Pemanfaatan Energi Berbasis Komunitas di Indonesia

Ilustrasi Energi Berbasis Komunitas. Sumber: celagen.desa.id
  • Promosi energi baru terbarukan (EBT) hendaknya tidak hanya berhenti pada konsep berkelanjutan semata, tetapi juga lebih luas pada bentuk transisi yang berkeadilan.
  • Di Indonesia ada banyak proyek pembankit listrik besar yang sedang dibangun, tetapi nyatanya proyek-proyek tersebut belum bisa menjangkau komunitas-komunitas kecil di daerah terpecil.
  • Melalui demokratisasi energi, kepemilikan komunitas terhadap energi bisa lebih terdesentralisasi sehingga monopoli pemerintah bisa dikurangi.

Promosi Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai sumber energi bersih dan berkelanjutan kini semakin banyak digencarkan, termasuk di Indonesia. Menurut Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,  pemerintah memiliki target untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil melalui upaya peningkatan penggunaan EBT sebesar 23% pada tahun 2025 dan terus 31% pada tahun 2050.  Untuk mencapai target ini pemerintah membangun berbagai proyek skala besar seperti PLTS Cirata di Jawa Barat, PLTB Sidrap di Sulawesi Selatan, dan berbagai proyek besar lainnya. 

Namun, timbul sebuah pertanyaan, sudahkah proyek-proyek skala besar ini menjangkau masyarakat atau komunitas-komunitas kecil yang ada di Indonesia? Pada kenyataanya sekitar 1,3 juta rumah tangga di Indonesia belum teraliri listrik, sebagian besar mereka tinggal di desa-desa terpencil yang jauh dari pusat pemukiman. 

Kondisi tersebut memberi gambaran upaya transisi energi di Indonesia belum mencapai tahap transisi energi yang berkeadilan. Merujuk pada The Habibie Center, transisi energi yang berkeadilan hendaknya mampu membangun kerangka transisi energi yang berkeadilan. Beberapa komponen tersebut pertama, berkeadilan secara ekologis dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem. Kedua, berkeadilan sosial untuk mencapai kesetaraan dan inklusivitas di masyarakat. Ketiga, berkeadilan ekonomi untuk mencegah ketimpangan.

Baca Juga



Apa Itu Energi Berbasis Komunitas?

Energi berbasis komunitas merupakan konsep yang berupaya menciptakan desentralisasi kepemilikan energi melalui kemudahan akses, pemanfaatan, dan distribusi yang adil. Transisi energi yang berpijak pada peran komunitas lokal mendorong adanya pengembangan pembangkit listrik skala kecil yang langsung dapat menjangkau masyarakat dan meningkatkan ketahanan energi yang berkeadilan.

Pembahasan energi berbasis komunitas tidak hanya terbatas pada upaya peralihan sumber energi dari energi fosil menuju energi terbarukan. Energi berbasis komunitas hendaknya memunculkan perubahan tata kelola energi yang berkeadilan, dan melibatkan masyarakat secara langsung. Salah satu skema yang bisa diterapkan adalah pengelolaan berbasis BUMDes dan Koperasi untuk mengatur operasional produksi energi bersih oleh komunitas.

Pelaksanaan konsep energi berbasis komunitas akan mendukung kemandirian masyarakat untuk bisa menciptakan ketahanan energinya sendiri. Secara sosial, kondisi ini akan menciptakan distribusi energi yang berkeadilan dan tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang atau pemilik modal.

Ilustrasi Pemasangan PLTS oleh Swadaya Masyarakat. Sumber: gemari.id

Riset menunjukkan bahwa pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas menghasilkan nilai ekonomi yang besar. Riset tersebut memproyeksikan output ekonomi pengembangan energi terbarukan oleh komunitas mencapai angka Rp745 triliun per tahun. Angka tersebut didapatkan dari aspek penyerapan tenaga kerja, hasil perkebunan, pariwisata, kerajinan, dan industri rumah tangga yang didukung oleh akses listrik dari sumber energi terbarukan.

Hal ini juga akan sangat berdampak bagi lingkungan, karena penerapan energi terbarukan bisa mengurangi emisi karbon dan berbagai dampak negatif yang timbul. Perubahan kecil dari kelompok masyarakat akan membawa dampak yang besar untuk pola perilaku dan konsumsi energi secara luas.

Kecil Bentuknya, Besar Manfaatnya

Pemanfaatan sumber energi baru terbarukan dalam skala kecil di sekitar kita memang terkadang dianggap hanya recehan saja. Padahal, sumber energi-energi kecil tersebut bisa sangat bermanfaat bagi mereka yang saat ini belum mendapat akses energi.

  1. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Desa Cinta Mekar, Subang, Jawa Barat

PLTMH Cinta Mekar merupakan salah satu contoh bagaimana pemanfaatan energi terbarukan berbasis komunitas bisa dijalankan. Sejak dibangun pada tahun 2002 PLTMH ini telah berkontribusi besar bagi peningkatan taraf hidup masyarakat di sekitarnya. PLTMH Cinta Mekar tidak hanya fokus pada aspek transisi energi dan elektrifikasi desa saja. Tri Mumpuni sebagai inisiator PLTMH ini, berhasil memberdayakan ekonomi masyarakat untuk subsidi kesehatan, biaya sekolah, dan modal usaha untuk masyarakat desa. Keuntungan ekonomi tersebut didapatkan dari hasil penjualan surplus listrik yang dihasilkan PLTMH kepada PLN.

  1. Bauran Energi Terbarukan Desa Kamanggih, Sumba Timur, NTT

Desa Kamanggih adalah bentuk percontohan yang diinisiasi untuk menjadi desa mandiri energi. Desa ini memiliki berbagai jenis energi baru terbarukan, seperti energi tenaga mikro-hidro, energi surya, energi bayu, dan biogas. Pemanfaatan energi-energi tersebut dikelola oleh masyarakat melalui koperasi. Masyarakat memiliki berbagai kemudahan untuk bisa mengakses listrik dengan biaya yang lebih murah. Selain itu, pemanfaatan biogas membuat masyarakat tidak lagi mengumpulkan kayu di Hutan Lindung Lakatang. Artinya, selain mendatangkan manfaat secara sosial dan ekonomi, adanya bauran energi tersebut membantu masyarakat menjaga lingkungan sekitarnya.

  1. Desa Uma Palak Lestari, Denpasar Utara, Bali

Desa ini merupakan desa binaan PT Pertamina untuk menjadi Desa Energi Berdikari (DEB). Desa ini memadukan teknologi EBT dengan konsep pertanian dan ekowisata. Gabungan antara PLTS dan mikrohidro digunakan untuk membantu distribusi air pertanian masyarakat. Selain itu, DEB ini diklaim mampu mengurangi emisi sebesar 27,3 ton CO2 equivalent per tahun. Hal ini menjadi bukti bahwa integrasi EBT ke dalam kehidupan masyarakat bisa memiliki manfaat yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada misi pengurangan emisi semata.

Tantangan Saat Ini

  1. Monopoli Pemerintah dalam Energi

Pemerintah memang menyatakan kepada publik keseriusannya dalam mendukung transisi energi bersih. Monopoli khususnya oleh PLN dalam pembelian hasil energi terbarukan oleh masyarakat menyebabkan harga listrik yang dihasilkan ditetapkan sepihak. Hal ini karena PLN menjadi satu-satunya lembaga yang mendistribusikan listrik kepada masyarakat saat ini. 

Kasus ini terjadi pada PLTMH Desa Cinta Mekar yang telah dijelaskan sebelumnya. PLTMH Cinta Mekar yang merupakan inisiasi masyarakat pada prosesnya dibeli oleh pihak PLN. Namun, listrik yang diproduksi oleh PLTMH cenderung dihargai semakin rendah oleh PLN sehingga membuat biaya operasionalnya tidak terpenuhi. Akibatnya, upaya pemberdayaan masyarakat yang telah menjadi simbol utama bagi PLTMH Cinta Mekar tidak lagi dirasakan manfaatnya

  1. Modal Awal yang Tinggi

Pembangunan proyek-proyek EBT membutuhkan modal awal yang besar untuk bisa terlaksana. Masalahnya, sebagian besar komunitas atau masyarakat masih belum banyak yang memiliki saluran pendanaan yang memadai untuk pembiayaan proyek tersebut. Akhirnya, situasi ini membuat pelaksanaan konsep energi berbasis komunitas akan terkendala.

Perlu adanya skema kerja sama publik, swasta, dan masyarakat agar bisa bahu-membahu mendorong akselerasi EBT. Dengan demikian, pendanaan tidak hanya terbatas pada pemerintah saja, tetapi bisa dari perusahaan atau swasta dan elemen masyarakat itu sendiri.

Baca Juga



Demokratisasi Energi, Sebuah Upaya untuk Mencapai Transisi Energi yang Berkeadilan

Menurut Williams & Sovacool (2020), demokratisasi energi adalah sebuah proses yang menggabungkan upaya dekarbonisasi sistem energi dan transisi energi berkelanjutan yang lebih luas dengan pendekatan pengambilan keputusan yang lebih demokratis serta meningkatkan kepemilikan komunitas atas sistem energi yang terdesentralisasi.

Hal ini penting agar transisi energi di Indonesia tidak berjalan hanya melalui komando pemerintah (top-down), tetapi memampukan masyarakat dan komunitas yang sebenarnya memiliki potensi energi bersih yang belum dimanfaatkan. Untuk mencapai kemandirian energi, masyarakat perlu didukung dan difasilitasi agar mereka bisa memanfaatkan dan mengakses informasi yang berkaitan dengan energi baru terbarukan secara transparan.

Tuntutan Transisi Energi Berkeadilan. Sumber: koran-jakarta.com

Desentralisasi transisi energi perlu melibatkan komunitas lokal untuk menciptakan sistem tata kelola energi baru terbarukan yang lebih berkeadilan. Keterlibatan hendaknya tidak hanya terbatas pada pelaksanaan dan pemanfaatan saja, komunitas lokal perlu terlibat sejak tahap perencanaan agar distribusi energi didasarkan pada kebermanfaatan untuk masyarakat. Oleh karena itu, konsep transisi energi berbasis komunitas perlu terus digalakkan sebagai kerangka utama transisi energi di Indonesia.

#zonaebt #sebarterbarukan #ebtheroes #makintahuindonesia

Editor : Alfidah Dara Mukti

Referensi:

[1] Mengenal PLTS Cirata yang Diklaim sebagai PLTS Terbesar Se-Asia Tenggara & Terbesar Ketiga di Dunia

[2] PLTB Sidrap, pembangkit listrik angin terbesar di Indonesia

[3] 1,3 Juta Rumah Tangga Belum Dapat Akses Listrik PLN

[4] Transisi Energi Berbasis Komunitas Lokal

[5] Bukan recehan: energi terbarukan berbasis komunitas mampu ciptakan manfaat ekonomi Rp18 ribu triliun

[6] Tri Mumpuni Bangun Desa Lewat Pembangkit Listrik Mikro Hidro 

[7] Asa Kamanggih menuju Desa Mandiri Energi dan Mandiri Pangan. Seperti Apa?

[8] Pertamina Bangun Desa Berdikari di Bali, Dorong Swasembada Energi

[9] Menata Ulang Transisi Energi Berkeadilan Indonesia: Menuju Ekosistem yang Regeneratif dan Demokratis

[10] Energy democracy, dissent and discourse in the party politics of shale gas in the United Kingdom

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *