Efisiensi Sebabkan Indonesia Keluar Dari Perjanjian Paris?

Efisiensi Sebabkan Indonesia Keluar Dari Perjanjian Paris?
Sumber kemenkeu.go.id
  • COP adalah forum internasional mengatasi perubahan iklim untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 – 2˚C.
  • Keluarnya Amerika dari perjanjian paris tidak bisa jadi alasan Indonesia untuk ikut latah, atau memang mengambil kesempatan karena situasi domestik yang kurang baik.
  • Indonesia sudah meratifikasi hasil COP dan secara bertahap bergerak mencapai nol bersih.

Sudah sering, bukan, Sobat EBT Heroes mendengar istilah efisiensi energi, swasembada energi, dan berbagai isu hangat lainnya? Namun, ada satu hal menarik yang tidak hanya menjadi perbincangan di lingkup domestik, tetapi juga di tingkat global isu lingkungan. Topik ini semakin mendapat perhatian karena dampaknya yang luas terhadap kehidupan kita dan masa depan planet ini.

Apa Itu COP?

COP adalah forum internasional untuk mengatasi perubahan iklim global yang kian parah pasca era industrialisasi. Forum ini bertujuan menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih 1,5 – 2˚C melalui pengurangan emisi karbon. Beberapa hasil COP yang telah dilakukan adalah sebagai berikut.

Di COP24, setiap negara peserta diwajibkan melaporkan kemajuan dalam pengurangan emisi setiap dua tahun. Pada COP25, perhatian utama beralih ke perlindungan lautan, yang untuk pertama kalinya dimasukkan dalam Nationally Determined Contributions (NDC), sehingga pertemuan ini dikenal sebagai “COP Biru” pertama. Sementara itu, COP26 menandai langkah awal dalam pengurangan bertahap penggunaan batu bara. Ini menjadi momen penting dalam negosiasi iklim, meskipun perubahan istilah dari “penghapusan” menjadi “pengurangan” membuat komitmen ini terkesan kurang ambisius. Selain itu, kebijakan ini juga tidak disertai dengan strategi transisi yang solid untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan.

Baca Juga



Efisiensi Sebabkan Indonesia Keluar Dari Perjanjian Paris?
Sumber Detik

Pada COP27 di dalam mitigasi iklim bertujuan melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca global. Hasilnya adalah melakukan pemensiunan dini pembangkit batu bara dan melakukan transisi energi menaikan porsi EBT. Fokus utamanya adalah untuk mengurangi emisi dari penggunaan batu bara yang mengakibatkan isu lingkungan dan pemanasan global.

Kandungan emisi karbon yang dihasilkan oleh batu bara lebih tinggi dibandingkan dengan bahan fosil lainnya. Oleh karena itu negara-negara maju sudah mulai meninggalkan penggunaan batu bara dan beralih ke energi baru terbarukan dalam pengadaan listrik. Sesuai tujuan penting COP27 mengenai isu iklim dengan melakukan transisi menuju energi bersih.

Indonesia Latah Pada Langkah Amerika di Perjanjian Paris

Utusan Presiden Bidang Iklim dan Energi Hashim Sujono Djojohadikusumo, menyoroti Amerika Serikat yang menarik diri dari perjanjian iklim paris setelah Donald Trump resmi menjadi presiden Amerika untuk masa jabatan kedua. Hashim menilai langkah Amerika tersebut menjadikan perjanjian itu tidak adil untuk Indonesia.

“Kalau Amerika Serikat tidak mau menuruti perjanjian internasional (Paris Agreement), kenapa negara seperti Indonesia harus mematuhi (Paris Agreement)” ujar Hashim dalam acara bertajuk “ESG Sustainable Forum 2025” Jumat (31/1).

Hashim membandingkan emisi karbon antara Amerika dengan Indonesia. Amerika menghasilkan 13 ton per kapita per tahun, Indonesia menghasilkan 3 ton per kapita per tahun. Menurut Hashim itu menunjukan bahwa pencemaran yang dilakukan oleh Amerika lebih besar dibandingkan dengan Indonesia.

Menurut Sobat EBT Heroes apa yang perlu diperhatikan dalam kejadian tersebut? Jika melihat pernyataan tersebut memang merupakan sebuah respon normal dalam hubungan internasional. Akan tetapi ada permasalahan yang lebih penting, yaitu bahwa keberadaan representasi dan kepemimpinan negara ini masih belum matang.

Baca Juga



Dalam merespon aksi global memang bisa menggunakan taktik negosiasi, kecaman, dll. Tetapi kerusakan lingkungan yang merugikan negara sendiri seharusnya menjadi prioritas. Menempatkan logika berpikir dengan ikut keluar dari perjanjian paris menempatkan negara pada kerentanan yang besar, Indonesia bisa bernasib sama dengan polusi di India jika tetap menggunakan batu bara.

Saat ini negara tengah melakukan efisiensi besar-besaran, baik di lembaga maupun kementerian. Efisiensi ini erat kaitannya dengan neraca keuangan yang timpang, baik karena adanya hutang jatuh tempo, kinerja perekonomian yang kurang baik, dan juga program besar pemerintah. Perlu dilihat bahwa program besar pemerintah yang populis tersebut menyebabkan kebutuhan anggaran besar untuk bisa direalisasikan.

Ada satu hal yang perlu dilihat lebih mendalam, langkah Indonesia mengeluarkan pernyataan tersebut bisa berarti merupakan bentuk kegembiraan. Di mana negara yang sadar belum sepenuhnya mampu untuk melakukan transisi dan lepas dari batu bara. Terlebih lagi lobi dari perusahaan fosil yang kuat, ditambah tidak ada anggaran untuk melakukan transisi saat kondisi keuangan negara mengharuskan untuk mengencangkan ikat pinggang. Kenapa begitu? melakukan transisi memerlukan biaya yang besar, seperti produksi panel surya, turbin angin dan lain lain.

Efisiensi Sebabkan Indonesia Keluar Dari Perjanjian Paris?
Sumber Redaksiku.com

Apa yang Indonesia Sudah Lakukan?

Indonesia merupakan negara yang meratifikasi hasil COP dalam UU Nomor 16 Tahun 2016. Pada Juli 2023 negara ini menempati posisi kelima di dunia sebagai negara konsumen batu bara. Sebuah keunikan dari negara yang telah meratifikasi COP tetapi memiliki prestasi dalam sektor fosil. Selain itu Indonesia juga menempati posisi ke-6 cadangan batu bara terbesar di dunia.

Oleh karena itu Komitmen Pemerintah Indonesia pada energi baru terbarukan salah satunya adalah penyediaan insentif dan kemudahan bagi para pengembang EBT. Pemerintah memberikan insentif fiskal dan non fiskal yang dapat menunjang perkembangan energi terbarukan, serta fasilitas perizinan. Selain itu juga melalui program biodiesel B35, yang kemudian digunakan untuk substitusi minyak dalam bahan bakar genset di sektor industri dan komersial untuk menghasilkan listrik.

Ada juga pada RUPTL 2021-2030 yang menargetkan porsi EBT dalam energi nasional sebesar 23%, sejalan dengan RPJMN, dan RUEN. Di mana secara garis besar mendukung usaha negara untuk mengurangi kerusakan lingkungan, meningkatkan ketahanan bencana iklim, dan upaya pembangunan rendah karbon.

#zonaebt #sebarterbarukan #sobatebtheroes

Editor : Alfidah Dara Mukti

Referensi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *