- Melihat upaya “langkah hijau” untuk mengatasi masalah iklim tidak bisa dinilai tanpa perspektif yang memadai.
- Ada beberapa aspek negatif dari peningkatan penggunaan biofuel yang harus disikapi.
- Sebuah gap yang harus dijembatani, bahwa masalah lingkungan menjadi krusial karena manusia adalah bagian darinya.
Peningkatan penggunaan biofuel merupakan salah satu indikator perubahan sumber konsumsi energi. Tidak hanya itu, perubahan ini juga mengarah pada beberapa isu, polusi, limbah, penggunaan fosil, dan tentunya kebijakan.
Perspektif Upaya Transisi
Mari mulai dengan pertanyaan mendasar, apakah peningkatan biofuel ini bisa jadi salah satu indikator kemajuan? Sobat EBT Heroes, pasti telah banyak mendapatkan informasi mengenai transisi energi yang dilakukan oleh berbagai negara. Mulai dari menggunakan bahan ramah lingkungan, penghematan, peningkatan upaya bauran, perubahan kebijakan yang signifikan, dan lain sebagainya.
Baca Juga
- PT ThorCon Power Indonesia: Nuclear Energy Sector Has a Share of 11% in 2060
- Government Moral Crisis On Energy And Water
Perubahan yang bisa dianggap sebagai “langkah hijau” ini, harus dilihat secara lebih luas. Pola transisi dan model keberlanjutan selalu menggunakan template umum, seperti yang telah disebutkan. Perspektif yang belum dilihat adalah bahwa tetap ada “cost” yang harus dibayar. Energi baru terbarukan tidak sepenuhnya bebas dari emisi atau limbah. Misalnya, dalam aspek panel surya, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti limbah yang dihasilkan selama proses pembuatannya, masa pakainya yang terbatas, serta tantangan terkait penerapan energi terbarukan lainnya.
Pembangkit listrik tenaga angin juga memiliki kelemahan, terutama dalam proses produksinya yang membutuhkan sejumlah besar energi untuk membuat baling-baling turbin. Hal ini, menjadi salah satu aspek yang perlu diperhatikan secara kritis, sehingga Sobat EBT Heroes tidak hanya menerima informasi tentang transisi energi secara mentah-mentah. “Karena yang disebut sebagai upaya mitigasi krisis iklim itu tidak hanya sebatas pada pengurangan emisi saja, tetapi juga perlindungan lingkungan”.
Apa Efek Peningkatan Biofuel?
Permintaan biofuel yang meningkat, memunculkan efek negatif. Berikut adalah beberapa efek negatif yang muncul akibat meningkatnya permintaan biofuel :
1. Persaingan dengan pangan, meningkatnya permintaan biofuel menyebabkan alih fungsi lahan pertanian dari produksi pangan menjadi tanaman biofuel. Sehingga berpotensi meningkatkan harga pangan dan mengancam ketahanan pangan. Meski potensi ini kecil karena ada sebuah prioritas, namun alih fungsi lahan yang terjadi dapat mengancam kebutuhan dasar masyarakat adat yang memiliki mekanisme produksi makanan yang berbeda dengan masyarakat saat ini.
2. Deforestasi terjadi ketika lahan hutan ditebang untuk dijadikan perkebunan tanaman biofuel. Proses ini menyebabkan hilangnya habitat alami dan berkontribusi pada kerusakan lingkungan. Contoh yang sering kita temui adalah produksi kelapa sawit yang secara luas mendominasi kawasan hutan, mengakibatkan hilangnya ekosistem penting, dan mempercepat perubahan iklim.
3. Degradasi lahan merupakan praktik pertanian intensif untuk produksi biofuel yang dapat menyebabkan degradasi tanah, termasuk erosi, pengeringan sumber air, dan penurunan kesuburan tanah.
4. Penggunaan sumber daya air yang berlebihan, produksi tanaman biofuel membutuhkan banyak air untuk tumbuh. Ini yang menyebabkan stres pada sumber daya air dan mengurangi ketersediaan air untuk kebutuhan lain, termasuk pertanian pangan.
5. Emisi gas rumah kaca dari pengolahan. Meskipun biofuel dianggap lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil, proses produksinya tidak sepenuhnya bebas dari dampak negatif. Pengolahan biofuel, seperti pemrosesan tanaman dan transportasi, dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan biofuel tetap memerlukan pengelolaan yang bijaksana untuk meminimalkan dampak lingkungannya.
Baca Juga
- Prabowo’s Swasembada Energi Without New Renewable Energy Will Be Useless
- Indonesia’s Trans Java Toll Could Boost Clean Energy Mix
6. Dampak terhadap keanekaragaman hayati. Konversi lahan menjadi perkebunan tanaman biofuel dapat mengurangi keanekaragaman hayati. Langkah menggantikan ekosistem alami dengan monokultur tanaman yang kurang mendukung berbagai spesies.
7. Peningkatan harga tanah. Permintaan biofuel dapat mendorong harga tanah pertanian naik, yang bisa membebani petani kecil dan meningkatkan ketimpangan ekonomi.
8. Ketergantungan pada pangan dan energi yang tidak seimbang. Negara-negara yang bergantung pada tanaman untuk biofuel mungkin menghadapi ketergantungan ganda, yaitu pada sumber daya alam yang sama untuk pangan dan energi. Hal ini dapat meningkatkan kerentanannya terhadap fluktuasi pasar dan perubahan iklim, karena gangguan dalam pasokan pangan atau energi dapat memiliki dampak yang luas pada kestabilan ekonomi serta sosial.
9. Kualitas tanah yang menurun. Tanaman untuk biofuel cenderung membutuhkan perawatan intensif, jika tidak dilakukan dengan benar. Ini bisa menyebabkan penurunan kualitas tanah dan memperburuk masalah kesuburan tanah dalam jangka panjang.
Apa Prespektif yang Bisa Diambil?
Isu biofuel dapat selesai, jika tidak ada tantangan pada ketahanan pangan dan sektor penting seperti minyak goreng serta lahan. Sayangnya, irisan konflik ini tidak bisa dihilangkan, karena memang menjadi satu kesatuan. Jika melakukan peningkatan produksi bahan baku biofuel, maka perlu upaya ekstensifikasi lahan. Isu lahan menjadi hal yang paling sensitif dan membahayakan, sejarah telah menunjukkannya berkali kali. Begitu pula dengan kekurangan bahan pokok, ini merupakan salah satu pemicu konflik.
Dari beberapa nomor yang disebutkan di atas, efek yang dapat memicu konflik adalah salah satu kebutuhan dasar. Namun, ada hal yang menarik deforestasi, kualitas tanah, keanekaragaman hayati dan gas rumah kaca tidak dilihat. Padahal mereka adalah salah satu aspek penunjang kehidupan. Terdapat gap yang besar dalam cara melihat isu ini.
Apakah Sobat EBT Heroes mengalaminya? Kita seakan – akan melihat, bagaimana kenaikan harga tanah, kekurangan pasokan makan menjadi sesuatu yang mengancam hidup. Sedangkan, perilaku merusak lingkungan dengan aktivitas menghasilkan karbon, merusak tanah menjadi hal lumrah.
Bencana alam selalu dianggap normal, padahal kita berkontribusi pada bencana itu dari aktivitas sehari -hari. Kerusakan tanah akibat pola agrikultur yang merusak, keanekaragaman hayati yang menurun akibat industrialisasi, kekeringan tanah akibat bangunan di mana mana, pembangunan bendungan, dan irigasi (air minum) yang diarahkan ke perkotaan. Saat terjadi, sebuah bencana baik pemerintah maupun masyarakat akan menganggap dirinya sebagai korban alam.
Sobat EBT Heroes, marilah memulai untuk menjembatani gap yang terjadi. Serta terus mengedukasi masyarakat bahkan pada level pemerintah untuk bersama – sama membangun kesadaran, bahwa manusia adalah satu kesatuan dengan ekosistem.
#zonaebt #sebarterbarukan #ebtheroes
Editor : Alfidah Dara Mukti