Dari Kerupuk ke Mikroplastik: Jejak Ikan Sampah di Sungai Musi

Illustrasi Kerupuk Dari Ikan Sampah di Sungai Musi, Sumatera Selatan. Sumber: Illustrasi Zonaebt.
  • Kerupuk dan pempek khas Sumatera kini banyak dibuat dari “ikan sampah” karena langkanya ikan endemik seperti belida dan putak akibat tekanan lingkungan.
  • Ikan sampah adalah sekumpulan ikan-ikan kecil yang tidak sengaja tertangkap jala nelayan dan terdiri dari berbagai jenis ikan. Namun kini jadi bahan pangan alternatif masyarakat.
  • Masalah lingkungan menghantui sungai dan pesisir Sumatera Selatan. Terutama limbah perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri, dan industri lainnya membuat ikan air tawar rusak.
  • Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) bersama Telapak Sumatera Selatan dan Spora meneliti pencemaran air Sungai Musi di tahun 2022, didapatkan setiap 100 liter air Sungai Musi ditemukan 355 partikel mikroplastik.

Kerupuk, kemplang, dan pempek merupakan makanan yang sangat digemari di Indonesia. Bagi sebagian masyarakat, kerupuk dan kemplang bahkan menjadi pelengkap wajib dalam menu makanan sehari-hari.

Tingginya minat masyarakat terhadap makanan ini, membuat produksi kerupuk ikan skala rumah tangga memiliki peluang yang cukup cerah. Usaha ini pun dapat menjadi salah satu sumber penghasilan bagi masyarakat.

Namun demikian, muncul pula kekhawatiran lain. Kebutuhan ikan sebagai bahan utama pembuatan kerupuk dan sejenisnya terus meningkat, sehingga dikhawatirkan dapat mengancam ketersediaan ikan, terutama di wilayah Sumatera.

Baca Juga



Sumatera Selatan dulunya menggunakan ikan belida dan ikan putak sebagai bahan utama pembuatan kerupuk. Tetapi kini, kedua jenis ikan tersebut tidak lagi digunakan, karena telah masuk dalam daftar satwa yang dilindungi demi upaya pelestarian. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk beralih ke jenis ikan lain yang lebih murah, yang sering disebut sebagai “ikan sampah”.

Ikan Sampah

Meski namanya terdengar negatif, “ikan sampah” sebenarnya merujuk pada sekumpulan ikan kecil yang tidak sengaja tertangkap oleh jala nelayan dan terdiri dari berbagai jenis. Ikan-ikan ini umumnya tidak dipilah setelah ditangkap, serta memiliki nilai ekonomi yang sangat rendah sehingga dijual dengan harga murah.

Menurut Mongabay Indonesia (09/09/2023), istilah “ikan sampah” di Sumatera Selatan memiliki pengertian yang lebih spesifik. Sebutan ini mengacu pada ikan berukuran kecil yang memiliki banyak duri berbentuk huruf “Y” di bagian dagingnya.

Beberapa contoh ikan yang termasuk dalam kategori ini antara lain ikan seluang (Rasbora spp.), ikan sepat (Trichogaster spp.), ikan betino (Labiobarbus leptocheilus), ikan lumajang (Cyclocheilichthys enoplos), ikan betok (Anabas testudineus), dan ikan selincah (Belontia hasselti).

Ikan Seluang Spesies Rasbora Myersi. Sumber: Flickr/Mohd Arif

Namun, terdapat pula jenis ikan lain yang memiliki duri berbentuk huruf “Y” di dagingnya, tetapi tidak termasuk dalam kategori “ikan sampah”. Ikan tersebut adalah ikan belida Sumatera (Chitala hypselionatus) dan ikan putak atau belida Jawa (Notopterus notopterus). Kedua ikan ini dulunya merupakan bahan utama dalam pembuatan kerupuk, kemplang, dan pempek.

Selain digunakan sebagai bahan baku kerupuk dan pempek, ikan sampah juga sering dikeringkan untuk dijadikan ikan asin, ikan asap, maupun pekasem.

Dikutip dari Femina.co.id dalam artikel “Mengulik Bumbu Dapur Batak”, ikan sampah telah lama menjadi bagian dari kuliner khas masyarakat Batak, khususnya di wilayah Medan dan sekitarnya. Umumnya, ikan ini diolah menjadi ikan asin, lalu digoreng dan disajikan dengan bumbu cabai balado yang khas.

Makanan Dari Masalah Lingkungan

Menurut Taufik Wijaya, pengamat budaya dan lingkungan hidup Sumatera Selatan, dalam pernyataannya kepada Mongabay Indonesia (16/04/2025), penurunan populasi ikan yang biasa digunakan untuk membuat penganan seperti kerupuk, kemplang, dan pempek telah menyebabkan masyarakat kelas bawah semakin terpuruk secara ekonomi dan terpaksa beralih ke ikan sampah.

Untuk menekan angka penangkapan ikan, pemerintah melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 menetapkan jenis-jenis ikan yang dilindungi, termasuk di dalamnya ikan belida Sumatera dan belida Jawa. Kebijakan ini diambil karena populasi kedua spesies tersebut terus menurun dan terancam punah.

“Masyarakat hari ini banyak mencari ikan-ikan sampah. Disebut ‘ikan sampah’ karena tidak punya nilai ekonomi tinggi, tidak enak dimakan, dan banyak tulang. Sekarang masyarakat beralih memakan ikan laut yang harganya mampu dibeli masyarakat,” ungkap Taufik di Bincang Alam Menjaga Lahan Basah, Melestarikan Cita Rasa Kuliner Ramadhan, 27 Maret 2025 lalu.

Selain penurunan populasi ikan, masalah lingkungan lainnya juga menghantui wilayah sungai dan pesisir Sumatera Selatan. Limbah dari perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan berbagai aktivitas industri lainnya telah mencemari perairan dan merusak habitat ikan air tawar.

Proses Pengeringan Kemplang di Sumatera Selatan. Sumber: RMOL Sumsel.

Dr. Muhammad Iqbal, peneliti biologi dari Universitas Indo Global Mandiri (IGM) Palembang, dalam wawancaranya dengan Mongabay Indonesia, mengungkapkan bahwa pencemaran di Sungai Musi telah meningkat selama 20 tahun terakhir. Dugaan terkuat menyebutkan bahwa pencemaran tersebut berasal dari limbah berbagai industri, termasuk PT Pupuk Sriwijaya, Pertamina Plaju, perusahaan getah karet, pabrik minyak sawit, aktivitas pertambangan batubara, perkebunan sawit, tambang emas, tebu, karet, serta limbah rumah tangga.

Kondisi ini pada akhirnya turut memicu krisis ikan air tawar di alam liar, yang ditandai dengan penurunan populasi dan berkurangnya keanekaragaman spesies di wilayah tersebut.

“Banyak daerah yang sebelumnya sebagai sentra ikan air tawar, kini mengalami krisis ikan dari alam,” ujar Iqbal pada Mongabay Indonesia (09/09/2023).

Mikroplastik Menghantui

Salah satu masalah yang paling mengkhawatirkan saat ini adalah keberadaan mikroplastik dalam tubuh ikan. Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) bersama Telapak Sumatera Selatan dan Spora melakukan penelitian terhadap pencemaran air di Sungai Musi pada tahun 2022.

Hasil riset menunjukkan bahwa dalam setiap 100 liter air Sungai Musi ditemukan rata-rata 355 partikel mikroplastik. Jenis mikroplastik yang paling dominan adalah fiber atau serat benang. Selain itu, Sungai Musi juga mengandung berbagai polutan berbahaya seperti mangan sebesar 0,2 ppm dan tembaga sebesar 0,06 ppm, yang melebihi batas aman maksimum 0,03 ppm per liter. Kandungan klorin dan fosfat yang tinggi juga turut memperparah pencemaran.

Menurut Jurnal Emerging Contaminants di ScienceDirect (Desember 2024), akumulasi mikroplastik dapat berdampak signifikan terhadap kesehatan satwa liar, terutama sistem reproduksi mamalia dan hewan perairan. Diketahui pula bahwa bahan kimia dalam plastik dapat menurunkan tingkat keberhasilan reproduksi pada sejumlah spesies.

Baca Juga



Hal ini turut tergambar dalam penelitian yang dilakukan oleh Moh. Rasyid Ridho dan Enggar Patriono pada tahun 2017, berjudul “Keanekaragaman Jenis Ikan di Estuaria Sungai Musi, Pesisir Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.”

Penelitian tersebut mencatat bahwa lahan basah Sungai Musi dihuni oleh 620 jenis ikan air tawar, yang mewakili sekitar 13 persen dari total 4.748 jenis ikan yang ada di Indonesia. Namun, banyak dari jenis-jenis ikan tersebut kini dilaporkan menghilang atau bahkan telah punah.

Menanggapi isu pencemaran perairan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, dalam acara Pencanangan Bulan Mutu Karantina (BMK) 2023 di Semarang, Jawa Tengah, pada Minggu (19/3), menekankan pentingnya perhatian terhadap bahaya mikroplastik bagi ekosistem perairan.

Meskipun lahan basah Sungai Musi bukan lagi surganya ikan tawar sebagian warga tetap menggantungkan hidupnya dari hasil ikan. Sumber: Mongabay Indonesia/Nopri Ismi.

“Kualitas atau penjaminan mutu produk perikanan harus dilakukan dari hulu ke hilir. Dimulai dari produksi hingga sampai ke tangan konsumen, ini menjadi penting, khususnya melindungi sumber daya hayati ikan kita agar tetap sehat, bermutu dan bebas mikroplastik,” ujar Menteri Trenggono dikutip di laman Mongabay Indonesia (29/03/23).

Selain itu, Menteri Trenggono juga menghimbau Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (BKIPM) yang salah satu tugasnya menjaga lalu lintas produk perikanan di dalam negeri, untuk terus memperhatikan baku mutu perikanan di Indonesia.

“Kondisi tersebut harus diartikan oleh BKIPM untuk menjalankan tugasnya, terus melakukan pelayanan optimal dalam memberikan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan serta meningkatkan sistem ketertelusuran (traceability),” lanjut Trenggono dalam Mongabay Indonesia.

#zonaebt #sebarterbarukan #ebtheroes #KurangiPlastik #MengolahSampah #Mikroplastik

Editor : Alfidah Dara Mukti

Referensi:

[1] “Ikan Sampah” yang Bertahan di Lahan Basah Sungai Musi

[2] Ikan, Kuliner, dan Kisah Perempuan yang Mulai Kehilangan Nafas di Lahan Basah

[3] Sampah Laut Malut Tak Terkendali, Tingkatkan Potensi Mikroplastik di Tubuh Ikan

[4] Mengulik Bumbu Dapur Batak

[5] KKP Lakukan Pendataan Populasi Ikan Belida