- Berbagai bentuk sampah berkumpul menumpuk menjadi satu dalam gundukan tinggi. Bau menyengat, kotor, dan terus tertimbun.
- Indonesia merupakan produsen sampah plastik di laut terbesar kedua di dunia, setelah Tiongkok.
- Meningkatnya jumlah sampah tidak terlepas dari pengaruh urbanisasi dengan sederet budaya yang berkembang di dalamnya.
Secara paradoks, akan sangat mengagumkan apabila tata kelola sampah Indonesia dikonversi secara massal menjadi energi terbarukan yang dapat menerangi seantero Nusantara melalui implementasi pembuatan dan pengelolaan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, pertumbuhan urbanisasi di Indonesia saat ini mencapai 4,1% per tahun. Perkiraannya pada 2025 akan terdapat sekitar 68% penduduk Indonesia tinggal di kota besar. Peningkatan populasi penduduk di kota otomatis juga meningkatkan produksi sampah.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut, proyeksi timbunan sampah yang tertuang dalam kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah rumah tangga dan sejenis adalah sebanyak 67,8 juta ton pada 2020, lalu meningkat menjadi 70,8 juta ton pada 2025. Angkanya melonjak tajam dua kali lipatnya di 2050. Artinya, laju pertambahan jumlah penduduk dan proyeksi timbunan sampah benar-benar menjadi masalah sangat serius yang mengancam. Daya dukung lahan tak sebanding dengan jumlah timbunan sampah.
Kehadiran PLTSa, memberi angin segar pada berbagai perspektif “control and co-creation”. Dengan cara ini, maka akan terjadi pengurangan limbah sampah, penyediaan energi listrik, dan perubahan budaya buang sampah di muara akhir. Kehadirannya seolah menjadi konstruksi jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul tentang pengelolaan sampah dan lahan pembuangannya yang tepat untung.
Baca juga:
Sistem Kerja, Kelebihan dan Kekurangan PLTMH di Indonesia
Penggunaan Batu Bara Belum Maksimal, Transformasi Energi Panas Bumi Akan Menjadi Solusi
Sejalan dengan itu, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang percepatan program pembangunan PLTSa menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan. Solusi yang ditawarkan oleh pemerintah terkesan menarik dengan konsep waste to energy secara permanen.
Pengolahan sampah menjadi energi listrik terbarukan di Indonesia merupakan kemajuan sains yang progresif. Thomas Samuel Kunt seorang filsuf, fisikawan, dan sejarawan Amerika Serikat dalam bukunya The Structure of Scientifix Revolutions menjelaskan, pergeseran paradigma membuka pendekatan baru untuk memahami apa yang tidak akan dianggap benar sebelumnya. Sampah mengalami transformasi paradigma dari semula hanya “buangan” menjadi “kebermanfaatan” luas adalah konteks perubahan signifikan dari adanya kebutuhan mendesak terkikisnya daya dukung lingkungan.
Sebagai informasi, daya listrik yang dihasilkan PLTSa bervariasi antara 500 kilowatt sampai 10 megawatt. Bandingkan dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara dengan daya 40 MW sampai 100 MW per unit. Lalu, pembangkit listrik tenaga nuklir berdaya 300 MW sampai 1.200 MW per unit. Masalah lain yang timbul adalah ego sektoral kelembagaan dan kurang terintegrasinya layanan sehingga acapkali terjadi kisruh yang berujung proyeknya tidak berjalan. Perlu diingat, pengelolaan sampah sesungguhnya merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dan Kementerian KLHK, bukan kewajiban PLN maupun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Baca juga:
- Inovasi Baru!! Pompa Air Bertenaga Panel Surya
- Pengguna Kendaraan Listrik di Indonesia Bertambah, PLN Siap Perbanyak SPKLU
Penerapan incinerator pada PLTSa, menurut Dosen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember, Anita Dewi Moelyaningrum, memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Pembakaran plastik akan menghasilkan senyawa toksik terutama dioksin dan furan. Senyawa itu dapat terakumulasi di lingkungan, organisme, dan manusia. Akibatnya, mengganggu kesehatan manusia seperti batuk dan sesak nafas. Lalu, pembangunan PLTSa secara masif berpotensi mandek kala berganti rezim pemerintahan karena memang “listrik” merupakan salah satu penyebab hadirnya korupsi. Rangkaian yang menghambat ini pulalah yang membuat Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memberikan perhatian serius pada hal ini.
Transformasi kemajuan sains dalam ranah implementasi penerapan PLTSa harus didukung keseriusan oleh semua pemangku kepentingan. Dari pemerintah daerah, kementerian, PLN, dan masyarakat harus dengan sadar, guyub dan solutif secara progresif menuntaskan gagasan mewujudkan energi terbarukan sampah ini. Indonesia negara besar dengan potensi kembang kelola sampah menuju kemandirian energi adalah harapan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Surabaya, Jawa Timur. PLTSa tersebut berada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo, Surabaya, Jawa Timur. Jokowi mengungkapkan rencana mendorong PLTSa tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Perpres tersebut diterbitkan supaya Pemerintah Daerah tidak ragu lagi untuk mengolah sampah menjadi listrik, akibat ketidakjelasan payung hukum.
zonaebt.com
Renewable Content Provider
#zonaebt #sebarterbarukan #Sampah #PLTSa #Listrik
Referensi: