
- Persaingan REC 2025: China, India, Korea, Jepang, Australia, dan Indonesia.
- Peluang besar Indonesia kejar ketertinggalan energi hijau
- China pimpin pasar REC Asia Pasifik, Indonesia masih tertinggal
Pasar Renewable Energy Certificate (REC) di Asia Pasifik telah menunjukkan pertumbuhan pesat seiring dorongan global menuju energi hijau dan komitmen dekarbonisasi. REC adalah instrumen yang menyatakan bahwa satu megawatt-jam (MWh) listrik telah dihasilkan dari sumber energi terbarukan dan disalurkan ke jaringan listrik. Sertifikat ini dapat diperjualbelikan, memungkinkan perusahaan atau konsumen untuk mengklaim penggunaan energi bersih, mendukung pencapaian target net zero, dan meningkatkan transparansi serta kredibilitas dalam pelaporan dekarbonisasi Berdasarkan proyeksi DataM Intelligence tahun 2025, terdapat enam negara utama yang mendominasi pasar REC di kawasan ini: China, India, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Indonesia
Mulai dari China hingga Indonesia, persaingan pasar Renewable Energy Certificate (REC) di Asia Pasifik semakin memanas! Temukan fakta mengejutkan mengapa China terus mendominasi pengeluaran REC, India dan Korea Selatan bergerak agresif, sementara Indonesia masih tertinggal jauh meski punya potensi energi terbarukan terbesar di kawasan. Apa tantangan dan peluang Indonesia untuk mengejar ketertinggalan di tengah tren global energi hijau? Simak penjelasannya untuk Anda para pelaku industri, investor, dan pemerhati transisi energi!
Baca juga:
- Raih Penghasilan dengan Zonaebt Affiliate Marketing
- Perplatsi Minta Pemerintah Revisi Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024
China: Pemimpin Tak Tertandingi

China menjadi negara terdepan dalam pengeluaran untuk REC di Asia Pasifik, dengan alokasi USD3,4 miliar pada 2025. Dominasi ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang agresif, infrastruktur energi terbarukan yang masif, serta tujuan nasional untuk menjadikan energi terbarukan sebagai lebih dari 50% kapasitas terpasang energi pada 2025. Investasi besar-besaran China juga merambah pengembangan grid pintar dan penyimpanan energi, mendorong kolaborasi lintas sektor serta efisiensi penyaluran energi baru terbarukan.
India: Tumbuh Cepat, Penuh Potensi

India menempati posisi kedua dengan USD2,0 miliar pengeluaran REC. Seiring produksi listrik terbarukan melonjak 24,4% sepanjang paruh pertama 2025, India menunjukkan komitmen nyata untuk ekspansi energi bersih dan penurunan ketergantungan pada batubara. Program pemerintah menargetkan pencapaian 500GW kapasitas energi non-fosil pada 2030. Namun, pasar REC di India masih diwarnai volatilitas harga dan tantangan keandalan, meski diprediksi akan makin stabil seiring membesarnya permintaan korporasi serta perbaikan regulasi.
Korea Selatan: Inovasi & Target Ambisius

Dengan investasi REC USD1,5 miliar, Korea Selatan konsisten mendorong bauran energi terbarukan melalui insentif pemerintah, feed-in tariff, serta Renewable Portfolio Standard (RPS). Inovasi seperti floating offshore wind dan proyek sel hydrogen hijau menjadi identitas baru transisi energi di negeri ginseng. Tantangan utama masih pada keterbatasan lahan dan pengembangan jaringan listrik yang memadai untuk integrasi sumber energi terbarukan secara masif.
Australia: Lompatan Besar dalam Energi Hijau

Australia menyalurkan USD0,7 miliar untuk REC pada 2025. Pangsa energi terbarukan di grid utama telah mencapai 43% di kuartal pertama 2025, didorong oleh lonjakan investasi pada tenaga surya, angin, dan baterai. Pemerintah Australia menargetkan pencapaian 82% bauran energi terbarukan pada 2030. Kebijakan progresif dan insentif investasi jelas memperkuat posisi Australia sebagai salah satu kampiun energi bersih Asia Pasifik.
Indonesia: Tertinggal tapi Memiliki Potensi Besar

Indonesia masih tertinggal, baru mengalokasikan USD0,5 miliar untuk REC. Padahal, potensi energi terbarukan Indonesia sangat melimpah, mulai dari panas bumi, surya, angin hingga hidro. Pertumbuhan pasar REC nasional diperkirakan hanya US$9,28 juta pada 2024 dan baru naik ke US$14,31 juta di 2032, jauh di bawah negara tetangga.
Beberapa faktor penghambat di Indonesia meliputi:
- Dominasi batubara dalam bauran energi, yang masih di atas 60%.
- Keterbatasan ketersediaan REC akibat lambatnya pengembangan pembangkit EBT.
- Harga REC yang relatif tinggi akibat mismatch antara penawaran dan permintaan.
- Regulasi dan infrastruktur grid yang belum siap mendorong penetrasi energi hijau secara besar-besaran.
Namun, lonjakan permintaan REC di sektor korporat, khususnya oleh perusahaan global seperti Google, Amazon, dan Microsoft yang beroperasi di Indonesia, menjadi peluang besar untuk mempercepat transisi energi. Program PLN Green REC yang mulai berjalan dan target pemerintah dalam RUPTL 2025-2034 yaitu bauran EBT nasional sebesar 61% juga membuka jalan bagi pengembangan pasar REC domestik.
Baca juga:
- Peran Kecerdasan Buatan Untuk Strategi Bisnis Berkelanjutan
- Menguasai Peluang Karir di Bidang Kelistrikan dengan ESDM
Perlombaan pasar REC Asia Pasifik cenderung dipimpin oleh China sebagai kuasa utama diikuti India, Korea Selatan, Jepang, Australia, sementara Indonesia harus berbenah agar mampu mengejar ketertinggalan. Dukungan regulasi progresif, insentif investasi, serta keterlibatan korporasi menjadi kunci utama percepatan adopsi energi hijau dan penguatan pasar REC, terutama di Indonesia yang memiliki sumber daya terbarukan melimpah namun belum optimal dikelola.
Agar Sobat EBT Hereos tahu Dengan tren global menuju net zero dan tuntutan ESG yang semakin kuat, Indonesia diharapkan dapat memanfaatkan momentum ini untuk mendorong adopsi REC, memperluas ekosistem investasi hijau, dan mengambil posisi strategis dalam transformasi energi di Asia Pasifik.
#zonaebt #EBTHeroes #Sebarterbarukan #energihiau #asiapasific
Referensi:
[1] Asia-Pacific Renewable Energy Certificate Market – 2025-2032
[2] China sets 2025 target for renewable power capacity
[3] Indonesia-Energy-Transition-Outlook-2025-Digital-Version.pdf