
- Lobi kuat dari sektor fosil, seperti yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar, menghambat upaya transisi energi.
- Penggunaan biomassa sebagai sumber energi tradisional di Afrika, terutama oleh perempuan, berkontribusi pada emisi gas rumah kaca dan meningkatkan beban kerja mereka.
- Diplomasi internasional sangat penting dalam mengatur pemanfaatan biomassa secara berkelanjutan, dan memastikan akses yang adil bagi kelompok rentan.
Lobi Sektor Fosil Yang Kuat Memperburuk Upaya Transisi
Dalam setiap kebijakan hubungan negara dan bisnis, upaya lobi akan selalu ada, begitu juga dalam sektor energi. Lobi memainkan peran penting dalam setiap kebijakan, baik upaya meloloskan rancangan kebijakan atau menggagalkannya. Ambil contoh lobi di Amerika, dimana perusahaan sektor fosil seharusnya membayar pajak karbon. Akan tetapi pada akhirnya negara berujung tak ada tanduk untuk mebebankan pajak karbon pada perusahaan fosil.
Amerika dan Eropa merupakan wilayah yang sangat kuat untuk aktivitas lobi semacam ini. Shell misalnya mengeluarkan 4 juta Euro untuk melakukan lobi di Eropa. Melalui lobi, perusahaan fosil mampu meyakinkan kepada pemerintah terkait solusi penyimpanan karbon dan dana pertangungjawaban sosial sesuai dengan keinginannya. Bisa dilihat bagaimana dampak lobi yang ada ini dalam ranah produk akademik, melalui tulisan yang mendeskreditkan argumentasi dampak fosil pada iklim.
ExxonMobil, perusahaan minyak terbesar di dunia, mengetahui perubahan iklim sejak tahun 1981, tujuh tahun sebelum menjadi isu publik. Meskipun demikian, perusahaan tersebut menghabiskan jutaan dolar selama 27 tahun berikutnya untuk mendukung penolakan perubahan iklim.
Dalam sejarahnya Exxon menjadi perusahaan yang melakukan aksi tersebut. Lobi tersebut dilakukan dengan melakukan pendanaan, bertujuan untuk menciptakan keraguan publik tentang krisis iklim. Menghambat tindakan nyata untuk mengatasi perubahan iklim, dan mempertahankan kepentingan ekonomi perusahaan di industri bahan bakar fosil.
Exxon menjadi tertarik dengan isu karbon dioksida dan perubahan iklim pada tahun 1981 bukan tanpa sebab. Hal ini karena ingin mengembangkan ladang gas Natuna di lepas pantai Indonesia. Natuna sendiri adalah cadangan gas alam yang sangat besar, tetapi 70%-nya adalah CO2. Dari sini sangat jelas perusahaan hanya tertarik pada dampak lingkungan sejauh dampak tersebut mempengaruhi keuntungannya.
Dampak Fosil Bisa Sangat Besar Salah Satunya Pada Wanita
Selain melihat bagaimana sebuah perusahaan multinasional secara masif berkontribusi pada keberlangsungan fosil. Kita harus melihat bagaimana penggunaan fosil ini juga mempengaruhi komunitas rentan dan khususnya wanita. Faktanya faktor utama mengenai kontribusi emisi oleh rumah tangga tradisional di Afrika.
Emisi gas rumah kaca (GRK), Penggunaan cara memasak tradisional, seperti api terbuka, berkontribusi terhadap emisi GRK, penggundulan hutan, dan polusi udara dalam ruangan. Cara memasak tradisional juga dapat meningkatkan GRK karena merupakan faktor utama dalam menambah karbon ke atmosfer.
Peran Perempuan Perempuan di daerah pedesaan Afrika sangat bergantung pada biomassa seperti kayu untuk energi dan mata pencaharian. Mereka bertanggung jawab untuk mengumpulkan bahan bakar, tugas yang memakan waktu dan tenaga, yang diperburuk oleh perubahan lingkungan.

Baca Juga
- Mengeksploitasi Hutan Untuk Meningkatkan Bauran Energi
- Independence Day In 2024: Indonesia Could Be An Avatar For Renewable Energy
Perempuan dalam sistem energi tradisional adalah yang paling dekat dengan bahaya serta penyumbang karbon. Oleh karena itu perempuan menjadi yang paling terdampak pada perubahan lingkungan khususnya pada tugasnya dalam urusan domestik. Terlebih lagi, hilangnya hutan akibat penebangan liar dan perubahan iklim membuat perempuan harus menempuh jarak lebih jauh untuk mendapatkan kayu bakar, yang meningkatkan beban kerja mereka.
Penjelasan isu ini bukan hanya sekadar menggambarkan terkait upaya untuk menggeser atau melemahkan posisi laki laki. Akan tetapi pada aspek yang lebih mendasar dan krusial, bahwa ada ancaman serius pada masalah domestik yang perlu diselesaikan. Terkait dengan kesehatan, keadilan, dan akses yang layak yang harus diberikan untuk meringankan beban perempuan.
Jadi tidak bertujuan untuk mengubah struktur sosial, di mana perempuan yang ditugaskan mengenai urusan domestik untuk melawan. Karena itu akan membutuhkan banyak usaha terkait dengan penentangan sosial dan budaya. Tetapi sesederhana memberikan perempuan untuk memiliki akses terhadap fasilitas memasak modern, dan lebih ramah lingkungan yang akan menjamin dirinya. Dapat dilihat, permasalahan biomassa bisa menyangkut isu yang lebih luas termasuk kesehatan, gender. Oleh karena itu kuncinya adalah transformasi energi biomassa yang lebih serius.
Peran Diplomasi dalam Menangani Isu Biomassa
Diplomasi internasional berperan penting dalam mengatur pemanfaatan biomassa secara berkelanjutan, dan permasalahan seperti yang dialami keluarga di Afrika dan belahan dunia lain. Meski negara-negara di seluruh dunia memiliki sumber daya alam yang berbeda dan kebijakan energi yang beragam.
Namun tantangan global seperti perubahan iklim memerlukan kerja sama antar negara yang erat. Diplomasi memainkan peran kunci dalam mencapai kesepakatan tentang bagaimana mengelola biomassa dan memastikan bahwa pemanfaatannya tidak memperburuk masalah emisi karbon.
Baca Juga
- Biomassa Masih Belum Terlalu Menggoda Dibandingkan Fosil
- Indonesia Tertinggal Jika Tidak Menerapkan SAF!
Salah satu langkah awal dalam diplomasi biomassa adalah pembentukan perjanjian internasional yang mengatur penggunaan dan perdagangan biomassa. Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (CBD) dan Perjanjian Paris serta mewujudkan SDGs. Hal tersebut adalah contoh kesepakatan penting pada pengurangan emisi karbon, termasuk yang berasal dari sektor biomassa.
Di dalam kesepakatan itu isinya untuk membatasi penggunaan biomassa yang tidak berkelanjutan dan mempromosikan praktek pengelolaan hutan yang ramah lingkungan. Serta akses yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat khsusunya adalah kelompok rentan terhadap perubahan iklim. Namun, diplomasi yang efektif memerlukan lebih dari sekadar kesepakatan global.
Diplomasi juga harus mencakup dialog multilateral di tingkat regional dan bilateral antara negara-negara yang terlibat dalam produksi dan konsumsi biomassa. Misalnya, negara-negara penghasil biomassa harus memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya alam mereka tidak merusak ekosistem atau menambah beban karbon global. Sementara itu, negara-negara konsumen biomassa perlu memastikan bahwa mereka membeli biomassa dari sumber yang sah dan dikelola dengan prinsip keberlanjutan.

Teknologi dan Inovasi sebagai Bagian dari Diplomasi
Salah satu bidang yang bisa sangat dipengaruhi oleh diplomasi adalah pengembangan teknologi dan inovasi dalam pemanfaatan biomassa. Negara-negara yang memiliki kapasitas teknologi yang lebih maju dapat berbagi pengetahuan dan sumber daya mereka untuk mengurangi jejak karbon biomassa.
Teknologi baru, seperti gasifikasi biomassa dan konversi limbah organik menjadi biofuel yang lebih bersih, dapat meminimalkan emisi yang dihasilkan selama proses pemanfaatan biomassa. Dalam hal ini, diplomasi teknologi dapat memfasilitasi transfer teknologi antara negara maju dan berkembang, serta menciptakan peluang untuk investasi dalam riset dan pengembangan.
Tantangan Diplomasi dalam Mengelola Biomassa
Meski memiliki potensi besar, diplomasi untuk mengelola biomassa juga menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah ketergantungan negara-negara tertentu pada industri biomassa sebagai sumber pendapatan utama. Misalnya, negara-negara yang bergantung pada ekspor kayu atau limbah pertanian sebagai bahan baku biomassa mungkin enggan mengubah praktik mereka karena potensi dampak ekonomi yang besar.
Selain itu, ada perbedaan pandangan antarnegara mengenai definisi biomassa yang berkelanjutan. Beberapa negara berpendapat bahwa biomassa adalah solusi jangka panjang yang sangat penting dalam transisi energi global. Sementara yang lain melihatnya sebagai ancaman terhadap keberlanjutan ekologis karena tetap menghasilkan karbon.
#zonaebt #EBTHeroes #Sebarterbarukan
Editor: Tri Indah Lestari
Referensi
https://insideclimatenews.org/news/02052024/from-the-archive-exxon-research-global-warming/
https://www.greenpeace.org/usa/climate/exxons-climate-denial-history-a-timeline/
https://www.theguardian.com/environment/2015/jul/08/exxon-climate-change-1981-climate-denier-funding
https://youtu.be/zFcDAG0DsDk?feature=shared
https://globalforestcoalition.org/forest-cover-59/
https://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/jkpt/article/download/12050/8219
http://ppebalinusra.menlhk.go.id/perempuan-kesetaraan-gender-dan-perubahan-iklim/
https://www.un.org/womenwatch/feature/climate_change/factsheet.html