
- Polusi udara Jabodetabek mencapai tingkat berbahaya dengan PM2.5 hingga 12 kali lipat batas aman WHO.
- Tangerang Selatan menjadi wilayah terburuk, diikuti Tangerang, Depok, Bekasi, Jakarta, dan Bogor.
- Aktivitas industri, konstruksi masif, dan kemacetan lalu lintas menjadi penyebab utama krisis kualitas udara.
Partikel halus berbahaya PM2.5 dengan konsentrasi 61.1 μg/m³ melayang bebas di udara – 12 kali lipat melebihi batas aman yang ditetapkan WHO. PM2.5 atau Particulate Matter 2.5 merupakan partikel halus berbahaya dengan diameter kurang dari 2.5 mikrometer. Ukurannya yang sangat kecil memungkinkan partikel ini masuk ke paru-paru dan bahkan aliran darah, menyebabkan berbagai masalah kesehatan serius.
Ini bukan lagi sekadar peringatan, tapi realitas mengejutkan yang harus dihadapi 30 juta penduduk Jabodetabek setiap detik. Data terbaru Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) 2024 mengungkap fakta mencengangkan: tidak ada satu pun wilayah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang memiliki udara layak hirup menurut standar internasional.
Bahkan kota Bogor yang terkenal sejuk dengan julukan “Kota Hujan” pun tidak luput dari ancaman polusi mematikan ini. Bagaimana mungkin wilayah megapolitan terbesar Asia Tenggara ini berubah menjadi “gas chamber” raksasa yang mengepung jutaan jiwa?.
berikut kondisi kualitas udara di masing-masing kota Jabodetabek:
Baca juga:
- Mengoptimalkan Pembelajaran E-Learning dari Zonaebt.com
- Maksimalkan Jangkauan Bisnis Sobat EBT Heroes dengan Paid Promote ZonaEBT!
Tangerang Selatan – Kondisi Terburuk

Menempati posisi paling mengkhawatirkan dengan konsentrasi PM2.5 61.1 μg/m³, atau 12 kali lipat melebihi batas aman WHO. Ironisnya, kawasan yang dikenal sebagai “Silicon Valley-nya Indonesia” ini justru menjadi yang paling berbahaya untuk kesehatan pernapasan.
Tangerang Selatan mengalami transformasi dramatis dalam dua dekade terakhir. Dari lahan kosong menjadi kota modern dengan kompleks perumahan mewah seperti BSD City, Serpong, dan Alam Sutera. Namun pembangunan masif ini datang dengan harga mahal. Aktivitas konstruksi yang tak pernah berhenti, ditambah kemacetan parah di jalan-jalan utama seperti Serpong Raya dan Situ Gintung, menciptakan “perfect storm” polusi udara.
Lebih dari 1,8 juta penduduk kini menghirup udara yang kualitasnya setara dengan berada di dalam ruangan penuh asap rokok setiap hari. Para pekerja kantoran di gedung-gedung pencakar langit BSD dan penguni perumahan elit pun tidak luput dari ancaman partikel mematikan ini.
Tangerang – Zona Merah Polusi

Konsentrasi PM2.5 mencapai 55.6 μg/m³ atau 11 kali lipat batas WHO. Kota ini menjadi “gerbang industri” Jabodetabek dengan ribuan pabrik tekstil, otomotif, dan manufaktur yang beroperasi 24 jam.
Tangerang adalah rumah bagi kawasan industri terbesar seperti Jababeka, Karawaci Industrial Estate, dan Cikupa. Belum lagi keberadaan Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang melayani ratusan penerbangan harian. Kombinasi emisi industri, pesawat terbang, dan puluhan ribu truk kontainer yang mondar-mandir setiap hari menciptakan “cocktail” polutan yang mematikan.
Penduduk Tangerang, terutama yang tinggal di sekitar kawasan industri seperti Cikokol, Ciledug, dan Neglasari, seolah menjadi “kelinci percobaan” paparan polusi jangka panjang. Tidak heran jika rumah sakit di wilayah ini melaporkan peningkatan drastis pasien dengan gangguan pernapasan.
Depok – Tingkat Berbahaya

Dengan PM2.5 50.3 μg/m³ atau 10 kali lipat batas WHO, “kota pelajar” ini mengalami transformasi kelam dari kota pendidikan menjadi zone bahaya kesehatan. Ironi yang menyedihkan ketika tempat para generasi muda menuntut ilmu justru mengancam masa depan mereka.
Depok mengalami ledakan pembangunan infrastruktur dalam lima tahun terakhir. Proyek LRT Jabodebek, pembangunan jalan tol, dan ratusan apartemen serta mall baru menciptakan polusi konstruksi yang masif. Debu konstruksi bercampur dengan emisi kendaraan di jalan-jalan macet seperti Margonda Raya dan Sawangan menciptakan udara yang hampir tidak layak hirup.
Para mahasiswa Universitas Indonesia, Universitas Gunadarma, dan puluhan perguruan tinggi lainnya kini belajar sambil menghirup racun setiap hari. Belum lagi jutaan komuter yang setiap pagi dan sore melewati Depok menuju Jakarta, menambah beban polusi yang sudah mencapai titik kritis.
Bekasi – Status Tidak Sehat

Konsentrasi PM2.5 42.5 μg/m³ atau 8.5 kali lipat batas WHO. Bekasi adalah “jantung industri” Jabodetabek yang memompa polutan ke seluruh wilayah metropolitan. Kawasan Cikarang saja menampung lebih dari 3.000 pabrik dari berbagai negara.
Dari pagi hingga malam, cerobong asap pabrik-pabrik di MM2100, Delta Silicon, EJIP, dan Jababeka tidak pernah berhenti mengeluarkan emisi. Ribuan truk kontainer yang mengangkut barang dari dan ke Tanjung Priok setiap hari melewati jalan-jalan Bekasi, menciptakan kabut asap yang terlihat jelas dari satelit.
Penduduk Bekasi, terutama di kawasan Cikarang, Tambun, dan Cibitung, hidup di tengah “hutan industri” yang mengubah langit biru menjadi abu-abu permanen. Anak-anak yang bermain di halaman rumah sebenarnya sedang bermain di tengah gas beracun yang konsentrasinya hampir 9 kali lipat batas aman.
DKI Jakarta – Ibu Kota Berpolusi

Meski bukan yang terburuk, Jakarta tetap mencatat PM2.5 31.2 μg/m³ atau 6 kali lipat batas WHO. Paradoks ibu kota: memiliki program lingkungan paling ambisius namun tetap gagal memberikan udara bersih bagi 10 juta warganya.
Jakarta memang telah berupaya dengan berbagai program seperti Transjakarta, ganjil-genap, dan car free day. Namun kepadatan ekstrem dengan lebih dari 15.000 jiwa per km² menciptakan tekanan polusi yang sulit diatasi. Gedung pencakar langit yang menjulang tinggi justru menciptakan efek “canyon” yang memerangkap polutan di permukaan jalan.
Dari Monas hingga Thamrin, dari Sudirman hingga Kuningan, tidak ada tempat di Jakarta yang benar-benar aman dari ancaman PM2.5. Bahkan di kawasan elite seperti Menteng dan Kebayoran Baru, udara yang dihirup tetap 6 kali lebih berbahaya dari standar kesehatan international.
Bogor – Relatif Lebih Baik

Kondisi “terbaik” di antara wilayah Jabodetabek dengan PM2.5 25.0 μg/m³, namun tetap 5 kali lipat batas WHO. Ironi pahit bahwa kota yang dijuluki “Kota Hujan” dengan Kebun Raya yang hijau dan sejuk ternyata tetap memiliki udara berbahaya.
Meski memiliki curah hujan tinggi dan ruang terbuka hijau terluas di Jabodetabek, Bogor tidak luput dari “serangan” polusi regional. Setiap weekend, jutaan wisatawan Jakarta berdatangan dengan kendaraan pribadi, mengubah kota sejuk ini menjadi lautan kemacetan. Puncak dan sekitarnya yang dulu menjadi paru-paru Jabodetabek kini juga terancam polusi dari aktivitas pariwisata massal.
Yang lebih memprihatinkan, penduduk Bogor yang merasa tinggal di “kota hijau” seringkali tidak menyadari bahwa mereka tetap menghirup udara berbahaya setiap hari. Angka 25.0 μg/m³ tetap berarti 5 kali lipat lebih berbahaya dari standar aman WHO.
Analisis Penyebab Polusi Per Wilayah

Tangerang Selatan: Pembangunan masif kompleks perumahan dan perkantoran, ditambah kemacetan di jalan-jalan utama seperti Serpong dan BSD menjadi penyebab tingginya polusi.
Tangerang: Konsentrasi kawasan industri di Cikupa, Benda, dan sekitar Bandara Soekarno-Hatta menghasilkan emisi besar, ditambah lalu lintas logistik yang padat.
Depok: Pertumbuhan penduduk pesat dan pembangunan infrastruktur seperti LRT dan jalan tol menciptakan polusi konstruksi dan kendaraan yang tinggi.
Bekasi: Sebagai kawasan industri terbesar, emisi dari ribuan pabrik tekstil, otomotif, dan manufaktur lainnya di Cikarang dan MM2100 mendominasi polusi udara.
Jakarta: Meski memiliki program Transjakarta dan pembatasan kendaraan, kepadatan aktivitas perkotaan dan gedung-gedung tinggi menciptakan efek “urban heat island” yang memperburuk kualitas udara.
Bogor: Walau memiliki lebih banyak area hijau, polusi dari kendaraan wisata dan aktivitas industri kecil tetap berkontribusi pada pencemaran udara.
Baca juga:
- Siap Hadapi Tantangan Hijau dengan Pelatihan Korporat ZonaEBT
- Kaum Muda Bali Rumuskan Gagasan Kebijakan untuk Bali Emisi Nol Bersih 2045
Polusi udara bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga berdampak pada ekonomi. Biaya pengobatan penyakit terkait polusi udara diperkirakan mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya. Selain itu, produktivitas pekerja menurun akibat gangguan kesehatan, dan sektor pariwisata juga terdampak karena kondisi udara yang tidak bersahabat.
makin tahu Indonesia Kondisi kualitas udara Jabodetabek yang memprihatinkan ini membutuhkan tindakan segera dan terkoordinasi. Tanpa upaya serius, krisis ini akan terus mengancam kesehatan 30 juta penduduk di wilayah megapolitan terbesar Asia Tenggara ini.
Nah Bagi sobat Zona EBT yang berada di kawasan jabodetabek tetap hati-hati dan selalu menjaga kesehatan agar tidak terkena dampam polusi yang sekarang sedang tidak sehat ini
#zonaebt #EBTHeroes #Sebarterbarukan #daruratudara
Referensi: