
- Ibu-ibu seperti Zhaqraf dan Nada sadar, bumi yang sehat adalah warisan terbaik untuk anak-anak mereka. Mereka memulai dari rumah, lewat aksi hidup minim sampah.
- Memilah sampah, mengompos, hingga mengenalkan anak pada alam jadi cara sederhana merawat bumi. Mereka membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari dapur rumah sendiri.
- Perempuan berperan penting dalam ekosistem lingkungan, tapi sering tak dilibatkan dalam kebijakan. Padahal, mereka yang paling merasakan dampaknya. Perubahan iklim memperparah kerentanan perempuan. Karena itu, keadilan iklim tak bisa dilepaskan dari keadilan gender.
Di tengah kian nyatanya ancaman krisis iklim, dua perempuan Indonesia memilih melawan dengan cara sederhana: mengelola sampah dari rumah. Dari dapur, ruang tamu, hingga media sosial, mereka mengedukasi keluarga dan komunitas untuk hidup minim sampah demi masa depan anak-anak mereka.
“Kita itu hanya meminjam bumi dari masa depan mereka (anak-anak). Jangan sampai bumi dirusak oleh kita sendiri, sedangkan kita (sekarang) meminjam lingkungan dari masa depan si anak. Kita malah merusak, anak-anak kita tidak akan bisa melihat apapun variasi-variasi hewan nantinya dan hewan akan punah,” tutur Zhaqraf Maulida, content creator perempuan, penggerak Kelompok Wanita Tani (KWT) Putri Manggala pada ZonaEBT, Jumat, 11 April 2025.
Zhaqraf, satu dari banyak perempuan yang menyadari penuh bahwa saat ini bumi butuh aksi pelestarian nyata dari para penghuninya. Ia menyampaikan, setiap hari dampak perubahan iklim yang terjadi di bumi makin terasa nyata. Banjir rob terjadi semakin sering, disertai cuaca panas ekstrem yang beberapa kali mencatat suhu hingga 39,4 °C.
Sadar akan situasi ini, Zhaqraf memilih mengurangi emisi karbon yang berefek ke perubahan iklim dengan menjalani hidup minim sampah (zero waste) di rumahnya, di Semarang. Ibu tiga anak ini semata melakukannya agar rumah (planet Bumi) yang ditinggali anaknya kelak tidak semakin rusak parah dan berujung punah.
Kekhawatiran serupa juga dirasakan Nada Arini, seorang ibu rumah tangga dan content creator yang aktif mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan. Ia menilai, dampak perubahan iklim semakin sering muncul dalam keseharian, terutama di Jakarta kota tempat tinggalnya yang dikenal sebagai salah satu kota dengan tingkat polusi udara tertinggi di dunia.
“Berkaca dari pengalaman, selain karena anak-anak, dulu wacana (masalah lingkungan) yang ada di otak aku itu seperti tidak nyata. Aku tahu ada masalah lingkungan, aku tahu ada masalah sampah, tapi rumahku bersih, mall bersih, jalanan bersih, jadi seperti tidak nyata begitu masalah ini,” ujar Nada pada ZonaEBT, Minggu, 30 April 2025.
Membentuk Kesadaran Lingkungan Anak, Membentuk Kesadaran Lingkungan Warga
Studi kasus dari Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), menunjukkan bahwa praktik zero waste bisa menekan emisi karbon secara signifikan, hingga hanya 10%, dibandingkan dengan sistem pengelolaan sampah konvensional yang langsung membuang sampah tercampur ke TPA.
Baik Zhaqraf, maupun Nada, memulai aksi mengurangi emisi karbon dengan hidup minim sampah dari rumah. Keduanya mengawali aksi tersebut dengan membangun kebiasaan di keluarga, terutama anak-anak mereka.
Zhaqraf membiasakan keluarganya untuk memilah sampah menggunakan rak yang ia desain khusus dengan label berdasarkan jenisnya: kertas, botol, hingga limbah B3 seperti elektronik rusak.
“Kami juga punya kotak pilah sampah yang bentuknya lemari, yang ada tulisannya untuk kertas, lalu botol, lalu bahan B3 yang berbahaya beracun. Di situ isinya tentang elektronik-elektronik yang sudah tidak dipakai. Nanti anak-anak jadi tahu dan mengerti melihat laku ibunya, melihat laku-laku hidup orang tuanya,” ujarnya.
