Thailand Overload Mobil Listrik: Pelajaran Bagi Indonesia

5 Negara Pengguna Kendaraan Listrik Terbanyak di Dunia. Sumber: zonaebt.com
  • Thailand mengalami overload mobil listrik sejak pemberlakuan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China Tahun 2022.
  • Dampak overload menyebabkan efek domino bagi pelaku industri lainnya khususnya produsen asal Jepang yang sebelumnya 90% menguasai pasar mobil Thailand.
  • Fenomena ini menjadi perhatian penting bagi kelangsungan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.

Kabar kurang baik datang dari Negeri Gajah Putih, Thailand. Pasalnya, Thailand saat ini sedang masif melakukan elektrifikasi mobil konvensional ke mobil listrik ramah lingkungan. Hal ini menimbulkan berbagai efek domino yang tidak hanya dirasakan oleh produsen mobil listrik di negara tersebut. Salah satu penyebabnya yaitu efek perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN-China sejak 2022.

Kira-kira bagaimana nih, Sobat EBT Heroes? Apakah ini bisa menjadi banchmark bagi pemerintah Indonesia untuk mewujudkan Net Zero Emission 2060 nanti? Mari kita cari tahu agar makin tahu Indonesia!

Thailand Overload Mobil Listrik

Masifnya mobil listrik di Thailand bermula dari Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China tahun 2022. Melalui perjanjian itu, Thailand memberlakukan subsidi kendaraan listrik dengan harapan lebih terjangkau. Subsidi yang diberikan tidak tanggung-tanggung sebesar 150.000 Baht (sekitar Rp 68 juta) per unit kendaraan listrik. Namun, hal ini justru menjadi paradoks bagi Thailand yang tadinya bermaksud menekan emisi karbon dari mobil konvensional, justru berujung kelebihan pasokan yang berdampak domino bagi sektor lainnya.

Proses Manufaktur Kendaraan Listrik di Thailand. Sumber: Asia Nikkei

Menurut berita dari Asia Nikkei, masifnya insentif atau subsidi mobil listrik di Thailand ini menimbulkan efek domino. Pihak-pihak industri terkait di Thailand menyebutkan bahwa subsidi besar-besaran ini menyebabkan kendaraan listrik menjadi kelebihan pasokan. Kelebihan pasokan ini memicu perang harga dengan mobil konvensional berbahan bakar bensin (fuell). Dampak lainnya, produsen mobil konvensional mengurangi jumlah produksi mereka dan menutup pabrik, yang juga dirasakan oleh produsen suku cadang yang gulung tikar. Asia Nikkei juga menyebutkan bahwa produsen suku cadang yang gulung tikar ini karena sebagian besar produsen mobil listrik asal China tidak membeli dari produsen suku cadang tersebut.

Melalui Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China sejak 2022, tarif atas kendaraan listrik impor asal China yang akan beredar di Thailand dihapuskan. Sebagai syarat, perusahaan tersebut harus memproduksi mobil listrik di Thailand sebanyak yang telah diimpor sejak 2022, dan produksi lokal tersebut harus dimulai 2024.

Baca Juga



Banyak Mobil Listrik Impor Asal China yang Belum Terjual di Thailand

Pihak Departemen Cukai Thailand menyebutkan setidaknya sebanyak 185.029 unit mobil listrik telah diimpor dari China sejak kebijakan subsidi pada tahun 2022. Namun, hal ini justru tidak sebanding dengan data yang telah dihimpun oleh Departemen Transportasi Darat. Departemen Transportasi Darat Thailand menyebutkan mobil listrik yang baru terdaftar hanya sebanyak 86.043 unit. Artinya, masih ada sekitar 90.000 unit yang belum terjual dan belum terdaftar.

Krisda Utamote Presiden Asosiasi Kendaraan Listrik Thailand (EVAT). Sumber: nxpo.or.th

“Kami mengalami kelebihan pasokan mobil listrik karena banyak kendaraan listrik yang diimpor selama dua tahun terakhir masih ada persediaannya di dealer,” ucap Krisda Utamote, Presiden Asosiasi Kendaraan Listrik Thailand (EVAT). Ia juga menambahkan bahwa saat ini semakin banyak produsen kendaraan listrik asal China yang melakukan investasi di Thailand untuk memproduksi mobil listrik mereka.

Efek domino akibat kelebihan pasokan mobil listrik juga dirasakan oleh produsen mobil asal Jepang. Padahal sebelumnya merek mobil Jepang telah melakukan investasi yang cukup lama di Thailand. Dikutip dari Asia Nikkei, penjualan mobil bahan bakar bensin mengalami penurunan sejak pemberlakuan subsidi mobil listrik. Produsen mobil asal Jepang paling terdampak, pasalnya sekitar 90% kendaraan berbahan bakar bensin di Thailand diproduksi oleh mereka. Faktor ekonomi juga menjadi salah satu penyebab, di mana ekonomi Thailand yang melemah saat ini menyebabkan konsumen pembelian produk mobil yang tergolong mahal. Federasi Industri Thailand mengatakan hanya 260.365 unit kendaraan yang terjual selama lima bulan pertama tahun ini dan turun 23% dari periode yang sama di tahun 2023 lalu. Kondisi ini tercatat sebagai jumlah terendah dalam satu dekade terakhir.

Pabrik milik Honda di Thailand. Sumber: Kompas Otomotif

Beberapa produsen asal Jepang tersebut, seperti Honda, akan menghentikan produksi kendaraan di pabrik mereka terhitung 2025 dan akan mengkonsolidasikan operasional pabrik mereka di Prachinburi. Rencana ini akan mengurangi produksi tahunan Honda di Thailand yang semula 270.000 unit per tahun menjadi 120.000 unit per tahun saja. Suzuki pun juga mengkonfirmasi akan melakukan hal yang sama di tahun 2025 nanti. Produsen Jepang lainnya, seperti Subaru, juga akan berhenti melakukan produksi di pabrik mereka pada akhir tahun ini.

Apakah Indonesia Bisa Berkaca Dari Fenomena di Thailand ini?

Saat ini, pengguna mobil listrik di Indonesia terus mengalami pertumbuhan. Dikutip dari databoks, penjualan mobil listrik di Indonesia naik 7,8% pada Mei 2024. Hal ini juga didukung oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dari detikOto (2/5/2024) yang menyatakan jumlah kendaraan listrik mengalami pertumbuhan, dengan setidaknya ada 133.255 unit KBLBB (Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai) berdasarkan jumlah SRUT (Sertifikasi Registrasi Uji Tipe).

Dari kondisi tersebut, Indonesia perlu mengambil langkah bijak agar hal serupa di Thailand tidak terjadi di Indonesia. Walaupun pengguna mobil listrik di tanah air mendapatkan privilege berupa potongan PPN menjadi 1% dan bebas bea masuk dengan syarat tertentu. Tetapi, nyatanya mobil listrik di Indonesia masih tergolong mahal dibandingkan Thailand. Daya beli masyarakat Indonesia juga menjadi pembeda dengan masyarakat di Thailand.

Pengamat otomotif asal ITB (Institut Teknologi Bandung) Yannes Pasaribu. Sumber: Resources Asia

Pengamat otomotif asal ITB, Yannes Pasaribu, menyebutkan bahwa fenomena efek subsidi mobil listrik di Thailand tidak kejadian di Indonesia. Namun, produsen otomotif dan pemasok komponen lokal harus beradaptasi dalam mengembangkan komponen kendaraan yang dapat mengonsumsi bahan bakar terbarukan atau biofuel.

“Di Indonesia tampaknya upaya migrasi ke BEV (battery electric vehicle) masih dalam tahapan wacana yang terpenggal-penggal. Masih belum ada sinergi yang solid antar kementerian terkait. Belum lagi soal PDB per kapita Thailand dan kemampuan konsumsi masyarakat mereka yang lebih tinggi dibanding penduduk Indonesia. Sehingga menjadi penghambat pertumbuhan EV di Indonesia dibandingkan Thailand,” ujar Yannes Pasaribu dikutip dari detikOto, Rabu (31/7/2024).

Hal ini juga sesuai dengan pernyataan dari Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang sekaligus Ketum Periklindo. Menurut Moeldoko, ada empat isu kendaraan listrik yang masih perlu dibenahi, yaitu kemampuan jarak tempuh, ketersediaan SPKLU atau charging station, kebakaran atau keamanan baterai listrik, dan terakhir harga jual yang cukup tinggi.

#ZonaEBT #Sebarterbarukan #EBTHeroes

Editor: Adhira Kurnia Adhwa

Referensi

[1] Malapetaka di Balik Subsidi Mobil Listrik di Thailand

[2] Moeldoko Sebut Empat Isu Kendaraan Listrik yang Mesti Dibenahi

[3] Efek Samping Subsidi Mobil Listrik di Thailand, Bisa Kejadian Juga di RI?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *