Hanya di Surabaya Sampah Bisa Menjadi Listrik

Berbicara akan persampahan di Indonesia tidak akan pernah habisnya. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengakui bahwa pada tahun 2020 total produksi sampah nasional telah mencapai 67,8 juta ton. Artinya, ada sekitar 185.753 ton sampah setiap harinya dihasilkan oleh 270 juta penduduk atau setiap penduduk memproduksi sekitar 0,68 kilogram sampah per hari. Angka yang spektakuler jika tidak dikelola dengan bijak, justru akan menjadi bencana untuk kita semua.

Maka dari itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Surabaya, Jawa Timur 6 Mei 2021. PLTS (sampah) ini berada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo, Surabaya.

Jokowi pun mengapresiasi langkah cepat yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya untuk mewujudkan PLTSa ini. Kota Surabaya menjadi kota pertama yang berhasil mengoperasikan PLTSa, dari sejumlah daerah yang telah ditunjuk melalui Perpres No. 35 Tahun 2018.

Dihubungi terpisah, menurut Walikota Surabaya Eri Cahyadi menjelaskan, TPA Benowo sudah beroperasi sejak 2001, di mana sampah yang masuk mencapai 1.600 ton per hari, dengan luas lahan 37,4 hektar. Penuturannya melalui kontan.co.id

Pengelolaan PLTS (sampah) ini menggandeng mitra swasta yaitu PT Sumber Organik dengan output kerja sama mampu menghasilkan energi listrik sebesar 11 MW. Rincian sebesar 2 MW dari landfill gas power plant dan 9 MW berasal dari gasifikasi power plant.

Adapun tarif listrik dari PLTSa Landfill Gas adalah Rp 1.250 per kWh, sementara PLTSa Gasifikasi sebesar US$ 13,35 sen per kWh. Total investasi dari pembangunan PLTSa Gasifikasi Benowo mencapai US$ 54,2 juta atau Rp 704,4 miliar. Sampah yang diolah untuk PLTSa Gasifikasi ini sebesar 1.000 ton per hari.

Baca juga:



Proyek pengolahan sampah dalam rencananya akan dikembangkan di 12 kota lainnya. Melalui Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2018, PLTS (sampah) masuk ke dalam proyek strategis nasional atau PSN. 12 kota terpilih di antaranya DKI Jakarta, Tanggerang, Tanggerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang dan Manado.

Indikasi pemborosan uang negara

Dilansir dari katadata.co.id Komisi pemberantasan korupsi atau KPK menemukan adanya kejanggalan dalam proyek tersebut. Menurut keterangan dari Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyebutkan nilai efisiensi proyek itu mencapai 3,6 triliun. Hal ini terjadi karena program PLTS (sampah) dibebankan kepada pemerintah daerah. Dan adanya skema take or pay untuk pembelian listrik dari swasta cukup memberatkan PLN.

Pahala menyebutkan salah satu kepada daerah menyatakan keberatan dengan proyek itu. Pasalnya, Setiap satu ton sampah yang disetor oleh swasta, pemerintah daerah harus merogoh kocek sekitar 310 ribu. Sementara jumlah yang dihasilkan mencapai 1.400 ton per hari. PLN pun wajib membayar listrik yang berasal dari PLTS (sampah). Padahal, belum tentu tegangannya sesuai dengan ketentuan berlaku.

Baca juga:



Sumber alternatif lainnya

Biaya mengumpulkan sampah dari rumah tangga hingga ke tempat pengolahan sampah atau tipping fee dapat memberatkan anggaran daerah (APBD). KPK menyarankan pemerintah dapat mengganti program tersebut agar lebih efisien. Caranya sampah tersebut diolah menjadi pellet refuse derived fuel alias RDF. Bahan bakar ini kemudian dapat mengganti batubara di pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU. Data dari katadata.co.id kebutuhan batubara dalam pembangkit listrik PLN sekarang ini mencapai 110 juta ton per tahun.

Dengan mencampur RDF ke dalam bahan bakar PLTU alias co-firing kurang lebih 3-5% dari total volume batubara. PLN mampu membayar sekitar Rp 500 rb per ton.

Skema yang bisa dijadikan acuannya yaitu: 1. Pemda mengangkut sampah ke tempat pembuangan akhir 2. Sampah diolah menjadi RDF atau pellet refuse derived 3. Hasil pengolahan tersebut selanjutnya dijual ke pabrik semen atau PLTU dengan harga di bawah batubara.

Diharapkan dengan adanya skema tersebut. Beban anggaran pemda tidak bocor sebesar tipping fee karena biaya pengolahannya dikurangi dengan hasil penjualan RDF. PLN juga tidak perlu membeli listrik mahal dari PLTS (sampah), jadinya tidak membebani keuangan perusahaan.

Tindakan kecil pengelolaan sampah berbasis sumber (rumah tangga)

Komposisi sampah di Indonesia berdasarkan jenis

Data dari databoks

Salah satu daerah yang memiliki kebijakan terkait pengolah sampah berbasis di sumber yaitu Bali. Usaha yang telah dilakukan oleh Gubernur Bali yang diapresiasi secara nasional maupun internasional tertuang dalam Pergub No. 97 tahun 2018 dan Pergub No. 47 tahun 2019 yang mengedepankan pengolahan sampah berbasis di sumber.

Menurut keterangan dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) yang dilansir dari Balebengong.id “Sampah adalah tanggung jawab setiap individu. Tindakan paling mendesak untuk dilakukan adalah pengurangan produk baru agar tidak ada sampah baru,” imbuh Catur. Hal ini sudah tertuang dalam Pergub No. 97 tahun 2018 tentang pengurangan timbulan plastik sekali pakai. Jika ada sampah, segera pilah dan daur ulang. Dengan begitu kita tidak perlu menggunakan incenerator karena akan merugi baik secara ekonomi, kesehatan dan lingkungan serta jadi monumen. Biaya membangun PLTS (sampah) sangat mahal. Lebih baik digunakan untuk biaya edukasi masyarakat dan memfasilitasi 70% desa desa yang masih belum memiliki TPST.

Salah satu yang berhasil melakukan kegiatan zero waste cities sebagai contoh adalah komunitas Ibu-ibu di Gang Sari Dewi, Banjar Tegeh Sari, Denpasar Utara.

Sampah akan menjadi bencana jika tidak dikelola dengan benar. Sampah bisa juga menjadi sumber cuan jika kita benar mengelolanya.

#PLTSampah #sampah #TPA #RDF #Surabaya #Bali #EBT #Batubara #sampahorganik #Jokowi #listrik #PLN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 Comment