut yang beberapa tahun ini dirasakan oleh nelayan. Hal ini berpengaruh pada keberaadan sumber daya laut, terutama teri nasi yang paling parah terkena dampaknya. Keberadaan teri nasi di perairan Sumenep, termasuk perairan sekitar Kecamatan Bluto, yang merupakan fishing ground nelayan Bluto sangat berkurang. Sebenarnya, menurunnya hasil teri nasi sudah dialami nelayan di beberapa tahun terakhir, bahkan pada tahun 2006, pernah teri nasi tidak ada sama sekali di laut, walaupun pada waktu itu belum dirasakan adanya perubahan arus laut.
Dahulu, teri nasi dapat diproduksi selama 6 bulan dalam setahun, tetapi akhir-akhir ini hanya 2 bulan. Berkurangnya hasil terinasi ini, yang dikemukakan oleh seorang nelayan teri nasi, pada 2 tahun belakangan hanya sekitar 50–60 kg pada saat musim hujan. Lalu pada paceklik, hanya 5 kg saja. Sedangkan sebelumnya, pada musim hujan bisa mencapai 1 kwintal per hari, dan pada musim paceklik masih dapat membawa hasil 20 kg. Menurunnya keberadaan teri nasi di laut menjadikan produksi nelayan teri nasi berkurang dan nelayan tidak bisa memenuhi pasokan ke perusahaan terinasi.
Berkurangnya pasokan dari nelayan membuat pengiriman teri nasi keluar wilayah juga tersendat sehingga beberapa perusahaan teri nasi memilih untuk menutup atau beralih ke pengolahan rajungan yang relatif masih bisa dipertahankan. Semula, di Kecamatan Bluto ada 7 perusahaan teri nasi. Lalu dengan beralihnya beberapa perusahaaan ke rajungan, maka tinggal 3 perusahaan saja yang masih bertahan melakukan pengiriman teri nasi ke eksportir di Surabaya.
Kuatnya arus laut juga berdampak pada keberadaan rajungan di perairan Bluto. Meskipun sumber daya laut tersebut tidak mengenal musim dan selalu ada sepanjang tahun, akan tetapi perubahan arus laut tampaknya membuat rajungan juga berkurang. Sebagaimana menurut pengakuan nelayan rajungan, dengan memasang 100 buah bubu, dulu bisa memperoleh hasil 10 kg, tetapi akhir-akhir ini hanya sedikit rajungan yang masuk ke dalam bubu, sehingga pulang hanya membawa 2 kg. Berbeda dengan nelayan teri nasi yang berusaha untuk mempertahankan pendapatan teri nasi miliknya dengan berpindah fishing ground, tidak demikian dengan nelayan rajungan. Nelayan rajungan tidak bisa membawa keluar perahu sampannya yang hanya berukuran 1 GT ke perairan jauh, karena ombak dan arusnya lebih kuat. Hal tersebut membuat nelayan rajungan di Kecamatan Bluto beberapa tahun ini semakin banyak yang beralih usaha budidaya rumput laut.
Meskipun demikian, menurut informan, budidaya rumput laut juga mengalami dampak akibat adanya perubahan iklim. Dampak negatif dari perubahan iklim pada rumput laut adalah lamanya musim hujan yang menyebabkan air permukaan laut menjadi tawar. Hal tersebut pun menjadikan kandungan air pada hasil panen rumput laut pada musim hujan lebih banyak dibanding hasil panen rumput laut pada musim kemarau. Banyaknya kandungan air pada hasil panen rumput laut pada musim hujan, membuat 1 kg hasil rumput laut kering dihasilkan dari sebanyak 8 kg rumput laut basah. Sementara hasil panen rumput laut pada musim kemarau, hanya butuh 7 kg rumput laut basah untuk menjadi 1 kg rumput laut kering.
Kandungan air yang meningkat, juga akan menurunkan kadar tepung dalam rumput laut, yang juga menurunkan kualitas rumput laut. Selain itu, masa panen juga menjadi sedikit mundur, yang mestinya setelah 45 hari bisa dipanen, dengan kandungan air tawar tersebut, menjadikan pemanenan baru bisa dilakukan di hari ke-50. Di Sarongi, panen rumput laut bisa hanya sekali setahun karena adanya sumber mata air dibawah laut.
#zonaebt #sebarterbarukan #ebtheroes
Editor: Rewinur Alifianda Hera Umarul
Referensi:
[2] Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesejahteraan Nelayan Tangkap di Pesisir Kabupaten Batang