Komunitas Wayang Sampah, Menjadi Kritik atas Limbah Plastik

Teaser Film Legenda Putri Cempo oleh Komunitas Wayang Sampah zonaebt.com
Teaser Film Legenda Putri Cempo oleh Komunitas Wayang Sampah. Sumber: Filmfreeway.com
  • Komunitas Wayang Sampah (Wangsa) di Surakarta mengubah sampah plastik menjadi wayang sebagai bentuk kritik terhadap permasalahan lingkungan. Salah satunya seperti teaser film Legenda Putri Cempo dan Opera-Si Plastik.
  • Muhammad Sulthoni Sastrowijoyo, atau Toni Konde, adalah salah satu inisiator sekaligus pendiri Komunitas Wayang Sampah. komunitas ini juga berkomitmen untuk tidak menghasilkan sampah dalam setiap pementasannya.
  • Wangsa telah menarik perhatian dunia. Mereka pernah tampil di berbagai ajang seni internasional, seperti Yunlin International Puppet Arts Festival di Taiwan dan Pesta Boneka di Yogyakarta. Karya mereka membuktikan bahwa seni tradisional bisa menjadi media advokasi lingkungan yang efektif dan mendunia.

Pada 10 Januari 2025, Komunitas Wayang Sampah (Wangsa), sebuah kelompok seni budaya asal Surakarta, Jawa Tengah, menghadirkan inovasi segar dalam dunia pewayangan Indonesia. Alih-alih menggelar pagelaran langsung, mereka justru memperkenalkan sebuah film yang menampilkan tokoh-tokoh wayang unik, yakni wayang yang terbuat dari sampah plastik.

Meskipun masih berupa teaser, antusiasme masyarakat terhadap film ini sangat tinggi. Teaser berjudul Legenda Putri Cempo, yang diunggah di laman Instagram @wayangsampah, berhasil menarik perhatian banyak orang.

Bukan sekadar hiburan, cerita ini menyampaikan kritik tajam terhadap ketidakpedulian manusia terhadap lingkungan. Film ini menggambarkan bagaimana Bumi bisa terkubur di bawah tumpukan sampah jika kita terus mengabaikan pengelolaan limbah.

Baca Juga



Inovasi ini membawa angin segar bagi budaya wayang Jawa. Kini, wayang bukan hanya sekadar tontonan, tetapi juga menjadi sarana edukasi dan advokasi berbagai isu sosial, lingkungan, politik, dan pendidikan. Para pegiat budaya yang peduli terhadap lingkungan pun mulai memanfaatkan seni sebagai alat untuk menyuarakan keresahan mereka.

Komunitas Wangsa adalah salah satunya. Dengan menggabungkan seni dan kepedulian lingkungan, mereka menawarkan cara baru untuk mengkritisi permasalahan sosial, terutama isu sampah plastik.

Dari Sampah Menjadi Wayang

Muhammad Sulthoni Sastrowijoyo, atau Toni Konde Menginisiasi Komunitas Wayang Sampah zonaebt.com
Muhammad Sulthoni Sastrowijoyo, atau Toni Konde Menginisiasi Komunitas Wayang Sampah. Sumber: Mongabay.co.id.

Muhammad Sulthoni Sastrowijoyo, atau yang akrab disapa Toni Konde, adalah salah satu inisiator sekaligus pendiri Komunitas Wayang Sampah. Keresahannya terhadap tumpukan sampah yang tidak terkelola dengan baik di Surakarta mendorongnya untuk menjadikan seni sebagai media advokasi lingkungan.

Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2022, Jawa Tengah menghasilkan sampah hingga 5,76 juta ton per tahun. Menyadari dampak dari angka tersebut, Toni mendirikan Komunitas Wangsa pada 14 Juni 2014.

Inspirasi ini ia dapatkan dari Romo Lawu Warta, seorang seniman dari Bengkel Teater, yang dikenalnya melalui organisasi peduli lingkungan bernama Anak Gunung Lawu.

“Mulanya saya coba-coba, kalau wayang dibuat dari bahan daur ulang akan seperti apa. Saya kepikiran plastik, lalu mulai mengotak-atik sampah plastik hingga akhirnya menjadi wayang,” ujar Toni dalam wawancaranya dengan Mongabay.co.id.

Bagi Toni, wayang dipilih sebagai medium edukasi karena masih populer di Jawa dan lebih mudah diakses oleh masyarakat. Bukan hanya sekedar seni pertunjukan, komunitas ini juga berkomitmen untuk tidak menghasilkan sampah dalam setiap pementasannya.

Daur Ulang Tokoh Wayang

Bonang dari Tabung Gas Bekas zonaebt.com
Alat Musik Bonang dari Tabung Gas Bekas karya Komunitas Wayang Sampah. Sumber: Filmfreeway.com

Pada awalnya, Toni menggunakan plastik kresek sebagai bahan utama untuk membuat busana wayang golek. Beragam warna plastik kresek dimanfaatkan untuk menciptakan karakter yang menarik dan khas.

