Bagaimana Pajak Karbon Menjadi Alternatif untuk Mendorong Bisnis yang Lebih Ramah Lingkungan?

Ilustrasi Pajak Karbon. Sumber: Gambar dihasilkan menggunakan DALL·E, alat AI dari OpenAI 
  • Emisi CO2 secara langsung berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi karena emisi dihasilkan oleh kegiatan industri dan transportasi. Maka dari itu, muncul istilah pajak karbon.
  • Terdapat dua cara perhitungan pajak karbon, yaitu pajak karbon langsung dan cap-and trade system.
  • Mengkaji kebijakan jangka pendek dan jangka panjang mengenai pajak karbon.

Perubahan Iklim Semakin Nyata

Halo Sobat EBT Heroes! Perubahan iklim bukan lagi sekadar isu yang diperdebatkan, tetapi tantangan nyata yang membutuhkan tindakan. Tahukah kamu bahwa bisnis dapat menjadi lebih berkelanjutan dengan memahami konsep pajak karbon dan potensi penerapannya di masa depan?

Perubahan iklim adalah tantangan global yang tidak dapat diabaikan dan memerlukan respons yang cepat. Saat ini, manusia menghadapi kesulitan untuk mengantisipasi perubahan ekstrem dan ancaman masa depan yang kompleks. Untuk mengatasi keterbatasan ini, kebijakan perubahan iklim yang strategis menjadi solusi paling efektif.

Pendekatan baru terus bermunculan untuk menghadapi ketidakpastian iklim di masa depan, salah satunya adalah aksi berbasis masyarakat (Dulic et al., 2016). Namun, kebijakan yang melibatkan peran aktif masyarakat memerlukan dukungan yang kuat dan berkelanjutan dari komunitas itu sendiri (Li & Su, 2018).

Saat ini, lebih dari 70 % emisi gas rumah kaca berasal dari CO2, yang merupakan penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim (Firdaus, 2017). Tren ini semakin memburuk setiap tahun seiring dengan meningkatnya konsumsi minyak bumi (Lihat gambar di bawah ini).

Sumber: Global Carbon Budget in Our world in data (2024) 

Menurut Hossain dalam Putriani et al., (2018) menjelaskan bahwa emisi CO2 secara langsung berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi karena emisi dihasilkan oleh kegiatan industri dan transportasi. Maka dari itu, muncul ide untuk mengenakan pajak karbon yang dihasilkan dari industri yang mengeluarkan polusi. 

Baca Juga



Memposisikan Pajak Karbon Sebagai Pengendalian Emisi bukan Pendapatan  Semata 

Sobat EBT Heroes pasti sudah familiar dengan istilah pajak karbon. Skema pajak karbon secara umum bermakna pemberlakukan pajak atas konsumsi energi fosil, termasuk produk minyak,  batu bara, gas alam, dan sebagainya (Tan & Lin, 2020). Hal yang perlu dicermati dari pajak karbon adalah naiknya biaya produksi karena energi menjadi  lebih mahal. Namun, emisi yang dikeluarkan akan jauh lebih terkendali. 

Dengan adanya pajak karbon, penggunaan energi kotor akan menurun. Selanjutnya produsen atau industri beralih pada sumber daya energi yang lebih bersih. Pada dasarnya, kebijakan pajak karbon pada kegiatan bisnis (manufacturing dan remanufacturing), efektif untuk mempromosikan investasi pada carbon reduction technology untuk menurunkan emisi karbon  (Lyu et al., 2022).  

Pemerintah dapat memungut pajak karbon atas produk baru yang diproduksi oleh produsen (pajak karbon kebijakan). Hal ini secara tidak langsung mengubah persaingan pasar produk dan meningkatkan daya saing produk manufaktur yang lebih  berkelanjutan (Z. J. Wang et al., 2024). 

Hingga tahun 2021 setidaknya 25% emisi CO2 telah tercover melalui system carbon tax, secara specific lainnya 19% oleh ETS dan hanya 6-7% oleh carbon tax di dunia (lihat gambar di bawah ini). Dibandingkan menerapkan sistem tarif pajak karbon, perdagangan  karbon lebih dominan dilakukan untuk sementara ini.  

Namun perlu Sobat EBT Heroes pahami bahwa dalam carbon pricing, eksis menggunakan dua cara perhitungan, yaitu pajak karbon langsung dan cap-and trade system.  Pajak karbon merupakan satu dari dua cara dalam mengenakan carbon pricing, di mana secara  langsung ditentukan harga per tons emisi yang perlu dibayarkan (Jennifer Morris, 2022). Hal  ini tergantung dari seberapa banyak emisi yang keluar yang akan menentukan pajak yang  akan dibayarkan.  

Hal ini berbeda dengan cara cap-and-trade system dimana akan ditentukan sejumlah emisi  yang diizinkan dan dilepaskan dengan menggunakan emissions permits. Adapun perbedaannya berupa cap-and-trade permits yang didapatkan oleh emitters yang dapat diperdagangkan sehingga carbon price akan tergantung dari supply dan demand dari permits.

Baca Juga



Meninjau Ulang Kesenjangan Metodologis Menjadi Kunci 

Pajak karbon adalah kebijakan yang secara ekonomi ideal untuk mengendalikan emisi CO2 sekaligus mengimbangi dampak eksternal negatif dengan mempertimbangkan biaya dan manfaat. Pertanyaannya, apa tesis praktis pajak karbon saat ini dan bagaimana kita dapat meningkatkan efektivitas instrumen kebijakan ini? Jawabannya adalah mengevaluasi kebijakan jangka pendek sekaligus mengembangkan prospek jangka panjang untuk penetapan harga karbon. 

Secara jangka pendek, langkah yang perlu diambil adalah mengatasi kesenjangan metodologis dalam penentuan dan evaluasi kembali formula perhitungan karbon untuk memperkirakan harga karbon dan biaya sosialnya. Perubahan metodologi yang tepat akan menjadi langkah penting dalam pengembangan kebijakan pajak karbon.

Langkah berikutnya dalam ide jangka pendek adalah menetapkan batas bawah harga karbon yang wajar dan menaikkan harga karbon di pasar secara tepat. Harga karbon merujuk pada biaya yang diperlukan untuk mengurangi emisi. Peningkatan harga karbon akan berdampak pada peningkatan biaya untuk mengurangi emisi karbon sosial, yang pada gilirannya dapat mendorong perusahaan untuk berinovasi dalam teknologi rendah karbon dan berkontribusi pada pengurangan emisi secara lebih efektif.

Secara jangka panjang, kebijakan pajak karbon harus beradaptasi dengan perubahan waktu, khususnya terkait tarif yang ditetapkan. Tarif tersebut harus didasarkan pada biaya pengurangan emisi marjinal yang ditanggung oleh masyarakat dengan mengacu pada perhitungan biaya sosial karbon yang konsisten.

Mari kita mulai peduli dan beraksi untuk menjaga bumi kita dengan meminimalkan emisi karbon dari kegiatan bisnis kita!

#zonaebt #sebarterbarukan #ebtheroes 

Editor: Aghnia Tazqiah

Artikel ini dibuat oleh kontributor: Muhamad Ferdy Firmansyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *