
Sobat EBT tentu sudah cukup familiar dengan topik perubahan iklim, bukan?
Menurut KBBI, iklim adalah keadaan hawa (suhu, kelembapan, awan, hujan, dan sinar matahari) dalam suatu daerah dalam jangka waktu yang cukup lama (sekitar 30 tahun). Sementara itu, perubahan berasal dari kata dasar “ubah” yang berarti peralihan atau pertukaran. Dengan demikian, perubahan iklim dapat didefinisikan sebagai peralihan kondisi cuaca yang mencolok dalam suatu periode tertentu pada wilayah tertentu.
Berdasarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations), perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca yang awalnya terjadi secara alami akibat variasi siklus matahari. Namun, sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia mulai menjadi faktor utama yang mempercepat perubahan iklim.
Lalu, bagaimana isu ini berkembang hingga menjadi perhatian serius dunia? Yuk, kita pelajari lebih lanjut!
Dampak Revolusi Industri terhadap Perubahan Iklim

Awalnya, perubahan iklim dianggap sebagai akibat dari kejadian alami, seperti variasi siklus matahari. Namun, sejak revolusi industri pada abad ke-18, aktivitas manusia mulai berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim.
Pada tahun 1712, Thomas Newcomen menemukan mesin uap yang memicu penggunaan batu bara dalam skala besar. Kemudian, pada tahun 1824, Joseph Fourier memperkenalkan konsep efek rumah kaca, yaitu fenomena meningkatnya suhu bumi akibat perubahan atmosfer. Penelitian lebih lanjut oleh Svante Arrhenius pada tahun 1896 membuktikan bahwa pembakaran batu bara dalam skala industri dapat memperparah efek rumah kaca.
Pada tahun 1900, Knut Ångström menemukan bahwa meskipun dalam jumlah kecil, karbon dioksida (CO₂) dapat menyerap radiasi inframerah dengan sangat kuat, menyebabkan panas yang seharusnya keluar dari atmosfer tetap terperangkap di bumi. Studi selanjutnya oleh Guy Callendar pada tahun 1938 menunjukkan hubungan langsung antara peningkatan kadar CO₂ dan kenaikan suhu bumi. Hasil ini dikenal sebagai Efek Callendar, meskipun awalnya ditolak oleh para ahli meteorologi.
Seiring kemajuan teknologi, penelitian tentang dampak CO₂ terhadap perubahan iklim terus berkembang. Pada tahun 1955, Gilbert Plass, seorang ilmuwan Amerika Serikat, menemukan bahwa peningkatan dua kali lipat konsentrasi CO₂ dapat meningkatkan suhu bumi sebesar 3–4°C.
Respon Masyarakat terhadap Perubahan Iklim
Meskipun penelitian telah menunjukkan bahwa aktivitas manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil, meningkatkan konsentrasi CO₂ di atmosfer, tindakan nyata untuk mengatasi perubahan iklim baru dimulai beberapa dekade kemudian.
- 1987: Protokol Montreal ditandatangani untuk membatasi penggunaan bahan kimia yang merusak lapisan ozon. Meskipun tidak secara langsung membahas perubahan iklim, kebijakan ini berdampak pada pengurangan gas rumah kaca.
- 1988: Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) didirikan untuk mengkaji dan mengumpulkan bukti perubahan iklim.
- 1990: Laporan pertama IPCC menyimpulkan bahwa suhu bumi meningkat sekitar 0,3–0,6°C dalam satu abad terakhir.
- 1992: Konferensi PBB di Rio de Janeiro melahirkan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca.
- 1997: Protokol Kyoto disepakati, mewajibkan negara maju untuk mengurangi emisi CO₂.
- 2022–2023: Laporan terbaru IPCC mengonfirmasi bahwa gas rumah kaca yang dihasilkan manusia menjadi penyebab utama pemanasan global.
Laporan Terbaru IPCC tentang Perubahan Iklim
Laporan terbaru IPCC (2022–2023) mengungkapkan bahwa meskipun sejumlah negara telah berhasil menurunkan emisi mereka selama satu dekade terakhir, secara keseluruhan, emisi global masih terus meningkat. Setidaknya 18 negara telah mencatat penurunan emisi, namun upaya mitigasi yang diterapkan di berbagai wilayah belum cukup untuk membalikkan tren pemanasan global.
Dalam beberapa tahun mendatang, suhu bumi diperkirakan akan mencapai ambang batas 1,5°C. Jika tidak segera diatasi, perubahan iklim akan membawa dampak yang semakin parah, termasuk hilangnya spesies di hutan, kerusakan ekosistem terumbu karang, serta mencairnya es di wilayah Arktik. Ancaman ini bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga dapat memicu bencana ekologis dan sosial yang sulit untuk ditangani.
Untuk menghadapi tantangan ini, IPCC merekomendasikan berbagai langkah strategis. Regulasi yang lebih ketat diperlukan untuk menekan emisi gas rumah kaca, sementara inovasi teknologi ramah lingkungan harus terus dikembangkan guna mendukung transisi menuju energi bersih. Selain itu, perencanaan jangka panjang dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan kehidupan di bumi.
Penyebab Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan fenomena yang dapat dipicu oleh faktor alami maupun aktivitas manusia. Sebelum revolusi industri, perubahan iklim terutama dipengaruhi oleh faktor-faktor alamiah seperti perubahan orbit bumi yang menentukan jumlah sinar matahari yang diterima, variasi aktivitas matahari yang memengaruhi intensitas radiasi matahari, serta reflektivitas bumi yang bergantung pada keseimbangan antara objek terang yang memantulkan cahaya dan objek gelap yang menyerap panas.
Selain itu, aktivitas vulkanik juga berperan dalam perubahan iklim. Letusan gunung berapi melepaskan aerosol ke atmosfer yang dapat menghalangi sinar matahari dan menyebabkan pendinginan global. Perubahan konsentrasi karbon dioksida (CO₂) secara alami juga terjadi akibat dinamika pemanasan atau pendinginan bumi dan lautan, yang memengaruhi keseimbangan karbon dioksida di atmosfer.
Namun, setelah revolusi industri, perubahan iklim semakin dipercepat oleh aktivitas manusia. Emisi gas rumah kaca dari industri, transportasi, dan pembangkit energi berbahan bakar fosil menjadi faktor utama pemanasan global. Menurut laporan IPCC 2019, sekitar 80% emisi gas rumah kaca berasal dari sektor energi, industri, transportasi, dan bangunan, sementara sisanya dihasilkan dari aktivitas pertanian dan perubahan penggunaan lahan. Tanpa tindakan mitigasi yang serius, peningkatan emisi ini akan terus memperburuk dampak perubahan iklim bagi bumi dan kehidupan manusia.
Saatnya Bertindak!
Laporan IPCC menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan lagi sekadar ancaman di masa depan, melainkan telah menjadi krisis nyata yang berdampak langsung pada kehidupan manusia dan ekosistem bumi. Jika tidak segera ditangani, konsekuensinya akan semakin parah, mulai dari meningkatnya suhu global, bencana alam yang lebih sering terjadi, hingga gangguan terhadap ketahanan pangan dan keanekaragaman hayati.
Setiap individu memiliki peran dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
- Mengurangi penggunaan energi berbasis fosil
- Mendukung transisi ke energi terbarukan
- Mengadopsi gaya hidup ramah lingkungan, seperti mengurangi sampah dan menggunakan sumber daya secara efisien
- Mengikuti perkembangan kebijakan iklim serta berpartisipasi dalam gerakan lingkungan
Langkah kecil yang dilakukan secara kolektif dapat membawa perubahan besar bagi masa depan. Saatnya bertindak demi bumi yang lebih sehat dan berkelanjutan.
#zonaebt #perubahaniklim #energiterbarukan
Editor : Alfidah Dara Mukti