Suhu Bumi Diprediksi Lampaui Batas Aman pada 2030, Apa Saja Dampaknya?

Seluruh aktivitas yang kita lakukan setiap hari masih belum bisa terlepas dari ketergantungan energi fosil seperti minyak bumi dan batu bara. Dari kita menyalakan lampu penerangan, menyalakan televisi, pendingin ruangan, hingga mengisi ulang daya smartphone kita semua menggunakan kebutuhan energi listrik dengan sumber energi fosil. Adapun ketika kita bepergian diluar rumah menggunakan moda transportasi yang pastinya menggunakan bahan bakar seperti bensin, solar, avtur, dan lain-lain.

Suhu bumi mengalami kenaikan drastis sejak masa Revolusi Industri, dimana kegiatan manusia yang secara intensif menggunakan energi dan tentunya didominasi energi fosil menyebabkan terjadinya pemanasan global akibat limbah yang dihasilkan.

Studi yang dikaji oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yaitu panel internasional yang mempelajari perubahan iklim global menjelaskan berbagai dampak akibat pemanasan global pada kesehatan manusia, ketahanan pangan, dan ekosistem. Studi tersebut juga memberikan rekomendasi hal-hal yang harus dilakukan semua negara di dunia untuk membatasi kenaikan suhu 1,5 derajat celcius di atas suhu rata-rata sebelum masa pra-industri.

Laporan studi dari IPCC menunjukkan bahwa dunia kemungkinan akan mencapai atau melampaui batas 1,5 derajat celcius antara tahun 2021 dan 2040 (diperkirakan awal 2030-an) mencapai lebih dari 50 persen. Di bawah skenario emisi tinggi, ambang batas 1,5 derajat celcius ini akan dicapai dalam waktu yang lebih singkat lagi diantara 2018-2037.

Hal ini diyakini terjadi karena penggunaan energi fosil yang masih belum bisa terlepas dari kehidupan manusia di bumi. Hingga tahun 2021 ini, porsi penggunaan energi fosil mencapai angka 80% lebih dalam dari bauran energi primer Indonesia. Sedangkan pemanfaatan energi terbarukan rendah emisi karbon di Indonesia seperti tenaga angin, matahari, air, dan panas bumi baru mencapai 11%. Jika berbicara mengenai lingkungan, perbedaan jumlah konsumsi tersebut berpengaruh terhadap kehidupan di bumi terlebih di lingkungan Indonesia sendiri. Dampak yang dihasilkan dari emisi energi konvensional (tak terbarukan) beragam seperti perubahan iklim, pencemaran udara, air, dan tanah.

Baca juga: Gawat, Langit Jakarta dikepung asap PLTU Batubara

Kebakaran Hutan, Banjir, Kemarau Berkepanjangan

Kenaikan suhu bumi lebih dari 1,5 derajat celcius akan mengakibatkan hal buruk. Setiap kenaikan suhu bumi secara global, perubahan iklim akan menjadi lebih ekstrim.

Misalnya, peristiwa gelombang panas yang biasanya terjadi sekali dalam satu dekade, apabila suhu bumi naik 1,5 derajat celcius maka peristiwa gelombang panas alami akan terjadi 4,1 kali, dan menjadi 5,6 kali apabila suhu bumi naik 2 derajat celcius.

Atmosfer yang lebih hangat akan menahan lebih banyak kelembapan, hal ini menghasilkan curah hujan yang lebih ekstrim sehingga meningkatkan resiko banjir bandang dan peristiwa lainnya. Di sisi lain, hangatnya atmosfer juga mengakibatkan panasnya permukaan bumi yang mampu meningkatkan potensi kebakaran hutan terjadi. Kenaikan suhu bumi juga meningkatkan penguapan, yang menyebabkan kekeringan dan kemarau berkepanjangan yang lebih intens.

Penyakit, Makanan, Habitat

IPCC membatasi kenaikan suhu bumi agar tidak melebihi 1,5 derajat celcius yang akan mengakibatkan dampak negatif yang lebih parah lagi.

Beberapa dampaknya adalah beberapa wilayah lumbung dunia akan mengalami gagal panen di saat yang bersamaan. Hal ini tentu berkaitan dengan ketersediaan pangan yang meningkatkan potensi kelaparan dan busung lapar dunia.

Suhu global yang lebih hangat juga membawa pengaruh terhadap nyamuk pembawa penyakit seperti malaria dan demam berdarah yang makin luas jangkauannya. Dapat dipastikan dampak serangan malaria dan demam berdarah akan lebih banyak.

Ada pula kenaikan suhu global menyebabkan sebagian satwa kehilangan habitat asli mereka terlebih karena meningkatnya resiko kebakaran hutan.

Titik Ekstrim

Bila dikaitkan dengan berbagai hal, dampak yang dihasilkan dari kenaikan suhu bumi secara global akan lebih banyak lagi. Tentunya lebih banyak dampak negatifnya untuk keberlangsungan kehidupan di bumi.

Lebih parahnya, kenaikan suhu bumi yang menyebabkan permafrost arktik mencair bisa menyebabkan biomassa yang telah lama membeku menjadi terurai, melepaskan sejumlah besar hal yang selama ini dipenjara oleh es abadi, di antaranya emisi karbon.

Sejauh ini, janji dan komitmen iklim yang diajukan negara-negara ke daftar janji PBB baru menghasilkan dunia di jalur kenaikan suhu bumi sebesar 2,7 derajat celcius.

Pemanasan bumi hingga 2,7 derajat celcius akan menghasilkan panas yang tidak layak huni untuk sebagian tahun di seluruh wilayah tropis dan subtropis.

Keanekaragaman hayati akan sangat terpengaruh, ketahanan pangan akan anjlok dan cuaca ekstrim akan melebihi kapasitas sebagian besar infrastruktur perkotaan untuk mengatasinya, kata para ilmuwan.

Baca juga: AMBISI INDIKA ENERGY KELUAR DARI ENERGI FOSIL

Manusia Ambil Peran

Berawal dari keresahan manusia terhadap dampak yang dihasilkan energi konvensional, berbagai inovasi mutakhir lahir sebagai jalan keluar permasalahan negatifnya dampak dari energi.

Salah satunya adalah dengan menyukseskan bauran energi terbarukan yang jauh lebih ramah lingkungan.

Energi Baru Terbarukan (EBT) merupakan suatu hal berpengaruh yang patut kita perjuangkan pengembangannya untuk masa depan kita dan generasi selanjutnya. Meskipun banyak tantangan dalam mewujudkan perkembangan energi bersih, sedikit upaya dari seorang individu akan sangat berpengaruh oleh individu lain.

Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengatakan potensi energi terbarukan di Indonesia masih cukup besar. Dengan kondisi tersebut, pemerintah merancang Target Bauran EBT 23% Tahun 2025 dan merencanakan kapasitas dari pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia pada 2060 mendatang sebesar 617 gigawatt (GW). Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) akan mendominasi dengan kapasitas sebesar 398 GW.

Prinsip dari net zero emission sendiri antara lain yakni peningkatan pemanfaatan EBT secara maksimal. Kemudian pengurangan energi fosil melalui carbon tax and trading, Co-firing PLTU dengan EBT, dan pensiun dini PLTU.

#zonaebt #sebarterbarukan #SuhuBumi #EnergiTerbarukan

Referensi:

AR5 Synthesis Report: Climate Change 2014. https://www.ipcc.ch/report/ar5/syr/

5 Temuan Besar dari Laporan Iklim IPCC 2021. https://wri-indonesia.org

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

6 Comment