Setelah dua bulan diangkat sebagai Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim berdialog dengan beberapa kawannya, seperti Bedjo Rahardjo, Erna Witoelar, Ir.Rio Rahwartono (LIPI), dan Tjokropranolo (Gubernur DKI), untuk membicarakan agar lingkungan menjadi sebuah gerakan dalam masyarakat. “Saya pengen bola salju lingkungan hidup bisa cepat membesar,” kata Emil waktu itu (wawancara – pribadi).
Bukan hanya itu tujuannya, tetapi Emil Salim merasa bahwa ia harus belajar tentang lingkungan, karena ia melihat bahwa lingkungan ini adalah sesuatu yang baru dan belum populer di Indonesia. Ia ingin terjun ke tengah-tengah masyarakat agar persoalan-persoalan lingkungan di masyarakat bisa diketahui dan dicarikan solusi oleh masyarakat. Untuk itulah, ia harus mencari jalan keluar agar bola salju yang bernama ‘lingkungan’ itu menggelinding lebih besar. Dalam diskusi-diskusi yang berlangsung secara informal dengan kawan-kawannya, bagi Emil Salim tidak ada pilihan lain, kecuali minta bantuan kelompok-kelompok NGO dan pecinta alam. Harapan Emil adalah agar kelompok NGO dan pecinta alam dapat membantu menyelesaikan pelbagai persoalan lingkungan, karena kedua kelompok ini dianggap mempunyai kedekatan dengan masyarakat. Sehingga pemerintah melalui lembaga ini bisa menyampaikan programnya kepada masyarakat. Di sisi lain, masyarakat yang tidak bisa menyampaikan permohonannya kepada pemerintah bisa disampaikan melalui NGO. Keinginan Emil Salim yang begitu besar membuat haru seorang kawannya yang saat itu menjadi Gubernur DKI, yaitu Tjokropranolo. Hingga suatu siang Tjokropranolo menawarkan sebuah ruangan untuk melakukan pertemuan kelompok NGO se-Indonesia. Gayung bersambut, tanpa pikir panjang, Emil Salim langsung menerima tawaran Tjokropranolo untuk melakukan pertemuan NGO seluruh Indonesia. Pertemuan tersebut dilakukan di Lantai 13, Balaikota (Kantor Gubernur DKI Jakarta), Jalan Merdeka Selatan. Tidak dinyana sama sekali, pertemuan mendadak tersebut dihadiri sekitar 350 lembaga yang terdiri dari lembaga profesi, hobi, lingkungan, pecinta alam, agama, riset, kampus, jurnalis, dan lain sebagainya. Disitulah Emil Salim mengungkapkan semua keinginannya bahwa antara pemerintah dan NGO harus berjalan bersama untuk mewujudkan lingkungan yang baik, juga diungkapkan bahwa masyarakat harus membantu program-program pemerintah dalam bidang lingkungan. Dalam pertemuan tersebut, Abdul Gafur (saat itu Menteri Pemuda dan Olahraga), datang menjenguk. Kabarnya, ia ingin mengetahui apa yang akan dilakukan kelompok NGO dan tanggapan kelompok ini terhadap pemerintah. Agar pertemuan tersebut tidak sia-sia, mereka harus mencari bagaimana memelihara komitmen bersama sekaligus mencari cara berkomunikasi yang efektif di antara mereka. Menjelang acara usai, muncullah kesepakatan untuk memilih sepuluh NGO yang akan membantu program-program pemerintah dalam bidang lingkungan hidup. Ke-sepuluh organisasi tersebut kemudian disebut dengan Kelompok Sepuluh. Awalnya, kelompok ini akan dinamakan dengan Sekretariat Bersama Kelompok Sepuluh. Namun, George Adji Tjondro menolak, dengan alasan kalau sekretariat bersama, seperti underbownya Golkar. Akhirnya, Goerge mengusulkan nama Kelompok Sepuluh. Dan dari lantai 13 itulah, lahir Kelompok 10 yang menjadi cikal bakal kelahiran WALHI.