
- Abdul Halim, peraih Apresiasi Astra, berhasil mengubah kebiasaan buruk masyarakat Bireuen dalam mengelola sampah.
- Melalui inisiatif Bank Sampah, ia mengedukasi masyarakat, mengubah sampah menjadi komoditas ekonomi, dan mengurangi volume sampah di TPA.
- Programnya yang berbasis desa ini tak hanya menjaga lingkungan, tapi juga membuka peluang kerja dan meningkatkan pendapatan warga.
Isu sampah di Bireuen, Aceh, sudah menjadi masalah yang berlarut-larut. Tumpukan sampah yang memenuhi selokan dan pinggir jalan seolah menjadi pemandangan sehari-hari yang lumrah. Padahal, pemerintah daerah sudah memiliki regulasi khusus melalui Qanun No. 15 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah. Sayangnya, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan. Warga menganggap sampah sebagai sesuatu yang tidak berguna dan hanya menjadi tanggung jawab petugas kebersihan.
Namun, di tengah permasalahan yang tak kunjung usai, muncul seorang pemuda bernama Abdul Halim. Lulusan Universitas Malikul Saleh ini merasa terpanggil untuk menyelesaikan masalah di kota kelahirannya. Kegundahan ini menjadi pemicu baginya untuk mengambil langkah nyata. Setelah menamatkan kuliahnya di tahun 2015, ia memulai perjalanannya dengan bergabung bersama sebuah LSM lingkungan pada tahun 2017. Pengalaman pertamanya adalah saat berhasil menyelamatkan Sungai Peusangan dari tumpukan sampah, yang kemudian menguatkan keyakinannya bahwa masalah sampah bisa diselesaikan jika ada yang berani turun tangan.
Mewujudkan Aksi Nyata: Ide yang Sempat Ditolak Astra

Pada tahun 2019, Abdul Halim memberanikan diri mendaftarkan ide pengelolaan sampah ke program Apresiasi Astra. Namun, idenya kala itu masih berupa konsep dan belum ada aksi nyata. Astra ingin melihat sebuah bukti konkret yang mampu mengubah desa. Kegagalan ini tidak membuatnya patah semangat. Justru, ia menjadikan penolakan tersebut sebagai motivasi untuk segera mengimplementasikan idenya.
Halim berkeyakinan bahwa solusi permasalahan sampah harus dimulai dari akar, yaitu dari tingkat desa dan rumah tangga. Ia menggandeng Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) di Desa Blang Asan, Kecamatan Peusangan, Bireuen. Alasan memilih desa ini karena lokasinya yang strategis dan ramai, sehingga aktivitasnya menghasilkan volume sampah yang besar. Gerakan pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini pun dimulai. Dengan konsep 3R (Reuse, Reduce, Recycle), ia mengedukasi masyarakat tentang cara memilah sampah di rumah.
Awalnya, banyak warga yang skeptis, terutama terkait isu Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Masyarakat takut desa mereka akan menjadi jalur lalu-lintas truk sampah. Namun, Halim dengan sabar menjelaskan bahwa TPA yang ia maksud adalah Tempat Pemrosesan Akhir, yang berfokus pada pengolahan sampah, bukan hanya pembuangan.
Lahirnya Bank Sampah dan Dampak Positifnya
Pada 18 Desember 2021, kerja keras Abdul Halim membuahkan hasil. Bank Sampah pertama di Bireuen resmi berdiri di Desa Blang Asan. Program ini dimulai dengan partisipasi 30 keluarga, dan kini telah berkembang menjadi 65 keluarga.
Cara kerja Bank Sampah ini cukup sederhana namun efektif. Petugas Bank Sampah berkeliling desa dua kali seminggu menggunakan becak hibah dari DLHK Bireuen untuk mengumpulkan sampah yang sudah dipilah oleh warga. Sampah yang terkumpul kemudian dicatat dalam buku tabungan Bank Sampah. Sampah anorganik seperti botol plastik, kertas, dan logam dijual ke pihak ketiga atau diolah menjadi produk bernilai ekonomi, sementara sampah organik diolah menjadi pupuk. Hasil penjualan ini kemudian dialokasikan untuk operasional Bank Sampah dan menjadi insentif bagi warga.
Konsep ini berhasil mengubah cara pandang masyarakat. Mereka mulai menyadari bahwa sampah bukan lagi limbah tak berguna, melainkan komoditas ekonomi yang bisa menambah pendapatan keluarga. Hal ini juga membantu menekan volume sampah yang dibuang ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) utama.
Mengubah Tantangan Menjadi Peluang

Perjalanan Abdul Halim tidak selalu mulus. Kendala muncul, seperti saat harga satuan sampah menurun drastis menjelang akhir tahun 2022. Namun, ia dan timnya tidak menyerah. Mereka mencari cara lain, seperti mengubah sampah daur ulang menjadi produk kerajinan bernilai jual tinggi, seperti ecobrick, tas, dan bros.
Selain itu, Abdul Halim juga berhasil berkolaborasi dengan pengusaha lokal untuk mendirikan pabrik pengolahan sampah mandiri. Pabrik ini mengolah botol plastik menjadi biji plastik yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sekaligus membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
Dedikasi Abdul Halim dalam mengabdi pada desanya akhirnya mendapat pengakuan. Setelah mencoba lagi pada tahun 2021, ia berhasil meraih Apresiasi Astra Satu Indonesia Award tingkat Provinsi Aceh. Penghargaan ini menjadi bukti bahwa ketulusan dan kerja kerasnya telah memberikan dampak nyata.
Mimpi Besar untuk Bireuen
Meskipun telah meraih penghargaan, Abdul Halim merasa perjuangannya masih jauh dari selesai. Masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk mengatasi masalah sampah di Bireuen. Ia memiliki mimpi besar untuk memperluas program Bank Sampah ke desa-desa lain, tidak hanya terbatas di Desa Blang Asan dan Pulo Ara.
Baginya, pemerintah pusat dan daerah perlu membuka ruang bagi desa untuk mengelola sampahnya secara mandiri. Dengan dukungan regulasi yang kuat, pengelolaan sampah di tingkat desa dapat menjadi sumber pendapatan asli desa dan menciptakan lapangan kerja baru.
“Saya berharap, Pengelolaan sampah berbasis desa yang telah dilaksanakan di Blang Asan dapat diwujudkan ke desa lain di Kabupaten Bireuen, agar upaya pengurangan timbunan sampah di TPA dapat dicapai,” ungkap Abdul Halim.
Kisah Abdul Halim adalah bukti bahwa satu orang bisa menciptakan perubahan besar. Dari rasa gundah melihat kota kelahirannya dipenuhi sampah, ia berhasil membangun gerakan kolektif yang tak hanya menjaga lingkungan, tetapi juga memberdayakan masyarakat secara ekonomi.
SUMBER
[1] Abdul Halim, Berdayakan Desa dengan Bank Sampah ~ Catatan Pencerahan.