Energi Panas Bumi, Anugerah Melimpah bagi Indonesia

Ilustrasi Panas Bumi. Sumber: Pinterest.com
  • Energi terbarukan ini berasal dari aliran panas dan distribusi temperatur di seluruh permukaan bumi yang disebabkan oleh pelepasan panas akibat pendinginan bumi
  • Mayoritas sistem panas bumi di Indonesia muncul di area gunung api muda bertipe strato-volacanoes
  • Secara kerangka regulasi, telah ada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi sebagai komitmen pemerintah dalam usaha pengembangan energi di bidang panas bumi

Posisi Indonesia sangat strategis. Terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik). Pelajaran pertama tentang wawasan kebangsaan ini sudah ada di benak anak-anak sejak di sekolah dasar. Faktanya, bukan hanya lanskap geografis Indonesia yang unik dan menarik, melainkan juga dalam tatanan geologi regional.

Republik ini berada di antara sisi timur Mediterranean Volcanic Belt dan sisi barat Circum-Pacific Volcanic Belt.

Kondisi tersebut menjadikan Indonesia negara yang dikelilingi oleh active margins yang merupakan lokasi munculnya aktivitas tektonik dan vulkanik. Lebih dari 200 gunung berapi berada di sepanjang Sumatera, Jawa, Bali, dan gugusan pulau di Indonesia timur yang kemudian dikenal sebagai Cincin Api (The Ring of Fire) (DiPippo dan Darma, 2016).

Gunung api tidak selamanya identik dengan bencana erupsi. Keberadaan gunung api yang tersebar merata hampir di seluruh wilayah Indonesia berperan sebagai hot spot dan sekaligus menyimpan energi panas, sehingga Indonesia menjadi negeri yang teranugerahi sumber daya panas bumi (geotermal) yang melimpah. Potensi energi panas bumi Indonesia diperkirakan sebesar 40% dari total potensi di seluruh dunia atau sekitar 28.617 MW (Nasruddin et al., 2016). Kata “geotermal” berasal dari bahasa Yunani. “Geo” berarti bumi dan “thermal” berarti panas. Secara bahasa, geotermal dengan demikian memiliki arti ‘panas bumi’.

Energi terbarukan ini berasal dari aliran panas dan distribusi temperatur di seluruh permukaan bumi yang disebabkan oleh pelepasan panas akibat pendinginan bumi itu sendiri, serta panas yang dihasilkan oleh radioaktivitas di bawah permukaan (Gupta dan Roy, 2007). Kemudian dalam proses evolusi geologis serta adanya struktur bawah permukaan tertentu, suatu sistem panas bumi (geothermal system) akan terbentuk. Pakar panas bumi dari University of Auckland, Prof. Manfred Hochstein mengungkapkan, bahwa istilah geothermal system digunakan untuk menjelaskan transfer panas secara alami pada volume tertutup di kerak bumi yang berpindah dari sumber panas (heat source) menuju saluran panas (heat sink).

Mayoritas sistem panas bumi di Indonesia muncul di area gunung api muda bertipe strato-volacanoes yang berasosiasi dengan sistem vulkanisme kuarter dan intrusi magmatik (Hochstein dan Sudarman, 2015). Dalam Encyclopedia of Volcanoes, Goff dan Janik (2000) menjelaskan bahwa suatu sistem panas bumi terdiri atas tiga elemen dasar, yaitu: batuan reservoir yang berpori, air sebagai medium panas dari reservoir menuju permukaan, dan sumber panas yang biasanya berupa intrusi magma ataupun batuan pluton. Selain tiga komponen utama tersebut, terdapat lapisan clay cap yang tidak berpori sehingga menjaga aliran panas agar tidak keluar ke permukaan. Secara sederhana, suatu sistem geotermal dapat dianalogikan seperti memanaskan air dengan ketel. Kompor sebagai sumber panas, ketel sebagai reservoir, dan tutup ketel sebagai clay cap yang mencegah keluarnya uap panas.

Pemahaman yang utuh dan menyeluruh terhadap sistem geotermal menjadi kunci kesuksesan dalam eksplorasi panas bumi. Pada rangkaian pengembangan panas bumi, tahap eksplorasi memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan fase eksploitasi. Banyak pertanyaan yang mesti dijawab oleh para ahli ilmu kebumian (geoscientist) ketika melakukan eksplorasi panas bumi: di mana letak area pusat reservoir, berapa kedalaman reservoir, berapa temperatur yang akan dihasilkan oleh uap panas hasil pengeboran, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, eksplorasi panas bumi mutlak membutuhkan teknologi yang canggih dan mutakhir.

Baca Juga:



Konsekuensinya adalah dibutuhkan banyak ahli di bidang geosains (geologi, geokimia, dan geofisika) serta para perekayasa reservoir. Selain faktor teknologi dan SDM, pengembangan sektor panas bumi menghadapi tantangan lain, seperti bentangan alam yang berupa kawasan hutan serta kondisi topografinya, kebutuhan pendanaan yang relatif besar, dan tentu saja yang tak kalah penting adalah kehendak politis dari para pengambil kebijakan.

Hingga Januari 2022, kapasitas terpasang PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) sebesar 2.276 MW atau baru mencapai 9,5% dari total potensi yang dapat dieksploitasi di seluruh Indonesia. Namun, dengan capaian tersebut, Indonesia berada pada peringkat kedua sebagai penghasil energi panas bumi terbesar di dunia. Terpaut 1,5 GW dengan Amerika Serikat di urutan pertama dan hanya selisih 0,3 GW dengan Filipina di posisi ketiga. Jalan panjang dan berliku tidak hanya dilalui oleh para pakar eksplorasi ketika melakukan akuisisi data geosains di medan pegunungan, tetapi juga oleh para pemangku kepentingan di ranah kebijakan serta para pengembang panas bumi. Angka 2,2 GW kapasitas terpasang PLTP saat ini dirasa jauh dari cukup. Padahal, eksplorasi panas bumi telah dimulai lebih dari satu abad yang lalu, sejak era kolonial pada 1918 di Kawah Kamojang, Jawa Barat.

Jika diambil nilai rata-rata pasca kemerdekaan saja, penambahan kapasitas pembangkit panas bumi hanya sekitar 30 MW per tahun. Besaran itu sama dengan energi listrik yang dibangkitkan dari PLTP Karaha (Jawa Barat), satu dari enam belas PLTP yang kini beroperasi di Indonesia.

Secara kerangka regulasi, telah ada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi sebagai komitmen pemerintah dalam usaha pengembangan energi di bidang panas bumi. Di samping juga telah hadir sebelumnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, serta Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dan yang terbaru adalah Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang saat ini telah masuk tahap harmonisasi dalam Prolegnas DPR RI. Para ahli ilmu kebumian serta praktisi bidang panas bumi telah banyak memberikan rekomendasi agar pengembangan sektor ini tidak stagnan

Selain memperkuat aspek legal, diperlukan berbagai instrumen investasi khususnya untuk tahap eksplorasi.

Biasanya pihak perbankan dan lembaga keuangan lain kurang berminat disebabkan besarnya risiko yang dihadapi. Saat ini pemerintah telah mengambil inisiatif government drilling (pengeboran eksplorasi oleh pemerintah), dalam rangka meningkatkan keekonomian proyek panas bumi menjadi semakin kompetitif. Terakhir yang sangat penting adalah capacity building melalui pendidikan formal, pelatihan, dan sertifikasi keahlian dalam peningkatan SDM bidang panas bumi. Ketua Geothermal Research Center UI, Dr. Yunus Daud mengungkapkan bahwa Indonesia membutuhkan suatu “center of excellence” di sektor panas bumi, sehingga Indonesia tidak inferior dan secara mandiri mampu mengelola sumber daya yang luar biasa besar ini.

Sosialisasi sejak dini juga penting dilakukan, agar anak-anak Indonesia tidak hanya mengetahui bahwa negeri ini kaya dengan rempah-rempah yang berjaya di masa lalu ataupun sumber daya alam lain yang kian menipis, tetapi juga sudah mulai paham dengan adanya anugerah panas bumi yang sangat melimpah.

#zonaebt #energiterbarukan #sobatheroes

Referensi:

[1] Energi Panas Bumi, Anugerah Melimpah bagi Bangsa



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 Comment