Indonesia dengan kondisi alamnya memiliki potensi besar dalam memanfaatkan energi matahari menjadi energi listrik. Kesadaran dan keterlibatan berbagai pihak memegang peranan besar dalam hal ini.
29 September 2023 – Dengan melihat kondisi alamnya, potensi Indonesia untuk mengembangkan sumber energi surya sebagai energi listrik alternatif sangat besar. Pemanfaatan energi terbarukan ini dapat dilakukan oleh segala lini, termasuk oleh komunitas lokal. Zona EBT mengadakan Mini Class dengan tajuk “Implementasi Proyek Energi Surya untuk Pemberdayaan Komunitas Lokal”. Forum ini menjadi memberi ruang pemahaman bagi masyarakat yang memiliki ketertarikan untuk memulai pemanfaatan energi surya.
Mini Class yang diadakan secara daring pada 29 September lalu ini, menghadirkan Rhaditia Kurnia Asyuri, Research Assistant di Tropical Renewable Energy Center FTUI, dan Andi Rosita Dewi, Project Engineer Renewable Energy Consulting sebagai pembicara. Topik pembahasan kian menarik karena para pemateri memberi gambaran praktis yang terjadi di lapangan.
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menjadi salah satu energi alternatif yang dianjurkan oleh pemerintah. Rhaditia menyampaikan, hal ini karena empat alasan yang dimiliki, dimana penggunaan energi surya akan mengurangi karbon, trilemma energy (energy security, energy equity, environment sustainability), employment, dan power density. Adanya PLTS dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dan membuka kesempatan green jobs. Selain itu, PLTS cenderung membutuhkan lahan yang tak terlalu luas, namun menghasilkan energi yang optimal, terutama di lingkungan tropis seperti Indonesia.
Rosita menambahkan, perawatan dan pembersihan solar PV pun mudah dilakukan, cukup dibersihkan dengan air. Untuk menjaga kebersihannya, solar PV perlu menghindari vegetasi, sehingga tak tertimpa sampah tumbuhan atau pepohonan. Pengawasan solar PV juga dapat dilakukan secara online.
Solar PV mengalami penurunan harga akhir-akhir ini, mengingat energi matahari memang sangat besar dan technology maturity yang lebih signifikan dari perangkat lain. Kesiapan teknologi di lokasi pemanfaatan adalah salah satu poin penting untuk dipertimbangkan.
Komponen lain, seperti baterai solar PV pun mengalami penurunan harga. Penggunaan solar PV cenderung intermittent, digunakan selama adanya sinar matahari. Di waktu-waktu selebihnya, perlu ada penampung energi seperti baterai untuk mendukungnya. Akan tetapi, hal tersebut akan menambah biaya tentunya. Oleh karena itu, saat ini penggunaan solar PV tanpa baterai lebih mengarah pada penghematan biaya listrik, terutama untuk penggunaan di siang hari.
Di kondisi alam Indonesia, penggunaan baterai tidak dianjurkan karena sumber energi matahari sangat mencukupi, meskipun tak sepanjang hari dapat digunakan. Baterai justru perlu temperatur yang sejuk, sehingga akan berisiko dengan cuaca Indonesia. Pemanfaatan dengan baterai biasanya memilih tempat seperti danau, setu, atau waduk agar memiliki temperatur yang cocok.

Rhaditia menekankan, bahwa yang dimanfaatkan solar PV bukan sinar mataharinya, melainkan irradiance-nya yang tak tertangkap oleh mata manusia. Dengan demikian, ketika hujan pun solar PV masih dapat menghasilkan energi. Hal ini juga dapat menjadi keuntungan memilih PLTS.
Melalui forum ini, Rhaditia pun memberi gambaran bagaimana membaca standar kapasitas solar panel dalam maksimum dan realitanya di lapangan. Mencari karakteristik solar power di daerah dapat menggunakan website Global Solar Atlas atau Solar GIS.
“Kalo Indonesia sebenernya udah ideal ya, jadi misalnya kalo kapasitas 500, ya pasti angkanya itu ngga jauh-jauh dari 500, 400 sampai 500 gitu,” jelas Rhaditia.
Pemanfaatan energi tak lepas dari peran bidang sosial, hukum, politik, dan ekonomi. Dengan potensi besar yang dimiliki Indonesia, bahkan sebetulnya Indonesia dapat mengekspor listrik dari energi surya ini. Rhaditia menyampaikan, “kebijakan pemerintah atau pemerintah itu krusial banget untuk energi terbarukan. Terutama PLTS”.
“Energi terbarukan itu memang perlu banyak pemain atau aktor yang bermain di ranah ini gitu, yang dimana bukan hanya soal energi terbarukan, energi fosil, atau energi fosil dengan karbon yang rendah, tapi dengan menggunakan teknologi informasi atau IT, itu data-data energi ya bisa transparan”, tutur Rhaditia.
Sebagai pengguna, masyarakat harusnya mengetahui transparansi kapasitas dan realita besar energi yang digunakan. Hal tersebut berpengaruh pada biaya yang seharusnya dikeluarkan. Rosita menuturkan, Di Jerman, harga listrik berubah tiap hari karena menyesuaikan kapasitas, performa, dan penggunaannya juga. Sudah ada data atau pencatatan soal listrik.ini juga bisa menjadi acuan pemeliharaan bagi customer. Ini yang belum tercapai di Indonesia.

Keterlibatan masyarakat sangat penting dalam proses transisi energi. Rosita menyampaikan, “ada 18 ribu projek PLTS Kementerian ESDM, tapi hanya beberapa yang sustainable atau berkelanjutan, hanya 0,1 persen”. Salah satu faktornya adalah keterlibatan masyarakat yang belum optimal.
Tidak semua daerah di Indonesia dapat dijangkau oleh PLN, sehingga PLTS dapat menjadi alternatifnya. Ketika energi masuk ke lingkungan, tentu akan mengubah perilaku masyarakatnya pula. Menurut Rhaditia, adanya PLTS dapat membantu meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan sumber energi alternatif, sekaligus meningkat kesejahteraan masyarakat.
Rosita menegaskan, “Dengan adanya energi terbarukan, peluang pendidikan dan ekonomi juga akan meningkat”, teknologi dapat berubah, sehingga hal penting lainnya adalah kompetensi SDM yang mengelolanya.
Saat ini, Indonesia masih berada di zona merah dengan status Highly Insufficient untuk target Net Zero Emission di 2060. Pencapaian ini butuh kolaborasi matang ke depannya. Harapannya, pemanfaatan energi terbarukan ini tak hanya menjadi skema pemerintah, namun bentuk kesadaran masyarakat akan dampaknya di berbagai lini kehidupan.