
- Great Pacific Garbage Patch atau pusaran sampah di Samudera Pasifik kini menjadi rumah bagi berbagai organisme laut yang hidup berdampingan dengan plastik dan limbah manusia.
- Zona ini terbentuk akibat arus laut besar bernama gyre Pasifik Utara yang menjebak jutaan ton sampah plastik dan menciptakan kondisi laut yang unik namun mencemaskan.
- Jurnal PLOS Biology 2021 menemukan keanekaragaman hayati neuston organisme yang hidup di permukaan laut di kawasan ini justru tinggi, seperti naga laut biru dan ubur-ubur pelagik.
- Sayangnya, keberadaan ekosistem ini juga menandakan parahnya pencemaran laut akibat aktivitas manusia, dan menimbulkan risiko tinggi bagi predator laut seperti paus dan burung laut.
- Inisiatif seperti The Ocean Cleanup berusaha mengurangi dampak ini, tetapi ancaman kontaminasi plastik terhadap rantai makanan laut terus meningkat.
Polutan seperti sampah dan limbah banyak dibuang sembarangan ke lingkungan, baik dalam bentuk timbunan di daratan maupun dialirkan melalui sungai ke laut. Hal ini mengakibatkan pencemaran air dan tanah, sehingga lingkungan menjadi beracun bagi tumbuhan dan hewan. Akumulasi polutan ini dapat menimbulkan berbagai penyakit, bahkan menyebabkan kematian.
Sayangnya, kondisi ini memaksa banyak spesies untuk beradaptasi secara cepat. Namun, tidak semua spesies mampu beradaptasi terhadap tingkat toksisitas yang tinggi, sehingga hanya sedikit yang dapat bertahan hidup. Akibatnya, keanekaragaman hayati menurun, dan spesies invasif berpotensi meningkat dan mendominasi.
Baca Juga
- Pulau Sampah Samudera Pasifik, Sebuah Jejak Peradaban Manusia
- Bukan Sekadar Sampah: Inilah 3 Plastik Paling Mematikan di Laut
Mirisnya, banyak spesies kini harus hidup berdampingan dengan limbah buatan manusia, salah satunya adalah plastik yang mencemari lautan. Tumpukan plastik ini terkonsentrasi dan membentuk ekosistem semu berupa kumpulan sampah raksasa yang dikenal sebagai Great Pacific Garbage Patch, yaitu pusaran sampah plastik yang mengambang di Samudra Pasifik.
Terbentuknya Great Pacific Garbage Patch
Dilansir dari National Geographic, Great Pacific Garbage Patch yang juga dikenal sebagai Pusaran Sampah Pasifik, merupakan akumulasi sampah buatan manusia yang terkonsentrasi di Samudra Pasifik Utara. Pusaran ini terbentuk di perairan antara pantai barat Amerika Utara dan Jepang akibat pergerakan arus laut.
Pergerakan arus ini dikenal dengan istilah gyre, yaitu sistem arus melingkar yang besar di lautan. Terdapat lima gyre utama di dunia, namun yang terbesar dan paling banyak mengumpulkan puing-puing sampah adalah Gyre Subtropis Pasifik Utara (North Pacific Subtropical Gyre/NPSG). Area ini kemudian membentuk Zona Konvergensi Subtropikal, tempat bertemunya arus-arus laut yang menyebabkan sampah mengumpul dalam jumlah besar.

Gyre Subtropis Pasifik Utara berputar searah jarum jam. Perputaran ini terjadi akibat pertemuan antara massa air hangat dari Pasifik Selatan yang bergerak ke arah utara dan bertemu dengan massa air dingin dari Kutub Utara.
Peran arus laut utama di Samudra Pasifik juga sangat besar dalam membentuk gyre ini. Beberapa arus yang berkontribusi di antaranya adalah Arus California di dekat Hawaii dan pesisir California, Amerika Serikat, Arus Khatulistiwa Utara di timur laut Mikronesia, Arus Kuroshio di lepas pantai Jepang, serta Arus Pasifik Utara.
Gyre ini berfungsi seperti perangkap alami bagi sampah-sampah laut, sehingga terbentuk dua akumulasi besar dengan satu di bagian timur dekat California, dan satu lagi di bagian barat dekat Jepang. Sementara itu, di bagian tengah Zona Konvergensi Subtropikal, arus laut cenderung tenang dan stabil. Kondisi inilah yang menyebabkan banyak sampah tetap mengapung dan terkumpul di pusat pusaran atau gyre tersebut.
Ekosistem Sampah Terbesar di Samudera
Pada tahun 2021, para peneliti mengungkap temuan menarik tentang Gyre Subtropis Pasifik Utara (NPSG), khususnya mengenai jenis makhluk hidup yang mendiami zona ini. Awalnya, mereka mengira hanya organisme seperti moluska (misalnya teritip) dan cnidaria (seperti ubur-ubur) yang dapat hidup di sana. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa spesies yang ditemukan jauh lebih beragam. Beberapa di antaranya adalah naga laut biru (Glaucus sp.) dan berbagai spesies lainnya.
Studi ini diterbitkan dalam jurnal PLOS Biology dan dilakukan pada musim panas tahun 2019 selama 80 hari. Ekspedisi tersebut awalnya bertujuan untuk meneliti spesies neuston, yaitu organisme yang hidup di permukaan laut, dengan rute pelayaran dari Honolulu, Hawaii hingga San Francisco, California.
Berdasarkan laman ScienceDirect.com, neuston adalah kumpulan organisme yang hidup di lapisan permukaan air. Organisme ini memperoleh energi dari cahaya matahari dan oksigen di udara, serta bergantung pada arus laut untuk berpindah tempat.
Jenis-jenis neuston sebenarnya dapat ditemukan pula di perairan sekitar kita, seperti serangga air, krustasea, plankton, serta beberapa jenis rumput laut atau vegetasi air lainnya.
Salah satu peneliti yang mengungkap tingginya keanekaragaman hayati neuston di kawasan NPSG adalah Rebecca R. Helm dari Departemen Biologi, University of North Carolina Asheville. Ia menemukan bahwa keanekaragaman spesies neuston di pusat pusaran NPSG lebih tinggi dibandingkan dengan bagian pinggirnya.
Hasil penelitian mereka menunjukkan adanya berbagai variasi neuston, seperti Velella sp., Physalia sp., Janthina sp., Porpita sp., dan Glaucus sp. Menariknya, keanekaragaman ini berkorelasi dengan tingginya konsentrasi sampah plastik di wilayah tersebut.

Korelasi yang berbanding lurus ini memperkuat bukti yang telah ditemukan dalam berbagai penelitian sebelumnya. Studi lain menunjukkan bahwa neuston dan organisme di dalamnya merupakan indikator utama pencemaran lingkungan di wilayah tersebut. Seperti halnya plankton, flora dan fauna, neuston dipengaruhi oleh kondisi air serta gangguan lingkungan yang terjadi dari waktu ke waktu.
Rebecca R. Helm juga menyetujui, bahwa tingginya keanekaragaman neuston berkaitan dengan limbah dan polutan buatan manusia yang terjebak di NPSG. “Neuston mengalami gaya oseanografi yang sama dengan sampah terapung. Polutan dan limbah manusia juga digerakkan oleh arus tersebut, sehingga keduanya terkonsentrasi di Garbage Patch,” jelas Helm.
Lebih jauh, Helm menilai bahwa Great Pacific Garbage Patch kini bukan sekadar kumpulan sampah manusia, melainkan telah menjadi sebuah ekosistem yang memilukan.
“Ini adalah sebuah ekosistem, bukan karena plastiknya, tetapi terlepas dari plastik,” ujar Helm, penulis pertama dalam jurnal tersebut.
Kekhawatiran pada Spesies Lainnya
The Ocean Cleanup Foundation memperkirakan bahwa setiap tahun setidaknya 1,15 juta ton hingga 2,41 juta ton plastik dari sungai masuk ke laut. Plastik yang sulit terurai ini kemudian mengalami proses fotodegradasi, yaitu terpecah menjadi kepingan-kepingan kecil akibat paparan sinar matahari.
The Ocean Cleanup juga mengungkap bahwa sejak perhitungan dilakukan pada tahun 1970, jumlah plastik yang masuk ke setiap tumpukan sampah laut terus meningkat dibandingkan jumlah plastik yang keluar. Hal ini mendorong tim The Ocean Cleanup, untuk mengklasifikasikan sampah plastik berdasarkan ukurannya di wilayah North Pacific Subtropical Gyre (NPSG) guna mempermudah proses identifikasi dan penanganan.
Klasifikasi tersebut mencakup:
- Mikroplastik (0,05 – 0,5 cm),
- Mesoplastik (0,5 – 5 cm),
- Makroplastik (5 – 50 cm), dan
- Megaplastik (lebih dari 50 cm).
Berdasarkan sistem predasi, organisme neuston menempati tingkat trofik paling rendah, yang artinya mereka menjadi makanan bagi predator laut seperti ikan besar. Para peneliti mengkhawatirkan, bahwa keberadaan ekosistem yang dipenuhi sampah ini dapat meningkatkan risiko kontaminasi plastik ke rantai makanan yang lebih tinggi, termasuk pada mamalia laut, ikan besar, dan burung laut.

Dikutip dari laman waste4change.com (14/11/2022), dalam penelitian sebelumnya, The Ocean Cleanup berhasil merekam citra empat belas ekor cetacea di wilayah North Pacific Subtropical Gyre (NPSG). Pengamatan ini dilakukan menggunakan data citra satelit dan teknologi LIDAR (Light Detection and Ranging) yang dikumpulkan sejak tahun 2016.
Baca Juga
Diketahui, setidaknya terdeteksi sebanyak 1.280 potong puing berukuran lebih dari 50 cm di wilayah NPSG yang berpotensi termakan oleh mamalia laut besar. Jenis sampah tersebut meliputi jaring hantu, alat pancing, kantong plastik, serta berbagai limbah lainnya yang sulit terurai.
Lebih mengkhawatirkan lagi, dalam citra tersebut tampak empat paus sperma, termasuk induk dan anak-anaknya, berenang beriringan di antara tumpukan sampah. Selain itu, teridentifikasi pula keberadaan tiga paus berparuh, dua paus balin, dan lima cetacea lainnya.
Sebagai langkah antisipasi, The Ocean Cleanup mengembangkan teknologi baru untuk menangkap dan mengurangi sampah laut. Pada Agustus 2021, mereka meluncurkan perangkat skala besar bernama System 002. Sejak peluncurannya, alat ini telah berhasil mengumpulkan sekitar 101.353 kilogram plastik dan membersihkan area seluas 3.000 kilometer persegi di Samudra Pasifik.
Kehadiran Great Pacific Garbage Patch menjadi bukti nyata bahwa dampak aktivitas manusia di darat dapat menjangkau hingga ke tengah samudra. Keanekaragaman hayati yang hidup berdampingan dengan sampah plastik, seharusnya menjadi peringatan bagi kita semua untuk bertindak. Upaya mitigasi seperti yang dilakukan The Ocean Cleanup penting untuk terus didukung, namun perubahan besar tetap bergantung pada kesadaran kolektif manusia dalam mengurangi produksi sampah dan menjaga ekosistem laut agar tetap lestari.
#zonaebt #sebarterbarukan #ebtheroes #KurangiPlastik #MengolahSampah
Editor : Alfidah Dara Mukti
Referensi:
[1] Perlahan, Sampah di Samudra Pacific Menurunkan Populasi Satwa Laut
[2] Host Of Wildlife Found Living It Up In The Great Pacific Garbage Patch
[3] Neuston
[4] Great Pacific Garbage Patch
[5] Sekelompok Paus Terlihat Berenang di ‘Pulau Sampah’ Samudra Pasifik