- Langkah konkrit yang dilakukan pemerintah untuk penurunan emisi.
- Mogoknya izin terhadap pembangunan energi khususnya PLTS.
- Faktor-faktor yang menyebabkan pemerintah belum sepenuhnya terhadap perubahan energi.
Indonesia sedang gencarnya mengalihkan perubahan energi yang awalnya menggunakan energi fosil menjadi Energi Baru Terbarukan atau EBT. Komitmen Negara Indonesia guna melakukan penurunan terhadap emisi dan dapat dikontribusikan lebih cepat bagi Net-Zero Emisision Dunia.
Langkah konkrit untuk menurunkan emisi, salah satunya ialah adanya diversifikasi terhadap energi fosil dengan energi terbarukan. Hal itu sesuai dengan penetapan yaitu sebesar 23 persen pada tahun 2025 nanti. Di tahun 2020, bauran energi baru terbarukan baru mencapai angka 11,2 persen. Masih perlunya upaya yang konkrit dan terencana guna tercapainya target bauran energi baru terbarukan di tahun 2025.
Baca juga:
- Panel Surya Berbentuk Bunga, Terinspirasi dari Tumbuhan
- Terjamin Aman! Peralatan Rumah Saat Gunakan PLTS Atap
Upaya mempercepat dalam pembangunan energi baru terbarukan dan pertimbangkan waktu pembangunan yang cepat serta kompetitif dari segi harga, Kementerian ESDM atau Energi dan Sumber Daya Mineral sangat mendorongnya pembangunan PLTS atau Pembangkit Listrik Tenaga Surya. PLTS ini baik PLTS Atap dengan skala kecil, PLTS Terapung, atau pun PLTS dengan skala yang besar, dan akan disebar dalam berbagai kawasan di Indonesia.
Adanya rencana mengenai pengembangan PLTS yang mana masing-masing memiliki target di tahun 2025. PLTS Atap memiliki target 3,61 giga watt, PLTS Terapung dengan target 26,65 giga watt, dan PLTS yang skala besar ditargetkan hingga tahun 2030 dalam mencapai 4.68 giga watt.
Namun berapa target bauran energi terbarukan di tahun 2030? Tahun 2030 mencapai target sebesar 47 persen dengan total 140 giga watt energi terbarukan dan 108 giga watt energi matahari. Sayangnya, Indonesia masih enggannya melepas dari batubara secara penuh. Menurut Laporan Indonesia Energy Transition Outlook atau IETO, iklim investasi dalam energi terbarukan tidak menarik terutama dalam hal mengurus izin dan jumlah bunga yang tinggi.
Mogoknya izin untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya atau PLTS Atap adanya menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara atau Persero terhadap transisi/perubahan energi. Masalah izin menjadikan indikator bahwa pemerintah ini belum sepenuhnya niat menyediakan listrik dari energi bersih.
Pengguna PLTS atap dalam sejumlah daerah adanya keluhan terhadap lambatnya penerbitan izin oleh PLN (Perusahaan Listrik Negara). Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 yang diterbitkan pada Bulan Agustus 2021, adanya perubahan mengenai aturan ekspor listrik atau penjualan kelebihan daya PLTS atap kepada PLN.
Aturan lama PLN dapat membeli kelebihan listrik yang dihasilkan oleh PLTS atap dengan maksimal jumlahnya 65 persen dari jumlah seharusnya. Untuk aturan baru, pengguna PLTS atap dapat mengekspor kelebihan listrik yang dihasilkan kepada PLN dengan penggantian hingga 100 persen. Fungsi nilai ekspor dapay mengurangi tagihan penggunaan listrik dan jaringan yang menjadi miliki PLN tetap dibayar oleh pengguna PLTS atap on-grid.
Faktor yang menjadi sebab dalam mengembangkaan listrik dari sumber energi bersih seolah-olah bertentangan dengan bisnis PLN. Utamanya ialah sikap pemerintah untuk membangun pembangkit listrik batu bara dan bahan bakar fosil lainnya dengan dalih penyediaan infranstruktur untuk investor.
Faktor lain, sikap pemerintah yang belum sepenuhnya dalam perubahan energi. Jika serius dan berkomitmen, harus adanya aturan yang ramah terhadap pengembangan energi terbarukan, termasuk perubahan terhadap UU kelistrikan yang mengatur monopoli jaringan yang dilakukan oleh PLN.
Dengan kondisi batubara yang masih sangat mendominasi di Indonesia, sistem kelistrikan menimbulkan pertanyaan untuk keadilan terhadap perubahan atau transisi energi. Mengapa tidak? Lima tahun terakhir produksi batu bara sebanyak 400 juta ton yang mana di atas pencapaian target. Inilah sangat bertentangan ddengan kepopuleran konsumsi batubara yang signifikan.
Referensi:
[1] Catatan Akhir Tahun: Transisi Energi Masih Setengah Hati?
[2] Menteri ESDM : Perlu Upaya Konkrit dan Terencana Capai Target Bauran 23% Di Tahun 2025
[3] TRANSISI ENERGI SETENGAH HATI