
- Popok sekali pakai memudahkan pengasuhan anak, namun menyumbang tumpukan sampah yang mengancam lingkungan jika dibuang sembarangan. EBSCO mencatat 200 miliar popok sekali pakai dibuang di seluruh dunia tahun 2024.
- Penelitian menunjukkan TBT menyebabkan gangguan perkembangan embrio dan larva hewan air serta memicu kondisi interseksual pada ikan.
- Limbah popok mengandung kotoran manusia, yang dapat membawa patogen seperti virus hepatitis E, tifus, hingga penyebab diare akut dan kematian anak usia dini.
- Penelitian menunjukkan masyarakat di beberapa daerah menganggap sungai sebagai tempat pembuangan “alami”, yang memperparah pencemaran air.
Popok sekali pakai merupakan produk yang sangat membantu dalam merawat bayi. Namun, kemudahan dan sifatnya yang praktis justru menyumbang tumpukan sampah yang mengkhawatirkan. Sayangnya, kurangnya pemahaman masyarakat mengenai pengelolaan limbah popok membuat produk ini sering dibuang sembarangan bersama sampah rumah tangga lainnya.
Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) memperkirakan penggunaan popok sekali pakai di Kali Brantas, Jawa Timur, sangat tinggi. Dari sekitar 750.000 bayi yang ada, diperkirakan setiap bayi menggunakan empat popok per hari. Artinya, terdapat sekitar tiga juta popok sekali pakai yang dibuang setiap harinya di wilayah tersebut.
EBSCO, penyedia layanan data riset di Massachusetts, Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa sebanyak 200 miliar popok sekali pakai telah dibuang ke seluruh dunia pada tahun 2024. Jumlah ini menimbulkan kekhawatiran besar, terutama karena sampah popok dapat menyebabkan masalah lingkungan yang serius.
Menurut data World Bank tahun 2017, dampak paling parah dari limbah popok terjadi di wilayah perairan. Setidaknya 21 persen sampah di lautan merupakan popok sekali pakai yang mencemari lingkungan. Pencemaran ini tidak hanya merusak ekosistem laut, tetapi juga berdampak langsung terhadap kesehatan makhluk hidup, termasuk manusia.
Hewan Sulit Bereproduksi
Dilansir dari Mongabay.co.id (02/09/2018), hasil penelitian Ecoton di hulu Sungai Brantas pada tahun 2017 mengungkapkan adanya penurunan jumlah ikan jantan pada spesies ikan air tawar di kawasan tersebut. Ditemukan bahwa ikan berjenis kelamin jantan hanya berjumlah 20 persen, jauh lebih sedikit dibandingkan ikan betina yang mencapai 80 persen.
Riset tersebut juga menunjukkan banyak ikan mengalami interseks, yaitu kondisi ketika seekor ikan memiliki dua organ kelamin dalam satu tubuh. Kondisi ini menyebabkan ikan jantan kesulitan membuahi betina, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan populasi hingga kematian ikan. Padahal, menurut Ecoton, di perairan dengan ekosistem yang sehat, rasio kelamin jantan dan betina umumnya seimbang, yakni 50:50.
Perubahan ini diketahui salah satunya disebabkan oleh paparan limbah berbahaya dari popok sekali pakai. Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengkategorikan limbah popok sebagai limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), sehingga harus dipilah secara khusus dalam proses penanganannya.
Baca Juga
Senyawa yang berperan dalam menghambat reproduksi makhluk hidup adalah tributyl tin (TBT). Senyawa ini digunakan sebagai antijamur pada kertas popok sekali pakai untuk mencegah pertumbuhan jamur ketika terjadi kelembaban pada permukaan popok.
Selain digunakan pada popok, TBT juga banyak digunakan sebagai pelapis cat pada badan kapal. Penggunaan ini menyebabkan TBT terakumulasi di perairan dan meningkatkan risiko pencemaran lingkungan.
Dalam jurnal Effects of Tributyltin-Contaminated Aquatic Environments and Remediated Water on Early Development of Sea Urchin (Hemisentrotus pulcherrimus) (2023), disebutkan bahwa TBT dapat mengganggu sistem endokrin pada fauna akuatik.
Sistem endokrin merupakan sistem organ yang memproduksi dan melepaskan hormon, termasuk hormon reproduksi yang berperan penting dalam proses pembuahan.
Selain mengganggu sistem endokrin, riset yang diterbitkan dalam jurnal Animals (MDPI) juga menjelaskan bahwa TBT bersifat toksik terhadap embrio dan larva hewan air. Paparan senyawa ini dapat menyebabkan mutasi genetik yang berdampak serius pada kelangsungan hidup spesies akuatik.

Selain senyawa berbahaya, bahan dasar popok sekali pakai adalah plastik dapat mengganggu sistem pencernaan hewan. Riset Ecoton juga mendapati banyak fragmen (potongan kecil) plastik di dalam lambung ikan yang ditemukan, seperti fiber.
Membawa Berbagai Penyakit ke Manusia
Masalah lingkungan yang ditimbulkan oleh sampah popok sekali pakai tidak hanya berasal dari bahan pembuatannya yang mengandung zat berbahaya, tetapi juga dari kotoran manusia yang menempel pada popok bekas pakai. Kotoran manusia merupakan media pembawa berbagai bakteri dan parasit yang dapat menyebabkan penyakit menular, seperti hepatitis E dan demam tifoid.
Bakteri dan virus yang berasal dari limbah popok ini dapat mencemari sumber makanan dan air bersih. Pencemaran tersebut bisa menyebar melalui rantai makanan, baik dari manusia ke hewan maupun sebaliknya. Lebih mengkhawatirkan lagi, penyakit ini dapat menular langsung kepada anak-anak usia dini yang memiliki daya tahan tubuh lemah, dan dalam kasus tertentu dapat menyebabkan kematian.
“Banyak dari patogen (bakteri, virus, parasit, dan jamur) ini dapat mencemari makanan dan air dan dianggap zoonosis, yang dapat ditularkan antara manusia dan hewan. Popok sekali pakai dapat mengandung patogen yang dapat menyebabkan penyakit diare. Di antara anak-anak, penyakit diare ini merupakan kontributor utama kematian anak usia dini, kekurangan gizi, dan gangguan pertumbuhan,” tulis Hilary Kordecki, di jurnal Disposable diaper waste accumulation at the human-livestock-wildlife interface: A one health approach, tahun 2022.
Kordecki dalam penelitian sebelumnya tahun 2021 di Zimbabwe, menerangkan alasan kenapa banyak masyarakat membuang sampah di sungai. Menurutnya penduduk menganggap ketika sampah dibuang ke sungai sampah itu tidak terlihat lagi di lingkungan dan menganggapnya menjadi tempat sampah.
“Survei sebelumnya di wilayah ini menunjukkan bahwa penduduk menganggap sungai sebagai tempat ‘membuang’ limbah dan bahkan merupakan pilihan pembuangan yang ramah lingkungan karena kurangnya akumulasi yang terlihat,” lanjut penulis pertama dalam jurnal Environmental Challenges, ELSEVIER itu.
Bagian lain yang mengkhawatirkan dari popok sekali pakai adalah gel penyerap yang digunakan untuk menyerap cairan. Gel penyerap ini memiliki komposisi paling banyak yaitu 60 persen di setiap satu popok dan sangat berbahaya.
Baca Juga
Dikutip dari Mongabay.co.id (02/09/2018), gel penyerap dalam popok sekali pakai mengandung berbagai senyawa berbahaya, seperti super absorbent polymer (SAP), sodium polyacrylate, mikroplastik, dan microbeads. Senyawa-senyawa ini dapat menimbulkan efek kesehatan serius bagi manusia, termasuk keracunan, radang, hingga cedera paru-paru.
Selain itu, popok sekali pakai juga mengandung dioksin, senyawa beracun yang diketahui dapat mengganggu fungsi reproduksi, fungsi hati, dan sistem imun tubuh.
Alternatif Ramah Lingkungan
Bahaya yang ditimbulkan oleh popok sekali pakai tentu menjadi perhatian, khususnya bagi para ibu yang peduli terhadap kesehatan lingkungan. Oleh karena itu, perlu dicari alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap popok jenis ini. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah penggunaan clodi (cloth diapers) dan popok berbahan alami yang lebih ramah lingkungan.
Salah satu inovasi popok alami yang sedang dikembangkan di Indonesia adalah popok “Nawasena”, yang dibuat dari pelepah pisang. Popok ini memanfaatkan pelepah pisang sebagai bahan utama, dipadukan dengan ekstrak daun sirih sebagai antibakteri alami.
Menariknya, pelepah pisang digunakan sebagai bioabsorben (penyerap alami) yang telah diuji tidak menimbulkan reaksi alergi. Nawasena juga telah melalui uji standar penyerapan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI). Hasilnya menunjukkan bahwa popok ini mampu menyerap cairan hingga 8 kali lipat dari berat aslinya.
Alternatif lain yang juga banyak dibicarakan adalah clodi. Berbeda dari popok kain biasa, clodi dirancang menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan dan telah disesuaikan untuk mengurangi risiko iritasi kulit pada bayi.

Clodi juga memiliki berbagai pilihan lapisan bahan, seperti bambu, wol, hingga hemp (serat rami). Tak heran jika banyak ibu mulai beralih menggunakan popok kain ini, karena selain lebih hemat secara ekonomi, clodi juga dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang.
Namun, penting untuk diperhatikan bahwa clodi membutuhkan perawatan khusus agar tetap awet dan tidak mudah berjamur. Perawatan tersebut antara lain menggunakan deterjen ramah lingkungan yang memang dirancang khusus untuk clodi, serta mencucinya dengan air secukupnya untuk menjaga daya serap dan keawetannya.
#zonaebt #sebarterbarukan #ebtheroes #KurangiPlastik #MengolahSampah #Mikroplastik
Editor : Alfidah Dara Mukti
Referensi:
[1] Cloth Diaper
[4] Popok, Limbah Berbahaya yang Cemari Sungai-sungai di Jawa
[5] Popok Bayi Ramah Lingkungan Berbahan Pelepah Pisang, Seperti Apa?