- Sektor industri dinilai menjadi sektor yang paling potensial untuk pengaplikasian sistem energi surya.
- Pada tahun 2021 sektor industri memiliki kapasitas total sebesar 13,2 megawatt-peak dan tahun ini meningkat menjadi 23 megawatt-peak.
- Program ESG dan REC menjadi prioritas yang sedang dikejar sektor industri saat ini.
Sektor industri dinilai menjadi sektor yang paling potensial untuk pengaplikasian sistem energi surya. Penerapan panel surya pada sektor industri mengalami peningkatan paling signifikan dibandingkan dengan sektor lainnya. Hal ini disampaikan oleh Atika Amaliadanti, Marketing Supervisor dari SESNA Group, yang menjadi pembicara dalam sebuah webinar yang diselenggarakan Zonaebt dan Solar Warrior pada Jumat (11/11/22).
Atika menyampaikan bahwa pada tahun 2021 sektor industri memiliki kapasitas total sebesar 13,2 megawatt-peak dan tahun ini meningkat menjadi 23 megawatt-peak. Peningkatan ini lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor lainnya, seperti perumahan, komersial, pemerintahan, dan sosial.
“Bedanya, sektor industri itu bisnis yang punya proses produksi, jadi dia memiliki pabrik atau factory untuk memproses barang untuk dijual” kata Atika.
Atika kemudian menilai dan menemukan alasan mengapa sektor industri begitu cepat bergerak dalam transisi energi.
Menurutnya, saat ini sektor industri skala global sedang menginisiasi gerakan RE100, kumpulan perusahaan besar dunia yang menargetkan konsumsi 100 persen listrik terbarukan. RE100 atau Renewable Energy 100% beroperasi di bawah organisasi Climate Group dan CDP, dan saat ini sudah ada lebih dari 380 perusahaan yang beroperasi di seluruh dunia.
Dalam laporan tahunan RE100, disebutkan bahwa Indonesia termasuk ke dalam negara yang menempati peringkat terendah terkait ambisi menggunakan energi terbarukan dibandingkan negara-negara lainnya. Hal ini disebabkan oleh investasi sumber energi konvensional yang masih dominan di Indonesia. Inilah yang menyebabkan sektor industri sekarang sedang mengejar beberapa hal untuk mempercepat transisi energi.
Prioritas Para Pelaku Industri
Atika menerangkan, terdapat dua prioritas yang saat ini sedang dikejar oleh sektor industri.
Yang pertama adalah program ESG (Environmental, Social, Governance). ESG merupakan standar yang biasanya dilakukan oleh perusahaan skala besar dalam praktik investasinya yang terdiri dari tiga konsep atau kriteria, yakni Environmental (lingkungan), Social (sosial) dan Governance (tata kelola perusahaan). Dalam memenuhi ESG, perusahaan perlu memenuhi 3 kriteria tersebut untuk mengukur seberapa jauh perusahaan berkontribusi dalam hal berkelanjutan.
Untuk kriteria lingkungan mencakup penggunaaan sumber energi terbarukan, program pengelolaan limbah, potensi masalah polusi udara dan air, serta tindakan perusahaan terkait climate change.
Selanjutnya, untuk kriteria sosial mencakup beberapa hal, mulai dari hak asasi manusia, inklusif dan keberagaman, sampai kepada hubungan perusahaan dengan keberlanjutan karyawannya. “tidak hanya karyawannya saja, tapi seberapa baik hubungan mereka dengan pelanggan-pelanggannya.” lanjut Atika.
Untuk cakupan tata kelola perusahaan (governance), kriteria nya lebih menekankan kepada manajemen perusahaan dalam mendorong perubahan positif untuk perusahaannya dan seberapa baik manajemen tersebut berinteraksi dengan para pemangku kepentingannya.
“Ketiga kriteria ini apabila dapat dilaksanakan dengan baik, perusahaan tersebut dapat dikatakan sebagai perusahaan yang sustainable sehingga dapat dilirik oleh investor” terang Atika.
Baca juga
- Popularitas Panel Surya Terapung Kian Melesat di AS
- Wow!! Mahasiswa RI di AS Bantu Krisis Air NTT Pakai Teknologi Panel Surya
Dia juga menerangkan bahwa permintaan pasar juga memengaruhi melesatnya peningkatan kebutuhan sektor industri akan pemasangan panel surya saat ini.
“Contohnya sekarang lebih tertarik dengan konsep healthy lifestyle, lebih senang mengonsumsi healthy food, senang membeli produk-produk recycle. Jadi konsumen sekarang sudah aware dengan lingkungan dan pastinya perusahaan melihat hal tersebut sebagai sebuah challenge sehingga mereka akan memproduksi produk yang menarik konsumen” jelasnya.
Faktor lainnya adalah adanya tekanan dari regulator agar perusahaan menjalankan produksi yang tidak mencemari lingkungan. Sebagaimana diketahui, banyaknya aktivitas industri berakibat buruk terhadap lingkungan sekitar, mulai dari penyebaran penyakit, polusi udara dan suara, sampai dengan pencemaran air. Hal ini dapat menjadi indikasi bagi para pelaku industri untuk dapat memenuhi target ESG mereka, dan renewable energy dapat menjadi katalisator dalam membantu hal tersebut karena penggunaan energi solar masuk ke dalam kriteria lingkungan ESG.
Selain ESG, terdapat satu prioritas yang juga dikejar oleh sektor industri, yakni REC (Renewable Energy Certificate). REC merupakan sertifikat yang dapat mewakili energi produksi per 1 megawatt-peak.
“Ini sebagai bukti bahwa industri tersebut menggunakan sumber energi terbarukan dan bukti komitmen untuk melestarikan lingkungan” kata Atika.
Implementasi REC di Indonesia baru dilakukan pada 2020. Meskipun relatif baru, tetapi antusiasme nya cukup tinggi dibuktikan dengan banyaknya perusahaan yang sudah mulai memanfaatkan layanan REC dan diharapkan dapat semakin baik dalam mekanisme dan transparansinya.
Selain di Indonesia, Singapura juga menjadi negara yang menerapkan REC. “Mereka sudah membuat framework yang lebih jelas untuk REC ini, ada pengukuran nya, ada report nya, dan pelacakan REC nya. Jadi memang sudah sangat transparan” jelas Atika.
Baca juga
- PLTS Terapung Waduk Muara Tukad Resmi Beroperasi dan Kini Siap Pasok Energi Hijau di Bali
- Pecah Rekor! PHE ONWJ Berhasil Raih Dua Rekor MURI Dengan Program EBT
Potensi energi surya di Indonesia
Potensi energi surya di Indonesia memiliki kapasitas potensial yang besar, yakni mencapai 3.294 GW dan menjadi yang terbesar dari sumber energi terbarukan lainnya. Namun, sayangnya yang terpasang saat ini baru sebesar 0,19 GW.
Indonesia sendiri berencana untuk memasang tambahan kapasitas renewable energy sampai 40,6 GW pada tahun 2030. Hal ini dilakukan untuk memenuhi target bauran energi sebesar 23% pada tahun 2025 dan juga target Net Zero Emmision pada tahun 2060.
Beberapa strategi yang dilakukan untuk mengakselerasi target-target tersebut adalah dengan melakukan percepatan pembangunan PLTS.
“Alasannya adalah karena pemerintah menilai bahwa fleksibilitas lahan dan waktu yang singkat dalam pembangunan menjadi konsiderasi untuk mengutamakan program tersebut” kata Atika.
PLTS memang dinilai sangat fleksibel dalam pemasangannya. Selain dapat dipasangkan di atap (PLTS Rooftop), PLTS juga dapat dipasang di badan air (PLTS Terapung) dan skala besar atau yang biasa dikenal dengan solar farm.
Strategi lain yang dilakukan adalah dengan melakukan konversi pembangkit listrik yang masih berbasis energi fosil, seperti konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) menjadi pembangkit listrik energi terbarukan.
SESNA Group yang dikenal sebagai perusahaan pengembang Independent Power Producer ini menjadi perusahaan yang turut membantu sektor industri dalam mendorong transisi energi. Berdiri sejak 2013, hingga saat ini SESNA Group telah memiliki 3 megawatt-peak PLTS yang dikelola sendiri, 8 megawatt-peak pada sektor industri, dan lebih dari 200 megawatt-peak pada sektor tambang.
“Melihat tingginya antusias Indonesia dengan pemanfaatan energi, SESNA pastinya semangat untuk mensupport sektor-sektor industri menuju bisnis yang sustainable” kata Atika.
1 Comment
Thank you for your sharing. I am worried that I lack creative ideas. It is your article that makes me full of hope. Thank you. But, I have a question, can you help me?