Kjokkenmoddinger: Sampah Kerang yang Ungkap Cara Makan Manusia Purba

Illustrasi Homo Erectus dan Kjokkenmoddinger. Sumber: Illustrasi Pribadi
  • Kjokkenmoddinger adalah timbunan kulit kerang bercampur sisa aktivitas manusia purba seperti batu, arang, dan tulang, yang menunjukkan adanya kehidupan menetap di pesisir.
  • Kjokkenmoddinger tersebar luas sejak Zaman Paleolitikum hingga Mesolitikum, ditemukan di banyak belahan dunia kecuali kutub, dan paling banyak di Afrika Selatan dan Asia Tenggara.
  • Kerang dikonsumsi dengan cara dipanggang dan direbus, sementara kulitnya digunakan sebagai perkakas, perhiasan, bahkan alat tukar oleh manusia purba.
  • Kehadiran tumpukan kerang di Sumatera menjadi bukti eksistensi Orang Hoabinh, Homo Erectus dari ras Melanesoid yang masuk lewat Sundalandia sebelum daratan itu tenggelam.

Manusia prasejarah sering kali digambarkan sebagai manusia gua yang cenderung karnivora dan memakan daging hewan-hewan besar. Namun, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Masih banyak jenis makanan lain yang menjadi sumber protein mereka, salah satunya adalah makanan laut seperti kerang.

Uniknya, jejak konsumsi makanan laut oleh manusia purba ini dapat diketahui dari tumpukan sampah kerang yang menjulang tinggi, yang dikenal dengan istilah Kjokkenmoddinger. Istilah ini berasal dari bahasa Denmark, yakni kjøkken yang berarti “dapur” dan mødding yang berarti “sampah”.

Menariknya, Kjokkenmoddinger banyak ditemukan di wilayah pesisir kepulauan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Salah satu temuan penting berada di bagian utara Pulau Sumatera.

Apa itu Kjokkenmoddinger?

Istilah Kjokkenmoddinger pertama kali dicetuskan oleh peneliti asal Denmark, Japetus Steenstrup, yang menggunakannya untuk menggambarkan tumpukan kulit kerang sisa aktivitas manusia purba. Dalam berbagai penelitian, wujud Kjokkenmoddinger ini umumnya berupa fosil gabungan yang telah mengeras dan membatu.

Peneliti lainnya, Søren H. Andersen dari National Museum of Denmark, juga meneliti tentang Kjokkenmoddinger. Dalam jurnal ilmiahnya, ia mendefinisikan Kjokkenmoddinger sebagai jenis pemukiman manusia purba di daerah pesisir.

Tumpukan sampah kerang ini didominasi oleh cangkang kerang, tetapi juga bercampur dengan sisa-sisa lain seperti batu api, tulang, tanduk rusa, arang, keramik, abu, batu retak api, serta fitur-fitur pemukiman seperti perapian, lubang, tiang pancang, hingga kuburan. Temuan-temuan inilah yang menjadi bukti adanya aktivitas manusia di lokasi tersebut.

Untuk mengetahui usia Kjokkenmoddinger, para peneliti umumnya menggunakan metode penanggalan radiokarbon.

Secara geografis, tumpukan sampah kerang ini sering ditemukan di sekitar gua-gua yang dulunya merupakan wilayah pantai. Dalam penelitian berjudul Neandertal Surf and Turf (2020), disebutkan bahwa Kjokkenmoddinger telah ada sejak Zaman Paleolitikum Akhir hingga Mesolitikum Awal, sekitar 15.000–8.000 SM.

Illustrasi Periode Zaman di Bumi. Sumber: naturphilosophie.co.uk

Baca Juga



Zaman Mesolitikum, atau yang dikenal sebagai Zaman Batu Tengah, merupakan periode transisi setelah Zaman Paleolitikum (zaman es). Pada masa ini, manusia purba seperti Homo erectus mulai hidup menetap di gua-gua dan menggunakan perkakas sederhana, seperti kapak batu.

Dalam jurnal berjudul Shell Midden Archaeology: Current Trends and Future Directions (2023), diungkapkan bahwa tumpukan kerang (shell midden) ditemukan hampir di seluruh benua, kecuali Antartika. Wilayah dengan jumlah temuan terbanyak adalah Afrika Selatan. Hal ini disebabkan oleh kelangkaan kerang di wilayah kutub yang beriklim dingin, sehingga manusia purba di sana lebih mengandalkan sumber makanan lain.

“Timbunan kerang umumnya tidak ada atau langka di wilayah kutub di mana kondisi lingkungan sering mendorong orang untuk fokus pada sumber daya lainnya,” tulis Torben C. Rick peneliti dari National Museum of Natural History sekaligus penulis penelitian ini.

Menariknya, Kjokkenmoddinger tidak hanya terdiri dari cangkang kerang, tetapi juga ditemukan sisa-sisa tulang mamalia, arang, perkakas purba, bahkan ada indikasi bahwa tumpukan ini memiliki fungsi lain di luar sekadar tempat pembuangan sampah.

Mengungkap Cara Manusia Purba Makan

Dalam jurnal Marine Mollusc Exploitation in Mediterranean Prehistory: An Overview, disebutkan bahwa pemanfaatan moluska termasuk kerang sudah terjadi sejak Zaman Paleolitikum. Di wilayah Mediterania, praktik ini bahkan telah berlangsung sejak sekitar 300.000 tahun yang lalu.

Namun, bukti yang lebih jelas dan konkret ditemukan di gua-gua dan lapisan endapan yang berasal dari periode yang lebih muda, yakni Paleolitikum Akhir hingga Mesolitikum Awal. Dalam catatannya, Torben C. Rick juga menulis bahwa panen kerang dan ikan telah terbukti dilakukan oleh manusia purba di kepulauan Asia Tenggara sejak sekitar 44.000 hingga 42.000 tahun yang lalu, atau pada masa Paleolitikum Akhir.

Torben juga mengungkapkan bahwa manusia purba umumnya mengonsumsi kerang dengan cara memanggangnya sebagai metode untuk membuka dan menyiapkan daging kerang. Selain dipanggang, kerang juga kemungkinan direbus, tergantung pada teknik yang tersedia saat itu.

“Ini dapat diketahui dari keberadaan abu yang melimpah dan potongan arang besar dan bersudut dari tempat pembuangan limbah kerang, ini adalah metode pengolahan kerang yang paling mungkin berdasarkan analisis residu organik tembikar dari tumpukan sampah kulit kerang,” lanjutnya.

Dilansir dalam Tirto.id, (28/03/21) kulit kerang sering dijadikan sebagai perkakas, perhiasan, hingga alat tukar. Sedangkan kapak genggam sederhana seperti pebble, batu pipisan untuk penggiling penghalus umum ditemukan di sekitar Kjokkenmoddinger.

Kjokkenmoddinger dan Orang Hoabinh

Dikutip dalam Balai Arkeologi Yogyakarta, di Indonesia Kjokkenmoddinger digunakan sebagai rujukan untuk timbunan sampah cangkang kerang yang menumpuk. Selain itu tumpukan sampah kerang ini juga banyak ditemukan di Langsu dan Medan, terutama sepanjang pantai timur Sumatera.

Lebih lanjut lagi, penelitian dari LSM yaitu Leakey Foundation di Kepulauan Riau mendapatkan tumpukan sampah kerang yang berumur 12.550 – 1.700 SM dan menjadi bukti adanya orang Hoabinh.

Orang Hoabinh sendiri merupakan manusia purba (Homo Erectus) ras Melanesoid yang hidup di Indochina, terutama Vietnam dan mempunyai pengaruh besar pada perkembangan manusia purba di Indonesia.

Tumpukan Sampah Kerang di Bintan, Kepulauan Riau. Sumber: Leakey Foundation

“Penanggalan radiokarbon awal dari tumpukan sampah ini menunjukkan bahwa orang Hoabinh aktif di wilayah ini sejak 12.550 tahun yang lalu hingga sekitar 1.700 tahun yang lalu,” tulis Julien Louys peneliti Leakey Foundation pada Sapiens.org, Januari 2025 lalu.

Adanya orang-orang Hobinh ini diduga masuk melalui sub kontinen Sumatera yang dulunya masih tergabung dalam dataran benua Sundalandia pada Zaman Pleistosen (2,58 juta tahun lalu hingga 11.700 juta tahun lalu).

Baca Juga



Menurut Louys, 400 ribu tahun lalu dataran Sundalandia tersebut mulai tenggelam dan sekitar 12 ribu tahun yang lalu, daratan besar ini berada di bawah air. Sehingga membuat banyak situs sulit untuk diakses karena kenaikan muka air laut ini.

Para arkeolog pertama kali menemukan tanda-tanda  Homo Erectus  di Jawa, Indonesia, pada tahun 1890-an. Sekarang peninggalan dan hasil penelitian tersebut dapat ditemui di situs museum Sangiran, Jawa Tengah. 

#zonaebt #sebarterbarukan #ebtheroes #KurangiPlastik

Editor : Alfidah Dara Mukti

Referensi:

[1] Shell Midden Archaeology: Current Trends and Future Directions

[2] The vanishing traces of our earliest ancestors in Indonesia

[3] Pengertian Kjokkenmoddinger: Sejarah & Fungsinya di Zaman Praaksara

[4] The Vanishing Traces of Our Earliest Ancestors in Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *