- Apa itu fenomena La Nina?
- Dampak apa saja yang disebabkan oleh La Nina terhadap kehidupan masyarakat?
- Bagaimana upaya pemerintah dalam mencegah fenomena La Nina tersebut?
La Nina merupakan sebuah fenomena alam yang menyebabkan udara terasa lebih dingin atau mengalami curah hujan yang lebih tinggi. La Nina menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya musim hujan di Indonesia, selain adanya angin muson. La Nina berasal dari bahasa Spanyol yang memiliki arti gadis kecil. Fenomena La Nina ini merupakan kebalikan dari fenomena El Nino yang menyebabkan terjadinya musim panas di Indonesia.
Menurut penjelasan dari BMKG, fenomena La Nina terjadi ketika suhu muka laut Samudera Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan hingga bawah suhu normal. Pendinginan ini berpotensi mengurangi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah.
Selain itu, kondisi angin pasat berembus lebih kuat di sepanjang Samudera Pasifik ke Indonesia. Hal ini menyebabkan massa air hangat terbawa ke arah Pasifik Barat. Air yang lebih dingin di bawah laut Pasifik akan naik ke permukaan karena massa air hangat berpindah tempat. Hal ini disebut upwelling dan membuat suhu muka laut turun.
Fenomena La Nina terjadi saat pasokan aliran massa udara dari Samudera Pasifik menuju ke wilayah Indonesia. Hal ini kemudian akan mengakibatkan terjadinya peningkatan curah hujan.
Di Indonesia, La Nina diperkirakan terjadi pada akhir tahun hingga awal tahun, antara bulan Desember, Januari, dan Februari. Fenomena ini ditandai dengan adanya peningkatan curah hujan di sebagian wilayah Indonesia.
Seperti yang kita lihat akhir-akhir ini, beberapa wilayah di Indonesia telah mengalami peningkatan curah hujan, seperti yang terjadi di Pulau Jawa. Peningkatan curah hujan bisa jadi diikuti dengan adanya bencana-bencana hidrometeorologi, contohnya seperti tanah longsor dan banjir. Untuk itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) telah meminta pemerintah daerah agar bersiap untuk segala kemungkinan yang terjadi. Masyarakat juga diminta untuk bersiap menghadapi hal tersebut.
Separah Apa Dampaknya?
Hujan lebat melanda wilayah Jakarta pada hari Jumat kemarin. Hujan di Jakarta ini menimbulkan sejumlah pemukiman dan titik jalanan dilanda banjir. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta sejauh ini melaporkan bahwa setidaknya ada empat RT yang terendam banjir.
Baca Juga
- Perubahan Iklim dan Urbanisasi: Tantangan Perkotaan
- Beberapa Hal Kecil yang Bisa Dilakukan untuk Mengatasi Perubahan Iklim
Wilayah Jakarta yang mengalami banjir tersebut merupakan dua RT di Kelurahan Sukabumi Selatan, Jakarta Barat. Banjir di wilayah tersebut memiliki ketinggian 30-70 cm. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan luapan Kali Pesanggrahan. Kemudian, dua RT lainnya, yaitu di Kelurahan Kuningan Barat, Jakarta Selatan. Banjir di wilayah tersebut memiliki ketinggian 50-60 cm.
Lalu, untuk titik jalanan yang sempat tergenangi air adalah di Jalan Ciledug Raya Seskoal, Kelurahan Cipulir, Kebayoran Lama. Namun, saat malam hari, kondisi genangan sudah menyurut.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa pada saat musim hujan, Kota Jakarta memang selalu identik dengan terjadinya banjir. Pemprov DKI Jakarta itu sendiri telah memiliki program untuk menanggulangi banjir tahunan di sana. Program untuk menanggulangi banjir tersebut adalah revitalisasi serta pembangunan sistem drainase, pengerukan pada situ, waduk, sungai, embung, atau saluran air lainnya.
Namun meskipun begitu, kondisi banjir di Jakarta belum banyak mengalami perubahan dalam lima tahun terakhir. Selama periode 2018-2022 jumlah wilayah yang terdampak banjir di Jakarta cenderung stabil. Ada sekitar 200-300 RW per tahun, seperti yang dapat kita lihat pada grafik di atas.
Pengecualian terjadi pada tahun 2020, wilayah terdampak banjir di Jakarta sempat melonjak jadi 1.052 RW. Curah hujan ekstrem menjadi penyebab lonjakan dampak banjir di Jakarta. Data-data tersebut di dapat melalui data BPBD DKI Jakarta dan Pemprov DKI.
Maksimal 120 milimeter/hari adalah batas dimensi drainase kota Jakarta untuk menampung debit air curah hujan. Namun, curah hujan di Jakarta bisa melebihi kapasitas, hal ini terjadi saat hujan besar ekstrem terjadi. Contohnya adalah pada tanggal 1 Januari 2020. Pada tanggal tersebut, curah hujan Jakarta mencapai 377 milimeter/hari. Angka tersebut merupakan yang tertinggi selama 24 tahun dan menyebabkan banjir.
Awal tahun ini, Presiden Jokowi telah melanjutkan proyek normalisasi Sungai Ciliwung. Proyek yang sempat mangkrak ini dilanjutkan demi mengurangi banjir di Jakarta. Presiden mengungkapkan, “Normalisasi Sungai Ciliwung tinggal sekitar 17 kilometer. Setelah berhenti agak lama, ini akan segera dimulai karena sudah ada beberapa titik yang sudah dibebaskan, misalnya di Rawajati, segera bisa dimulai konstruksinya oleh Kementrian PUPR”.
Presiden Jokowi juga berharap supaya sampai akhir 2024, sisa 17 kilometer itu bisa segera selesai hingga normalisasi Sungai Ciliwung betul-betul rampung. Jika proyek ini bisa selesai, maka akan sangat bisa mengurangi banjir di Jakarta.
Baca Juga
- Upaya Apa yang Dapat Dilakukan untuk Mengurangi Krisis Air Bersih?
- Gelombang Panas Eropa Mencapai Suhu 40°C, Perubahan Iklim Penyebabnya?
Akankah Berdampak pada Pangan?
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengungkapkan bahwa La Nina bisa mengancam ketahanan pangan. Hal ini terjadi karena terdapat potensi kerusakan tanaman akibat hama, banjir, dan penyakit tanaman. Selain itu, kualitas produk juga bisa berkurang karena tingginya kadar air. Melalui hal tersebut, sektor perikanan dan pertanian menjadi dua sektor yang akan terdampak parah.
Kenaikan harga makanan di pasaran serta kerugian bagi petani menjadi dampat dari La Nina. Hal itu terjadi karena banjir dan tanah longsor dapat menyebabkan gagal panen. Selain itu juga bisa mengganggu jalur distribusi bahan makanan.
Untuk mengantisipasi masalah krisis pangan, Bulog dan Kementrian Pertanian perlu melakukan tindakan, yaitu perhitungan stok yang tepat dengan mempertimbangkan faktor risiko bencana. Potensi produksi di seluruh negeri harus diinterventarisir. Hal ini mencegah adanya kekurangan pangan di setiap wilayah. Antisipasi ini harus juga memperhatikan kondisi panen dan magnitudo tiap-tiap wilayah karena kedua kondisi tersebut bisa terjadi dengan intensitas yang berbeda-beda.
Sekretaris Perusahaan Bulog, Awaludin Iqbal, mengatakan bahwa Bulog dan Kementrian Pertanian mengelola stock cadangan beras pemerintah sebanyak satu sampai satu setengah juta ton yang tersebar di seluruh wilayah. Penanggulangan bencana, pasca bencana, dan pengendalian harga akan menggunakan stok tersebut.
Adapun Direktoral Jenderal Tanaman Pagan Kementrian Pertanian menjabarkan bahwa terdapat sejumlah upaya antisipasi dan mitigasi untuk mengamankan produksi pangan dari dampak La Nina. Pemetaan daerah rawan bencana, penggunaan benih tahan genangan di daerah yang rawan banjir, serta rehabilitasi saluran irigasi menjadi upaya antisipasinya.
#zonaebt #sebarterbarukan #ebtheroes
Editor: Rewinur Alifianda Hera Umarul
Referensi:
[1] Mengenal Fenomena La Nina, Proses Terjadinya hingga Dampaknya bagi Kita
[2] La Nina Mengancam Indonesia, Berpotensi sebabkan Banjir dan ‘Ancam Ketahanan Pangan’
[3] Riwayat Banjir Jakarta 5 Tahun Terakhir, Membaik atau Memburuk?
[4] Jakarta Diguyur Hujan Lebat, Ini Sejumlah Wilayah yang Terendam Banjir