Energi Nuklir Menjadi Opsi Transisi Energi Menuju NZE

  • Saat ini sebesar 75% emisi yang dihasilkan berasal dari penggunaan energi fosil.
  • Dalam skenario umum transisi energi di Indonesia bertumpu pada sektor pembangkit listrik.
  • Skenario transisi energi menuju NZE ke depan bertumpu pada pembangkitan listrik energi terbarukan yang akan membawa perubahan besar dalam ketenagalistrikan, dan listrik akan menjadi pusat transisi tersebut

Selama lebih dari dua dekade, topik energi nuklir tidak masuk dalam agenda konferensi perubahan iklim yang dikoordinasikan oleh PBB. Namun, pada KTT COP26 yang berlangsung di Glasgow, energi nuklir mulai menjadi perhatian. Dengan karakteristik yang hampir bebas karbon, dan mampu menghasilkan daya besar terus menerus maka PLTN merupakan salah satu solusi mengatasi pemanasan global.

Memang momok Chernobyl dan Fukushima masih ada, tetapi ketika krisis iklim semakin dalam dan kebutuhan untuk beralih dari bahan bakar fosil menjadi mendesak, dan sikap banyak negara mulai berubah.

Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa di samping menargetkan untuk secara bertahap menghentikan operasi pembangkit listrik yang sumber energinya dari batu bara, juga memaksimalkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT), bahkan Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa opsi penggunaan nuklir direncanakan akan dimulai di 2045 dengan kapasitas hingga mencapai 35 Giga Watt (GW) di 2060.

Baca juga



Energi nuklir mampu memenuhi kebutuhan energi secara masif dan sesuai untuk peningkatan kemampuan industrialisasi Indonesia di masa depan. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan energi yang bersifat masif dan berkesinambungan, maka tidak ada pilihan lain untuk menggantikan peran penggunaan sumber daya energi konvensional kecuali penggunaan energi nuklir.

Teknologi reaktor nuklir telah mencapai pencapaian teknologi yang lebih unggul dibanding dengan teknologi pembangkit lainnya. Keunggulan teknologi energi nuklir adalah tidak menghasilkan limbah yang dilepaskan ke lingkungan.

Semua limbah terkait dengan pengunaan material nuklir dikelola dengan sistem pengelolaan limbah nuklir yang pada akhirnya disimpan, diimobilisasi dan dikungkung. Kemudian, mengaplikasikan sistem keselamatan komprehensif (defense in depth atau sistem pertahanan berlapis) yang terdiri dari keselamatan melekat (inherent safety), redundansi, interlock, reliability, hambatan ganda (multiple barrier), dan juga prosedur operasi terstandarisasi.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) tentang kebijakan energi nuklir, dan implementasinya dalam transisi energi menuju Net Zero Emission (NZE) dan pembangunan berkelanjutan.

Diskusi dan pembahasan mengenai permasalahan ini diperlukan untuk mendapatkan masukan dalam penyusunan naskah kebijakan pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT), khususnya energi nuklir.

Diskusi ini diperlukan untuk mendapatkan masukan dalam penyusunan naskah kebijakan pemanfaatan EBT, khususnya energi nuklir dalam transisi energi menuju NZE sehingga naskah kebijakan yang dirumuskan berkualitas sesuai dengan harapan pemangku kepentingan terkait.

Peluang dan tantangan introduksi energi nuklir di Indonesia dari aspek kebijakan, salah satu tantangan energi di Indonesia adalah semakin menipisnya cadangan energi fosil, dan pemerintah wajib mencari alternatif sumber EBT yang lebih ramah lingkungan.

Sesuai dengan peta jalan menuju NZE untuk menggantikan pembangkit fosil yang pensiun, PLTN pertama direncanakan beroperasi dengan total daya 7,7 GWe di tahun 2036 – 2040. Tantangannya adalah pemerintah harus segera meluncurkan program Go-Nuklir di tahun 2025 dengan mempertimbangkan masa konstruksi PLTN yang butuh waktu 7 hingga 8 tahun.

Salah satu kebijakan energi nasional tercantum dalam Grand Strategi Energi Nasional (GSEN) 2021-2035, yaitu membangun transmisi dan distribusi listrik, smart gridoff grid, dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sesuai dengan kebutuhan, serta pembentukan Nuclear Energy Program Implementing Organization (NEPIO).

Sesuai Paris Declaration, Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 23 persen pada tahun 2030. Hal ini merupakan upaya Indonesia mendukung transformasi ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon.

Untuk mengantisipasi kebutuhan energi yang masif dengan transformasi ekonomi dan reindustrialisasi, diperlukan pembangkit listrik yang mampu memasok energi skala besar tapi relatif murah. PLTN menjadi salah satu opsi yang diharapkan bisa masuk sebelum tahun 2040.

Di dalam PP Nomor 79 tahun 2014, tentang KEN, mengamanatkan ketahanan energi, yaitu kondisi terjaminnya ketersediaan energi, akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Kondisi saat ini, penyediaan tenaga listrik secara nasional, yakni 85 persen berasal dari fosil, dan 15 persen berasal dari EBT.

Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 sebagai Green RUPTL, di antaranya adalah tidak lagi menambah PLTU batubara, kecuali yang telah financial closing atau konstruksi. Selain itu, menambah porsi pembangkit EBT dibandingkan pembangkit fosil, dari 30 persen banding 70 persen pada RUPTL 2019-2028, menjadi 48 persen banding 52 persen pada RUPTL 2021-2030.

Terkait target NZE, penyediaan listrik di tahun 2060 akan diproyeksikan seluruhnya berasal dari pembangkit berbasis EBT, yaitu surya (17.955 MW), air (83.354 MW), bayu (39.226 MW), bioenergi (37.463 MW), nuklir (35.000 MW), panas bumi (17.955 MW), dan arus laut (13.378 MW).

Tantangan Sosial-Politik pada Program Pembangunan PLTN

Tantangan utama dalam program pembangunan PLTN adalah bukan pada teknologi, melainkan sosial-politik. SDM dan infrastruktur Indonesia sudah siap dalam program pembangunan PLTN. Tantangan utama bukanlah pada teknologi, tetapi pada masalah sosial-politik. Selain itu, tantangan lainnya adalah regulasi yang ketat, biaya investasi yang relatif mahal, durasi pembangunan yang lama, dan long term waste storage.

Baca juga:



Adapun keunggulannya, tambah Djarot, yaitu rendah karbon, reliable energy sources memerlukan lahan yang kecil, harga listrik kompetitif, keamanan pasokan, dan masa hidup pembangkit yang panjang bisa beroperasi hingga 80 tahun.

Saat ini, PLTN menyumbang 10,1 persen penyediaan listrik dunia. Terdapat 30 negara yang mengoperasikan PLTN, diantaranya yang terbesar adalah Amerika Serikat, Prancis, Cina, Rusia, dan Jepang. Selain itu, beberapa negara sedang merencanakan dan sedang konstruksi PLTN.

Di Indonesia sudah melakukan studi kelayakan di beberapa daerah, seperti Semenanjung Muria – Jepara, Bangka, dan yang terbaru di Kalimantan Barat. Kemudian melakukan pengoperasian reaktor riset, penyiapan infrastruktur energi nuklir, sosialisasi, dan survei penerimaan masyarakat.

zonaebt.com

Renewable Content Provider

#zonaebt #sebarterbarukan #PLTN #nuklir #energi #NZE

Editor: Riana Nurhasanah

Referensi:

http://www.batan.go.id/index.php/id/hasil-litbang/7395-energi-nuklir-opsi-transisi-energi-menuju-nze-dan-pembangunan-berkelanjutan

https://www.brin.go.id/energi-nuklir-opsi-transisi-energi-menuju-nze-dan-pembangunan-berkelanjutan/

https://mediaindonesia.com/humaniora/447210/nuklir-bakal-jadi-solusi-menuju-net-zero-emission

https://kabar24.bisnis.com/read/20211115/15/1465992/kepala-brin-energi-nuklir-wujudkan-net-zero-emission

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 Comment