Pentingnya Penerapan Transisi Energi di Indonesia

Ilustrasi transisi EBT. Sumber: www.vox.com

  • Keberadaan transisi energi di Indonesia tampaknya masih cukup dilematis, melihat semangat pembangunan berkelanjutan di negeri ini.
  • Upaya mereduksi emisi karbon juga akan dihadapkan pada berbagai tantangan.
  • Peran pemerintah sangat vital dalam menyediakan kebutuhan di sektor energi, terutama dalam energi bersih.

Keberadaan transisi energi di Indonesia tampaknya masih cukup dilematis. Melihat semangat pembangunan berkelanjutan di negeri ini, upaya mereduksi emisi karbon juga akan dihadapkan pada berbagai tantangan. Salah satunya yaitu “greenflation” sebagai dampak dari transisi menuju energi bersih.

Greenflation sendiri adalah kenaikan harga atau inflasi sebagai konsekuensi dari transisi perekonomian, yang lebih condong kepada pengurangan emisi karbon (net zero emission). Salah satu langkahnya yaitu dengan menggunakan energi bersih. Greenflation terjadi karena adanya pengalihan penggunaan energi dari fosil menuju energi bersih atau hijau, yang mana memerlukan biaya relatif lebih mahal.

Energi menjadi kebutuhan yang sangat krusial, karena energi merupakan penggerak utama segala aktivitas kehidupan manusia. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat vital dalam menyediakan kebutuhan di sektor energi, terutama dalam energi bersih. Sehingga komitmen para pemimpin untuk mewujudkan transisi energi dengan mengoptimalkan energi bersih pun diuji. Selain pemerintah, peran masyarakat juga dibutuhkan untuk mendukung percepatan sektor energi bersih ini demi mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan di Indonesia.

Indonesia dalam Mewujudkan Net Zero Emission

Ilustrasi net zero emission, Pentingnya Penerapan Transisi Energi di Indonesia, zonaebt.com

Ilustrasi net zero emission. Sumber: www.sbm.itb.ac.id

Terangkum dalam laporan khusus bertemakan ”Peta Jalan Menuju Emisi Nol Bersih Pada Sektor Energi di Indonesia”, yang merupakan hasil kerjasama Indonesia dengan Badan Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA). Menunjukkan bahwa, Indonesia menginvestasikan sekitar 20 miliar dollar AS per tahun untuk sektor energi. Jika mengadopsi dan menerapkan transisi energi, investasinya akan lebih tinggi 8 miliar dollar AS per tahun.

Penghitungan tersebut didasarkan pada target Indonesia untuk mencapai net zero emission pada 2060, dengan pengurangan emisi karbon pada sektor energi dalam jumlah yang cukup besar. Sementara itu, investasi untuk efisiensi energi diperkirakan akan naik mencapai 10 miliar dollar AS per tahun pada 2030. Jika hal tersebut terealisasi, biaya investasi energi terbarukan juga berpotensi lebih besar jika pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) terus membaik diikuti dengan permintaan energi yang meningkat.

Menurut laporan Low Carbon Development Indonesia, Indonesia sendiri memiliki potensi energi terbarukan yang cukup besar yaitu 442 gigawatt pada 2018, dan baru dimanfaatkan sebesar 8,8 gigawatt. Sehingga upaya Indonesia menuju net zero emission, akan lebih mendorong penggunaan energi baru terbarukan (EBT) sebagai sumber utama dalam pasokan energi, terutama untuk sektor kelistrikan. Maka dari itu, dibutuhkan bauran listrik yang bersumber dari EBT, setidaknya mendekati 100 persen pada 2050, untuk mencapai upaya nol emisi tersebut.

Baca Juga



Peran Energi Terbarukan dalam Ciptakan Lapangan Pekerjaan

Ilustrasi sektor EBT membuka lapangan kerja baru, Pentingnya Penerapan Transisi Energi di Indonesia, zonaebt.com

Ilustrasi sektor EBT membuka lapangan kerja baru. Sumber: www.oginindonesia.com

Deon Arinaldo, manajer program transformasi energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) memproyeksikan bahwa sektor energi terbarukan berpotensi menciptakan hingga 3,2 juta lapangan pekerjaan. Namun, Deon juga memperkirakan terdapat 1,3 juta lapangan pekerjaan yang sudah ada, akan hilang terutama pada sektor energi berbasis fosil, migas, batu bara, dan sektor-sektor pendukungnya. Oleh karena itu, Deon menekankan pentingnya penerapan transisi energi yang berkeadilan, guna mengantisipasi potensi hilangnya lapangan pekerjaan karena digencarkannya sektor energi terbarukan tersebut, (Bekasi, 23/1/24).

Menurut dokumen resmi Organisasi Perburuhan Internasional, atau International Labour Organization (ILO) yang bertemakan “Lembar Fakta tentang Pekerjaan yang Layak dan Ramah Lingkungan (Green Jobs) di Indonesia”. Menyatakan bahwa adanya green job atau pekerjaan ramah lingkungan, tujuan utamanya adalah untuk mengurangi dampak lingkungan yang diakibatkan oleh perusahaan dan sektor ekonomi lainnya. Hal tersebut juga mencakup pekerjaan yang dapat melindungi ekosistem dan biodiversitas, dekarbonisasi, hingga mengurangi segala bentuk limbah dan polusi.

Adanya sektor energi terbarukan yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru tersebut, tentunya sangat bermanfaat bagi negeri ini. Pasalnya lulusan sarjana di Indonesia hingga saat ini masih cukup banyak, sedangkan lapangan pekerjaan yang ada tidak sebanding dengan sumber daya manusia. Maka dari itu, penerapan transisi energi di Indonesia mempunyai peran yang sangat penting.

Baca Juga



EBT Berjalan Jika Ekonomi Indonesia Tumbuh

Perubahan Indonesia menuju energi baru terbarukan akan sulit berjalan, jika ekonomi dan sektor energinya juga tidak tumbuh. Menurut Tumiran, Dewan Energi Nasional sekaligus Guru Besar UGM, dalam Seminar Kebangsaan & Business Talks dengan tema Mengeksplorasi ESG Transformation, Green Energi dan Technology yang Memberikan Dampak Positif bagi Bisnis dan Ekonomi Bangsa Indonesia, mengatakan “Sektor listrik juga tidak akan tumbuh kalau ekonomi tidak tumbuh. Kalau listrik tidak tumbuh, sektor lain juga tidak tumbuh. Untuk itu, the way of thinking and the way of action kita harus berubah” (Jakarta, 23/1/2024).

Tumiran melanjutkan, konsumsi energi Indonesia juga masih rendah, yang mana rata-rata per kapita hanya menghabiskan 150 ribu per bulan. Tidak heran jika target pemerintah dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) pada 2021-2030, bahwa porsi EBT dalam bauran energi nasional bisa mencapai 23 persen pada 2025 cukup sulit terwujud. Berdasarkan pencapaian kinerja sektor ESDM (Kementerian ESDM) tahun 2022, bauran EBT masih jauh dari target, yakni baru 14,11 persen. Sehingga, target untuk mencapai 2.500 KWH pada 2025 masih jauh dari target.

“Kita harus dorong pengembangan teknologi, meningkatkan daya saing produk domestik, keunggulan informasi, meningkatkan ekspor, dan memperbaiki investasi ke peranan nasional. Sektor industri menjadi penggerak untuk ekonomi kita supaya tumbuh, agar konsumsi listrik terdorong bertumbuh,” lanjut Tumiran. Sehingga kesimpulannya, transisi energi sangat bergantung pada pemberdayaan dan regulasi energi terbarukan, edukasi dan kemampuan kapital, teknologi, ekonomi, serta investasi di sektor energi.  Sobat EBT Heroes juga harus mengambil langkah dan bergegas untuk berubah dalam mewujudkan keberhasilan transisi energi ini, demi mendorong keberhasilan dan pemerataan EBT di Indonesia.

#ZonaEBT #SebarTerbarukan #EBTHeroes

Editor: Bellinda Putri Hidayat

REFERENSI

[1] IESR: Sektor Energi Terbarukan Bisa Ciptakan 3,2 Juta Lapangan Kerja

[2] ”Greenflation” dan Transisi Energi dalam Debat Cawapres

[3] Energi Baru Terbarukan Berjalan Jika Ekonomi dan Sektornya Tumbuh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 Comment