Ketahanan Energi Bali yang rapuh [Serial 1]
Berbicara akan Bali pasti kebanyakan orang akan langsung teringat akan pariwisata, keindahan alam dan kekayaan budayanya. Nama Bali sudah terkenal di seantero dunia internasional. Tidak diragukan lagi, banyak wisatawan domestik maupun internasional berbondong-bondong untuk berwisata ke Bali, entah sekedar untuk melepas penat akibat kerjaan atau akibat tuntutan kehidupan. Namun, awal 2020 terjadi bencana dahsyat yang mengguncang dunia, yang bermula dari Tiongkok. Ditemukannya kematian yang misterius yang pada akhirnya diketahui disebabkan oleh Virus bernama Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Lambat laun menyebar ke seluruh penjuru dunia tanpa terkecuali Indonesia.
Salah satu provinsi yang paling terpukul dari dampak pandemi COVID-19 ini yaitu BALI, menurut data, turunnya turis internasional ke Bali mencapai 95 persen. Dampaknya kepada jutaan warga Bali yang menggantungkan hidup dari sektor pariwisata. Data dari Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali menyatakan pariwisata Bali berpotensi merugi hingga Rp138,6 triliun atau US$9 miliar (mengacu pada kurs Rp15.400 per dolar AS) akibat pandemi virus Corona. Parahnya lagi 60% dari pendapatan masyarakat Pulau Dewata berasal dari sektor tersebut, menurut Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati.
Baca juga:
- Peran Tenaga Mikro Hidro dalam Bauran Energi Terbarukan
- Mahasiswa Teknik Mesin Universitas Udayana damping masyarakat Desa Balimbing dalam pengolahan sampah berbasis sumber melalui budidaya Maggot BSF
Pengalaman penulis melihat kondisi Kota Bali sepanjang 2020-2021 yaitu kemacetan (tanda laju ekonomi) yang biasa ada di kawasan pusat pariwisata Bali selatan, tiba tiba menjadi lengang bak jalan sirkuit. Toko dan kantor yang berafiliasi dengan sektor pariwisata tutup dan karyawan di PHK besar-besaran. Situasi yang paling unik, semenjak adanya pandemi Covid 19 itu, banyak ditemukan warga yang berjualan dengan mobil pribadi (plat hitam) berjejer di pinggir jalan. Biasanya mereka menjual pangan seperti buah dan makanan ada juga yang menjual tisu, perlengkapan upacara dan paling unik menjual ikan cupang. Sekarang ekonomi berputar pada kalangan bawah. Turun kejalan langsung untuk berjualan. Brand-brand fast food semua sekarang berjualan di pinggir jalan dan bersaing dengan pedagang kaki lima serta penjualan dengan mobil (food cars).
Bila diartikan ekonomi dan aktivitas Bali sedang mengalami vakum (berhenti sejenak). Ada satu objek penting yang tidak terdengar isunya dulu semasih gemerlap pariwisata Bali megah. Sektor energi (oksigen untuk pertumbuhan ekonomi) Bali yang rapuh, bukan menjadi prioritas yang utama bagi pemerintah. Mari kita bedah kuota energi Bali khususnya untuk listrik. Bali memiliki daya listrik berkisar 1.274 MW yang didapatkan dari sejumah pemasok. Kondisi kelistrikan tersebut didapat dari PLTU Celukan Bawang sebesar 380 MW, PLTG Pesanggaran 344 MW, PLTG Gilimanuk 130 MW, dan PLTU Pemaron 80 MW. Uniknya sebanyak 340 MW berasal Jawa via transmisi kabel laut Jawa Bali. Jadi dari total tersebut 30% energi listrik Bali masih dipasok dari Jawa via Jawa-Bali Connection (JBC). Sumber energinya PLTU Paiton Jawa Timur (total kapasitas daya 4.600 Mw).
Sementara itu menurut penuturan Priyanto, General Manager (GM) PLN Unit Induk Distribusi (UID) Bali menyebut beban puncak listrik di Bali selama masa pandemi mengalami penurunan menjadi 640-660 Megawatt (MW) atau turun sekitar 30% dari catatan beban puncak pada tahun 2019 sebesar 980 MW. Data tahun 2019 jumlah pelanggan PLN untuk bali mencapai lebih dari 1.4 juta.
Baca juga:
- KULIK PERKEMBANGAN NUKLIR DI INDONESIA MENUJU NET ZERO EMISSION
- PENGOLAHAN SAMPAH MENJADI RDF BERIKAN DAMPAK POSITIF BAGI LINGKUNGAN
Daya energi listrik Bali terbalut kabel kerapuhan yang lapuk. Ditunggangi oleh para oligarki dan petinggi yang gila uang dan jabatan. Suatu waktu bisa saja kabel putus di tengah jalan. (Selain kisah cinta, kabel listrik juga bisa putus). Mengingat kondisi Selat Bali yang memiliki arus laut yang kuat. Bila kondisi tersebut terjadi, kita akan kembali lagi pada masa pemadaman bergilir (biarpet) atau bahkan lebih buruknya gelap total.
Seperti yang sering diungkapkan oleh tokoh RA Kartini, “Habis gelap terbitlah terang”. Bali Harus dan berupaya agar tidak sampai gelap dulu baru memikirkan alternatif solusi agar terang kembali. Sama seperti kondisi pariwisata, Bali terlalu mengagungkan sektor wisata sampai lupa ada sektor yang sama pentingnya secara ekonomi. Datangnya pandemi COVID-19 mengakibatkan ambruknya pariwisata dan efeknya Bali menjadi pincang. Baru saat ini, Bali menoleh kanan dan kiri selain pariwisata, melihat sektor pertanian, perikanan, peternakan, pabrik pengolahan, digital dll. Adanya rumor pepatah, saat kita mengalami musibah baru kita berpikir untuk mencari solusinya tapi dengan kondisi teranggap anggap. Kenapa waktu kita dalam kondisi prima tidak memikirkan mencari solusi permasalahan akut ini?
Kondisi sekarang (Mei 2021) merupakan momentum kebangkitan swasembada energi bagi Pulau Bali. Mari upayakan bersama gotong royong, keroyokan. Sekarang saatnya era kolaborasi pemerintah, akademisi kampus, swasta dan masyarakat. Ayo rangkul bersama hasilkan sebuah solusi untuk rapuhnya ketahanan energi listrik Bali. Kalau bisa solusinya berlandas dari energi EBT yang bersih. Memanfaatkan potensi lokal yang ada, seperti energi surya yang berlimpah ruah, Micro Hydro, biomasa, energi panas bumi dll.
Kita Bisa “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” mewujudkan Bali era yang baru (bebas energi listrik berbahan fosil) !!.
Tulisan ini merupakan serial berlanjut yang pertama dari “Menjaga kesucian dan keharmonisan Alam Bali beserta isinya, melalui pemanfaatan energi EBT”.
Tunggu serial berikutnya yang tentunya akan menarik dan mengupas hal-hal terkait energi EBT di Bali.
#listrik #ebt #energi #power #terbarukan #bank #bumn #pln #esdm #p2p #ev #custom #bali #umkm #pv