
- Indonesia memiliki potensi besar dalam pasar kredit karbon global, dengan estimasi mencapai hingga Rp 8.000 triliun dari berbagai sektor seperti kehutanan dan energi.
- Negara ini juga memiliki kapasitas serapan karbon yang signifikan melalui hutan hujan tropis, hutan mangrove, dan lahan gambut, yang dapat menyerap hingga 113,18 gigaton emisi karbon.
- Dengan memanfaatkan potensi ini secara optimal, Indonesia dapat mengurangi emisi global, meningkatkan pendapatan dari ekspor kredit karbon, dan memimpin dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Carbon credit atau kredit karbon adalah izin tercatat yang diperdagangkan dan memungkinkan perusahaan untuk menghasilkan sejumlah gas rumah kaca atau karbon dioksida setara sebagai hak mereka dalam proses industri. Dengan adanya sertifikat atau izin ini, perusahaan diharapkan akan bertindak untuk mengurangi atau bahkan menghindari emisi karbon yang menyebabkan Gas Rumah Kaca (GRK).
Pasar karbon menawarkan unit pembelian untuk kegiatan carbon offset. Carbon offset adalah upaya menyeimbangkan beberapa emisi karbon yang dihasilkan dari suatu kegiatan tertentu dengan cara membeli karbon kredit di pasar sukarela. Dikutip dari Permen LHK No. 7 Tahun 2023, offset emisi adalah pengurangan emisi gas rumah kaca yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan cara mengompensasi emisi yang dihasilkan di tempat lain melalui kegiatan atau proyek yang dilakukan.
Emisi ini diturunkan melalui kegiatan pengendalian lingkungan dan mitigasi perubahan iklim seperti mengurangi deforestasi, pembangunan hutan tanaman, rehabilitasi hutan, penanaman kembali hutan, hingga pengelolaan hutan yang lestari.
Baca Juga:
- Emisi Karbon: Pengertian, Dampak & Cara Pencegahannya
- Kenali Kebijakan Karbon yang Berlaku di Indonesia
Perbedaan Kredit Karbon dengan Pengimbangan Karbon
Dikutip dari harmonifuels.com, kredit karbon memberikan hak kepada perusahaan untuk menghasilkan sejumlah karbon dioksida (CO2) tertentu. Ini berarti bahwa perusahaan yang memiliki kredit karbon dapat mengeluarkan emisi karbon di tingkat yang sudah ditentukan oleh kredit yang mereka miliki. Dalam sistem ini, perusahaan harus mengimbangi emisi mereka dengan membeli kredit karbon yang setara dengan jumlah CO2 yang mereka hasilkan.
Sementara itu, carbon offset, atau pengimbangan karbon, adalah tindakan mengimbangi emisi karbon yang dihasilkan dari suatu kegiatan dengan cara berinvestasi dalam proyek yang mengurangi emisi CO2 di tempat lain. Proyek-proyek ini bisa berupa penanaman pohon, pembangkit energi terbarukan, atau proyek pengelolaan limbah. Dengan carbon offset, perusahaan atau individu dapat membeli karbon kredit di pasar sukarela untuk mengimbangi emisi mereka sendiri.
Menurut Onetreeplanted.org, penyeimbangan karbon juga diukur dalam ton setara CO2, tetapi berbeda dari kredit karbon karena ini dilakukan ketika perusahaan memutuskan untuk berinvestasi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca di luar operasi sehari-hari mereka. Secara ringkas, penyeimbangan karbon adalah tindakan menghilangkan emisi CO2 yang dihasilkan di satu tempat dengan tindakan mengurangi emisi di tempat lain.
Secara ringkas, kredit karbon memberikan izin untuk menghasilkan emisi, sementara carbon offset adalah tindakan mengimbangi emisi yang dihasilkan dengan mengurangi emisi di tempat lain.
Tujuan Kredit Karbon

Bursa karbon dan kredit karbon saling berkaitan dalam upaya mengurangi emisi karbon dioksida yang dapat mengakibatkan perubahan iklim dan gas rumah kaca. Fungsi bursa karbon mirip dengan “pasar” perdagangan, di mana entitas dapat melakukan jual beli izin emisi karbon.
Tujuan utama dari kredit karbon adalah mengurangi emisi karbon secara global. Kredit karbon mendorong perusahaan untuk mengadopsi praktik bisnis yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Melalui insentif finansial, perusahaan didorong untuk berinvestasi dalam energi terbarukan, pengelolaan limbah yang efisien, dan peningkatan efisiensi energi untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang.
Investasi dalam proyek energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga surya atau angin, adalah contoh bagaimana perusahaan dapat mengurangi jejak karbon mereka. Selain itu, kredit karbon bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap energi bersih dan terjangkau, serta memberi peluang bagi negara-negara berkembang untuk mendapatkan dukungan finansial dalam upaya mereka mengurangi emisi. Ini membuka kesempatan bagi negara-negara berkembang untuk berpartisipasi aktif dalam mitigasi perubahan iklim dan mengurangi gas rumah kaca.
Baca Juga:
- Bursa Karbon: Pasar Sekunder Jual Beli Kredit Karbon
- Peresmian Bursa Karbon, Gali Peluang Ekonomi dalam Menjaga Lingkungan
Potensi Kredit Karbon di Indonesia

Sobat EBT Heroes, Indonesia memiliki potensi besar dalam pasar kredit karbon global, dengan estimasi mencapai hingga Rp 8.000 triliun. Potensi ini terutama berasal dari sektor kehutanan, lahan pertanian, energi, transportasi, limbah, proses industri, dan penggunaan produk. Potensi besar ini termasuk juga dalam produk dengan kemasan yang berdampak signifikan pada lingkungan hijau.
Secara global, sektor energi menghasilkan emisi karbon sebesar 34,37 miliar ton pada 2022. Indonesia berada di peringkat keenam dengan total emisi 691.970.000 ton CO2. Mengingat tantangan berat yang dihadapi, penting bagi Indonesia untuk mengambil tindakan nyata untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan mencapai keberlanjutan lingkungan. Pada tahun 2023, Indonesia berhasil menurunkan kadar emisi sebesar 127,67 juta ton.
Indonesia juga memiliki beberapa sarana alamiah yang sangat berharga. Menurut data dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Indonesia memiliki hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia dengan luas 125,9 juta hektar, yang dapat menyerap sekitar 25,18 miliar ton emisi karbon. Area hutan mangrove Indonesia yang seluas 3,31 juta hektar mampu menyerap sekitar 950 ton karbon per hektar, setara dengan 33 miliar ton karbon. Selain itu, lahan gambut Indonesia yang seluas 7,5 juta hektar menyerap sekitar 55 miliar ton karbon.
Secara keseluruhan, Indonesia memiliki kapasitas untuk menyerap sekitar 113,18 gigaton emisi karbon. Jika pemerintah Indonesia mampu menjual kredit karbon dengan harga USD 5 per ton di pasar karbon, potensi pendapatan yang dapat diperoleh adalah hingga USD 565,9 miliar atau sekitar Rp 9.200 triliun (per 2024, 1 USD = Rp 16.100).
Berdasarkan data Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (2022), nilai potensi ekspor kredit karbon dari proyek-proyek “beyond NDC” mencapai sekitar Rp 2,6 triliun per tahun dengan hutan seluas 434.811 hektar. Indonesia juga menyimpan ekosistem blue carbon yang mencakup 75-80% dari total karbon dunia, menegaskan potensi besar dari sektor hutan dan ekosistem pesisir di Indonesia.
Dengan potensi besar yang dimiliki, Indonesia berada di posisi strategis untuk memimpin inisiatif global dalam pengurangan emisi karbon dan mitigasi perubahan iklim. Memanfaatkan potensi carbon credit tidak hanya menawarkan peluang ekonomi yang signifikan tetapi juga merupakan langkah penting menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Melalui dukungan dan investasi dalam proyek-proyek hijau serta kebijakan yang mendukung, Indonesia dapat mengubah tantangan ini menjadi peluang, memperkuat perannya sebagai pelopor dalam perlindungan iklim global. Saatnya kita mengambil langkah konkret untuk memastikan bahwa potensi ini menjadi kenyataan, dan bersama-sama, kita dapat mewujudkan dunia yang lebih bersih dan lebih hijau untuk generasi mendatang.
#zonaebt #Sebarterbarukan #EBTHeroes
Editor: Savira Oktavia
Referensi:
[1] Potensi Kredit Karbon Indonesia Capai Rp. 8 triliun
[2] Apa itu Kredit Karbon (Carbon Credit) dan Penyeimbangan Karbon (Carbon Offset)?
[3] Pengertian Istilah Kredit Karbon
[4] Carbon Credit: Definisi, Perkembangan, Tujuan, Potensi dan Sertifikasi