Dilansir dari wawancara dengan Kompasiana.com (20/11/24), pemilihan warna plastik didasarkan pada karakter tokoh dalam cerita. Misalnya, warna hitam digunakan untuk tokoh Pak Lurah, hijau untuk Pak Somad, seorang hansip penjaga keamanan desa, dan merah muda untuk tokoh perempuan bernama Genduk yang digambarkan mengenakan kemben.

Tak hanya kostum wayang, berbagai alat pertunjukan lainnya juga dibuat dari barang-barang bekas. Kendang, gong geser, dan suling terbuat dari pipa bekas, sementara alat musik lainnya, seperti gender, saron, slenthem, siter, dan gong, dibuat dari kaca, kaleng, hingga galon bekas.

Salah satu alat musik paling unik yang dibuat komunitas ini adalah bonang. Biasanya, bonang terbuat dari gong atau logam kuningan dan dimainkan dengan cara dipukul. Namun, Wangsa justru membuat bonang dari tabung gas bekas.

“Selain tokoh wayang yang dibuat dari barang bekas, alat musiknya juga berasal dari material daur ulang seperti potongan kaca dan botol kaca. Nada-nadanya tetap mengadopsi sistem tangga nada karawitan Jawa, seperti pelog dan slendro,” jelas Toni kepada Tribunmuria.com.

Untuk latar dan pencahayaan, mereka menggunakan Overhead Projector (OHP) guna menciptakan efek visual yang lebih dramatis. Pementasan umumnya berlangsung selama 1–2 jam, dengan durasi maksimal 3 jam.

Wayang Sampah Mendunia

Pementasan Opera - Si Plastik oleh Wayang Sampah di Kanal Indonesia Kaya zonaebt.com
Pementasan Opera – Si Plastik oleh Wayang Sampah di Kanal Indonesia Kaya. Sumber: Kanal Youtube Indonesia Kaya

Komunitas Wangsa tidak hanya dikenal di Jawa atau kalangan masyarakat lokal. Anggotanya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Sumatera dan Kalimantan, bahkan dari luar negeri.

Salah satu anggotanya adalah Sean Hayward, seorang seniman asal Amerika Serikat yang mulai tertarik dengan seni karawitan saat menempuh studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pada 2015. Ia kemudian bergabung dengan Komunitas Wangsa pada 2020.

Komunitas ini juga telah menarik perhatian berbagai ajang seni nasional dan internasional. Dalam skala nasional, mereka pernah berkolaborasi dengan portal budaya Galeri Indonesia Kaya dan menghadirkan pentas daring Opera-Si Plastik pada 14 November 2020 di kanal YouTube Indonesia Kaya.

Sementara itu, di kancah internasional, Wayang Sampah pernah tampil di berbagai festival seni dunia, seperti Gunungan International Mask and Puppets Festival (2015), Pesta Boneka (2016), dan Yunlin International Puppet Arts Festival di Taiwan (2018). Mereka juga pernah mengisi acara di Filipina dan Thailand.

“Wayang Sampah ini cukup unik. Bukan hanya sekadar menyampaikan cerita tentang pelestarian lingkungan, tetapi juga menjadi aktor dalam upaya penanganan sampah itu sendiri,” ujar Toni dalam wawancaranya dengan Mongabay.co.id.

Baca Juga



Dengan segala inovasinya, Komunitas Wangsa berhasil membawa seni tradisional ke level baru. Mereka tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga menjadikannya sebagai alat kritik sosial yang efektif terhadap permasalahan lingkungan, khususnya limbah plastik.

Keberlanjutan ini menjadi harapan bagi banyak pihak agar semakin banyak orang yang sadar akan pentingnya pengelolaan sampah. Dengan langkah-langkah kecil seperti ini, masa depan bumi yang lebih bersih dan lestari bukan lagi sekadar angan-angan.

Tertarik ikut serta dalam gerakan ini? Dukung Komunitas Wayang Sampah dengan mulai memilah sampah, mendaur ulang, atau bahkan menciptakan karya seni dari limbah di sekitar kita!

#zonaebt #sebarterbarukan #ebtheroes #KurangiPlastik #MengolahSampah

Editor : Alfidah Dara Mukti

Referensi:

[1] Komunitas Wayang Sampah, Sebarkan Pesan Lingkungan Lewat Budaya

[2] Cerita Toni Konde Hidupkan Wayang Sampah untuk Edukasi Lingkungan kepada Warga di Karanganyar

[3] Wayang Sampah, Peduli Lingkungan dengan Media Budaya

[4] The Legend of Putri Cempo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 Comment