Baca Juga
- Tokoh Inspiratif Indonesia, Pengubah Limbah Menjadi Berkah
- Lima Peran Perempuan dalam Energi Terbarukan untuk Keseimbangan Alam
Kebiasaan ini membawa dampak positif. Selain anak jadi mengenal jenis-jenis sampah, keluarga Zhaqraf pun merasakan manfaat langsung, seperti rumah tidak lagi bau karena sampah sudah dipilah.
Selain langkah pilah sampah seperti yang dilakukan keluarga Zhaqraf, Nada juga mengenalkan anak pada alam secara langsung. Menurutnya, itu langkah penting karena ia ingin anaknya tidak merasa asing dengan tanah, pohon, dan binatang.

“Jadi, aku berusaha mencontohkan keseharian di rumah, bahwa menyatu sama alam itu tidak berbahaya, itu menyenangkan, seperti ngubek-ngubek tanah. Kalau aku aja berapa kali posting ngaduk kompos, aku tidak pakai sarung tangan. Dan banyak anggapan itu kotor, padahal tidak. Aku mau bikin anak-anak tetap terkoneksi dengan alam melalui berbagai cara,” sebut Nada.
Seturut dengan Nada, Zhaqraf menyoroti perubahan iklim yang menyebabkan keanekaragaman hayati yang semakin hilang. Jamak diketahui, alih fungsi lahan yang masif membuat ruang anak tumbuh beriringan dengan alam pun semakin minim. Ia menyadari bahwa spesies-spesies yang dulu umum dilihat seperti capung dan kunang-kunang kini makin jarang bahkan hilang.
“Tinggal di kota Semarang yang sangat panas membuat anak-anak tidak akan mungkin lagi ketemu kunang-kunang, tidak ketemu lagi sama capung. Bagaimana caranya kita ingin memberitahu ke anak-anak bahwa indahnya binatang-binatang ini dulunya, tapi sekarang tidak ada lagi,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia merasa penting untuk mengenalkan anak pada peran spesies dalam ekosistem, misalnya bagaimana paus menyerap karbon di laut atau bagaimana hutan menyediakan udara bersih bagi manusia.
“Kita bisa menceritakan begini, ‘Kak, tahu gak, ikan paus itu bisa menyerap karbon dioksida loh, dan si paus ini setara dengan seribu pohon,’ misalkan begitu. Jadi kita memang, ibu itu harus menceritakan hal-hal itu sebagai dasar pengetahuan untuk pelestarian lingkungan bagi anak,” tuturnya sambil membayangkan berbicara dengan anaknya.
Setelah hidup minim sampah telah menjadi kebiasaan rutin di keluarga mereka, Zhaqraf dan Nada kemudian melanjutkan aksi mereka dengan mengedukasi masyarakat.
Zhaqraf memilih mengajak masyarakat lewat kegiatan nyata seperti bank sampah.
“Caranya itu dengan beri tahu, ‘Ibu-ibu, ayo kita kumpulkan sampah, sampah-sampah anorganik nanti setelah ini kita akan jual ke pengepul. Ibu-ibu bisa mendapatkan sedikit uang dari sampah-sampah itu,’ ceritanya harus begitu. Lalu nanti uang itu bisa untuk merawat kebun sayur, karena kita punya sistem begitu,” ujar duta Ibu ASAKA (Atasi Sampah Keluarga) ini.

Nada juga menggunakan pendekatan serupa melalui Edu-Trip bersama Sustainable Indonesia. Menurutnya, mendekatkan masyarakat pada masalah lingkungan secara langsung bisa membangkitkan kesadaran baru dan menjadi roda penggerak baru untuk keberlanjutan lingkungan.
Ia menekankan, praktik hidup berkelanjutan (sustainable living) bisa dilakukan tanpa harus menargetkan tindakan-tindakan besar. Upaya-upaya kecil yang dilakukan secara konsisten, kata Nada, akan memberi perubahan yang berarti karena sifatnya berkelanjutan.
“Kalau aku selalu menyarankan tidak usah pikirin hal-hal yang grande dulu begitu. Mulai aja dengan ngompos gitu ya. Ngompos itu kan kayaknya sederhana, tapi kalau dilakukan setiap hari, magic juga begitu,” ucapnya.
Zhaqraf pun memberi ide lainnya. Menurutnya, praktik sustainable living bisa dalam banyak bentuk: menggunakan peralatan ramah lingkungan seperti popok kain dan pembalut kain, dan merancang food preparation sebagai strategi pengurangan emisi karbon. Makanan jadi tidak berlebihan, mengurangi aktivitas penggunaan kendaraan yang mendistribusikan makanan, dan meminimalisasi sisa makanan.
“Kita akan tahu dari daftar belanja tersebut itu, tahu mana-mana barang-barang yang harus dibeli tanpa membuang makanan lebih banyak untuk food waste. Jadi dengan kita punya food preparation, kita bisa cermat untuk berbelanja, otomatis bisa mengurangi emisi karbon. Otomatis belanja cuma satu kali dalam satu minggu, karena kita sudah punya daftar belanja yang harus dibuatkan,” ujar Zhaqraf.
Motif dan Cara Boleh Berbeda, Tujuan Tetap Sama
Meski kedua perempuan ini menjalani hidup minim sampah dengan motif dan caranya masing-masing, tujuan mereka sama. Mereka ingin meninggalkan kualitas lingkungan yang baik dan lestari untuk anak mereka.
Nada, mantan pegawai kantoran yang memutuskan menjadi content creator zero waste ini tertarik menjalani praktik hidup minim sampah setelah berkunjung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, Bekasi, bersama anaknya.
Sepanjang prosesnya, ia banyak berinteraksi langsung dan belajar dengan masyarakat. Menurutnya, berbaur dengan masyarakat dari segala lapisan adalah cara. Terutama lapisan menengah ke bawah yang paling terdampak perubahan iklim, dan memperbanyak aksi langsung dapat membuka pandangan atas masalah, sehingga hal tersebut tidak sekadar jadi pengetahuan.
“Ketika aku melihat langsung (masalah lingkungan), merasakan langsung, semua sensorik tubuh itu merasakan (mata, hidung, tangan dll) itu seperti ditampar bolak-balik, rasanya kayak ini loh yang jadi omongan itu, nah itu yang buat aku bisa menerjemahkan masalah lingkungan tadi,” lanjutnya.
Baca Juga
- Kaitan antara Perempuan dan Perubahan Iklim
- Zero Waste dan Kreativitas Bisnis Berkelanjutan di Industri Tekstil
Nada pun menuangkan pengetahuannya tentang problem lingkungan itu beserta tawaran solusi seperti praktik mengompos makanan, dengan membuat konten-konten edukasi di akun Instagram miliknya.
Selain Nada, Zhaqraf juga menerjemahkan isu lingkungan dengan cara membuat konten-konten edukasi zero waste untuk meningkatkan kesadaran warga agar ikut menerapkan praktik hidup minim sampah. Ia berharap, praktik ini akan menjadi sebuah kenormalan di tengah masyarakat. Ia ingin anaknya bersama anak dan orang tua lainnya paham betapa pentingnya menjaga lingkungan di sekitar mereka, dan itu semua bisa terwujud dengan praktik zero waste.
Cara ini ternyata bekerja bagi banyak ibu rumah tangga lainnya. Zhaqraf, melalui konten-konten yang ia unggah, membagikan tips pengolahan sampah hingga mengelola bank sampah masyarakat. Dari kontennya tersebut, banyak perempuan lainnya tertarik untuk melakukan hal yang sama. Tak hanya itu, UNICEF dan LSM Peri Bumi, juga ikut aktif menyuarakan isu lingkungan untuk kesejahteraan anak.
Peran Besar Sekaligus Kerentanan Perempuan dalam Ekosistem Lingkungan

Perempuan dan semua ibu berperan besar dalam merawat bumi dan lingkungan. Namun, tak kalah penting, peran laki-laki yang turut andil menjaga lingkungan bersama perempuan. Zhaqraf tidak memungkiri peran laki-laki amat dibutuhkan untuk mengisi peran-peran yang sulit dilakukan perempuan karena alasan tertentu. Ditambah lagi, mengingat perempuan ialah salah satu kelompok yang sangat rentan terdampak perubahan iklim.
Studi oleh Carbon Brief, lembaga kajian yang fokus di perubahan iklim, pada 2016 mendapati bahwa 68% perempuan lebih menderita atau terkena dampak lebih serius dari pemanasan global. Studi yang dikumpulkan dari banyak negara itu menunjukkan perempuan paling menderita setelah terjadi bencana. Perempuan rentan terpapar dengan masalah kesehatan mental, kekerasan, kelaparan, terserang penyakit mematikan, hingga bunuh diri.
Mike Verawati dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengatakan bahwa contoh rentannya perempuan adalah dari pencemaran air. Perempuan memiliki persentase bersentuhan dengan air sangat banyak mulai dari tidur sampai bangun lagi.
“Perempuan itu paling tahu kenapa karbon itu akhirnya diproduksi oleh alam semesta ini dan itu juga mempengaruhi hidup manusia juga, bagaimana emisi karbon dan yang lain-lain. Perempuan punya pengetahuan meskipun sangat tradisional, tetapi perempuan tidak pernah dilibatkan dan tidak pernah ditanya sebenarnya apa yang harus dilakukan. Karena perempuan dijauhkan dari pengetahuan, dari ruang-ruang yang berkaitan,” ujar sekjen KPI itu pada ZonaEBT, Rabu, 23 April 2025.
Nada dan Zhaqraf juga memberikan konteks serupa, terutama soal kurangnya keseriusan pemerintah untuk melibatkan perempuan dalam kebijakan pengurangan emisi karbon. Hal ini membuat keadaan perempuan semakin sulit.
“Aku lihat sekarang dari pemerintah maupun swasta seperti tidak serius. Pertama tidak serius mendampingi perempuannya, kedua tidak serius menghadapi masalah lingkungan,” ujar Nada, Co-Founder Sustainable Indonesia ini.
Ia menambahkan, program dari pemerintah menurutnya lebih banyak terkesan asal-asalan, yang hanya mementingkan program mereka berjalan. Sering kali dampaknya juga tidak diukur dan hanya berupa seminar-seminar yang tidak berkelanjutan. Nada pun menuturkan beberapa contoh yang sering terjadi seperti penanaman pohon seremonial.
“Programnya tidak berkesinambungan, kadang cuman menanam pohon, pohonnya itu tumbuh atau tidak juga tidak diperhatikan. Jadi programnya itu cuma tempelan-tempelan dan sekadar bisa klaim bahwa sudah menerapkan, tapi tidak tahu dampaknya,” lanjutnya.
Mike Verawati juga mengkritik pengarusutamaan gender di pemerintahan. Menurutnya, konsep itu bukan sekadar menjadi sebuah konsep besar yang abstrak, melainkan perlu diekstraksi dalam bentuk-bentuk konkret yang dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Termasuk di dalamnya dengan mengedepankan ruang pada kelompok disabilitas, komunitas minoritas seksual, dan masyarakat adat.
“Perempuan itu punya keterbatasan dalam menyampaikan maksudnya dan harus dibuka ruangnya oleh semua, termasuk pemerintah dan bagaimana caranya supaya partisipasi mereka bermakna,” ucap Mike.

Mike melanjutkan, perempuan memang harus banyak dilibatkan dalam kebijakan pemerintah. Peran kesetaraan gender dengan membagi peran antara laki-laki dan perempuan itu harus lebih dikuatkan.
“Perempuan juga perlu dikuatkan dan diingatkan bahwa mereka juga pemilik dari alam semesta ini. Mereka juga bukan hanya memproduksi, mereproduksi juga, mereka menjaga, tetapi mereka juga punya hak untuk mempertahankan alam atau lahan mereka sebagai bagian dari sumber-sumber penghidupan. Tidak ada yang mau memikirkan bahwa hutan itu jangan ditebang gitu ya, karena ke depan hutan itu juga akan berkesinambungan dan ini erat hubungannya dengan generasi ke depan,” lanjutnya.
Keterlibatan perempuan penting di ruang diskusi antar komunitas. Perempuan bisa jadi jembatan untuk perempuan lainnya menyuarakan kebutuhan di lingkungan.
Nada dan Zhaqraf sependapat bahwa perempuan haruslah saling menyatukan suara, visi, dan saling berkumpul untuk belajar dan menyampaikan keresahan. Mereka percaya, kekuatan itu bukan milik sendiri, melainkan milik bersama.
Artikel ini merupakan bagian dari Fellowship Kampanye Digital Isu Lingkungan Berperspektif Feminis oleh Konde.co.