- Dengan menggunakan baterai, PLTS akan mampu memberikan supply energi pada malam hari atau ketika PLTS tidak dalam waktu produksi.
- Indonesia belum memiliki keahlian dalam Research and Development (RnD) yang artinya Sumber Daya Manusia di Tanah Air masih mengandalkan ‘hasil jadi’ dari komponen yang dibutuhkan.
- Tren global untuk energi baru terbarukan diperkirakan akan meningkat sebesar 30% dibandingkan pada tahun 2020.
Akselerasi transisi energi bersih di Indonesia selalu diupayakan demi menghindari dampak buruk akibat emisi energi fosil. Proses dekarbonisasi pada sistem energi listrik dapat ditempuh dengan memanfaatkan Energi Baru Terbarukan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Baterai sudah tidak asing lagi bagi penggiat PLTS, khususnya jenis off-grid. Komponen ini berfungsi untuk menyimpan energi listrik sementara waktu yang dihasilkan dari panel surya sebelum didistribusikan ke beban. Singkatnya, dengan menggunakan baterai, PLTS akan mampu memberikan supply energi pada malam hari atau ketika PLTS tidak dalam waktu produksi.
Baca juga:
Fungsionalitas energy storage system (baterai) bagi pengembangan PLTS menjadi tantangan tersendiri untuk mempercepat program pemanfaatan energi berbasis tenaga surya. Hal ini disebabkan baterai merupakan komponen termahal sekaligus terlemah yang dimiliki PLTS.
Di Indonesia, komponen baterai sebagian besar masih melewati proses impor dari negara produsen komponen PLTS seperti China. Selain itu, baterai pada PLTS perlu diganti beberapa kali di sepanjang usia pakai sistem. Kondisi seperti ini yang menjadikan baterai adalah komponen paling mahal pada sistem PLTS.
Baterai juga disebut sebagai titik terlemah pada sistem PLTS off-grid karena memiliki peluang untuk rusak pertama kali dibanding komponen yang lainnya. Terlebih lagi jika pemeliharaan PLTS tidak dilakukan secara rutin dan benar, maka baterai akan rusak dengan sangat cepat.
Indonesia Krisis Produsen Baterai?
Seperti yang kita ketahui, Indonesia belum memiliki keahlian dalam Research and Development (RnD) yang artinya Sumber Daya Manusia di Tanah Air masih mengandalkan ‘hasil jadi’ dari komponen yang dibutuhkan untuk mendorong penggunaan energi bersih. Hal ini tentu berakibat pada pembengkakan biaya komponen karena kurangnya investasi pada proses produksi.
Berangkat dari permasalahan tersebut, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang energi terus mendorong dan mengajak expertise untuk melakukan expert power berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) ke negara tetangga. Hal ini tentu dapat meningkatkan kuantitas dari sektor RnD di Indonesia, khususnya dalam mengembangkan baterai.
Indonesia belum memiliki manufaktur dan masih mengharuskan industri mengimpor baterai dari luar negeri, padahal Indonesia memiliki potensi cadangan salah satu material yang digunakan untuk pembuatan baterai, yaitu nikel. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa Indonesia memiliki cadangan nikel sebesar 52% dari yang ada di seluruh dunia.
Indonesia sempat menduduki peringkat pertama dalam memproduksi nikel di dunia pada tahun 2019 yaitu sebesar 800.000 ton, bahkan mengungguli negara China yang terkenal sebagai produsen terbesar di bidang energi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov menilai, Indonesia mampu mendorong pengembangan PLTS melalui Holding BUMN Baterai atau Indonesia Battery Corporation (IBC) yang telah dibentuk.
Menurut Abra, perlu dilakukan pengembangan storage system atau baterai pada sistem PLTS sesuai dengan tingkat perekonomian di Indonesia. Dengan demikian, maka harga listrik PLTS di Indonesia pun bisa ditekan menjadi lebih terjangkau.
Sebagai informasi, harga listrik PLTS dengan menggunakan baterai saat ini masih berada dikisaran belasan sen dolar per kilo Watt hour (kWh).
“Sebab saat ini faktanya industri komponen PLTS domestik, khususnya modul surya masih di fase assembly penghasil modul surya, jadi tidak murni produksi dalam negeri.” jelas Abra.
Untuk itu, pemerintah layaknya mendorong perusahaan domestik, baik swasta maupun BUMN untuk masuk ke dalam industri sel surya sebagai bahan dasar pembuatan modul surya.
Menelisik Nasib Baterai di Masa Depan
Peneliti Senior Energi Baru Terbarukan Institute for Essential Services Reform (IESR), Handriyanti Diah Puspitarini mengungkapkan di masa depan harga baterai untuk PLTS diramal akan terus menurun hingga tahun 2030.
Prediksi ini disampaikan langsung oleh Handriyanti, “Ada temuan kami mengenai harga baterai litium yang diprediksi akan menurun di 2030 hingga US$ 18 Mega Watt hour (MWh) (atau sekitar Rp 252 ribu), lebih rendah dibandingkan dengan harga pada 2020 yang mencapai US$ 58 per MWh (sekitar Rp 812 ribu).” tuturnya dalam sebuah webinar, Selasa (21/12/2021).
Baca juga:
- Tentang Green Jobs, Tren Karir Masa Depan yang ‘Ramah Lingkungan’
- Gandeng Medco Power, Pertamina Geothermal Energy Kembangkan Proyek Besar Panas Bumi
Handriyanti turut menjelaskan tren global untuk energi baru terbarukan diperkirakan akan meningkat sebesar 30% dibandingkan pada tahun 2020. Faktor meningkatnya tren tersebut berasal dari pemasangan panel surya dan pembangkit listrik tenaga angin yang diperkirakan masih akan tumbuh 18% dan 17%.
Kemudian, penggunaan batu bara tahun ini secara global diperkirakan juga akan mengalami penurunan sebesar 4% hingga 4,5% dibandingkan tahun 2019. Semakin menurunnya harga beli teknologi untuk energi baru terbarukan dan baterai tersebut, pemerintah perlu didorong untuk bisa mengambil peluang ini dengan harapannya mampu mempercepat penetrasi EBT di sektor ketenagalistrikan.
IESR juga memiliki visi kedepan bahwa pangsa PLTS akan mengalami peningkatan signifikan dari hanya 0,05% pada 2020 menjadi 24% pada tahun 2030 dan akan mencapai 88% pada 2050. Dengan demikian, Indonesia mampu menggunakan energi terbarukan dengan sebaran 100% pada tahun 2050 secara komprehensif.
zonaebt.com
Renewable Content Provider
#zonaebt #sebarterbarukan #Baterai #PLTS #PanelSurya #BUMN
Editor: Riana Nurhasanah
Referensi:
Putri, Cantika. (2021). “Harga Baterai PLTS Diramal Makin Turun, Jadi Berapa?”. Tersedia pada: https://www.cnbcindonesia.com/