Pertambangan : Bisnis Berkelanjutan atau Risiko Krisis Iklim

Ilustrasi Bisnis Pertambangan Berkelanjutan. Sumber :  tambang.co.id  
  • Nikel semakin melonjak pesat untuk kebutuhan baterai kendaraan listrik (EV), panel surya, dan sistem penyimpanan energi terbarukan.
  • PT Vale Indonesia sebagai contoh green mining akan tetap menjaga lingkungan dengan memegang teguh prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam melakukan aktivitas pertambangan.
  • PT Gag Nikel dihentikan sementara, tetapi pengoperasiannya akan tetap diawasi ketat dan dilakukan evaluasi berdasarkan regulasi yang ada.
  • P ertambangan berkelanjutan harus menggunakan prinsip ESG dan berdiskusi dengan banyak pihak termasuk masyarakat lokal.

Halo Sobat EBT Heroes!

Pertambangan di Raja Ampat, Papua Barat, menjadi isu yang tengah ramai diperbincangkan saat ini. Kegiatan pertambangan ini telah berlangsung sejak tahun 1990-an. Perusahaan pertama yang beroperasi adalah PT Gag Nikel, hasil kolaborasi antara anak usaha Asia Pacific Nickel Pty. Ltd yang memegang 75% saham dan PT Aneka Tambang (Antam) dengan 25% saham.

Kerja sama ini dibentuk karena Indonesia diketahui memiliki cadangan nikel sekitar 240 juta ton bijih dengan kadar nikel sekitar 1,35%, atau setara dengan 3,24 juta ton logam nikel.

Namun, pembentukan kolaborasi ini dinilai telah melampaui batas, karena aktivitas tambang menimbulkan banyak dampak negatif terhadap lingkungan. Ekosistem laut seperti terumbu karang mulai terancam akibat polusi tambang, sementara hutan primer di sekitar kawasan tambang rusak karena penebangan secara paksa. Upaya reklamasi dengan menanam bibit pohon baru tidak sepenuhnya mampu mengembalikan habitat asli yang telah hilang.

Jika aktivitas ini terus berlangsung dengan cara merusak lingkungan dan tidak mengindahkan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance), maka kegiatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai bisnis berkelanjutan. Padahal, tambang nikel dirancang untuk mendukung transisi energi global. Hasil bumi seperti nikel dapat diolah menjadi baterai untuk kendaraan listrik, dan karenanya disebut sebagai “Emas Hijau” yang diharapkan mampu membawa kemakmuran bagi masyarakat Indonesia.

Baca Juga



Adanya Transisi Energi

Ilustrasi Transisi Energi. Sumber : neoenergy.co.id  

Untuk mendukung keberlanjutan di sektor energi, nikel menjadi salah satu mineral logam yang memiliki peran strategis dalam transisi energi. Secara global, permintaan terhadap logam nikel terus meningkat pesat untuk memenuhi kebutuhan baterai kendaraan listrik (EV), panel surya, dan sistem penyimpanan energi terbarukan.

Menurut Arya Rizqi Darsono dari Komite Tetap Minerba Kadin Indonesia, pada tahun 2025 diperkirakan kebutuhan nikel untuk baterai akan mencapai sekitar 25.133 ton. Lima tahun setelahnya, jumlah tersebut diprediksi melonjak menjadi sekitar 37.699 ton.

Kondisi ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi industri pertambangan. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah fluktuasi permintaan global terhadap kendaraan listrik. Namun, jika tren kebutuhan baterai kendaraan listrik terus meningkat, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat produksi nikel dunia.

Studi Kasus Pertambangan Green Mining

Ilustrasi Logo Pertambangan PT Vale Indonesia Tbk. Sumber : rizensia.com  

PT Vale Indonesia merupakan anak perusahaan dari Vale Global yang dikenal sebagai pelopor praktik green mining. Perusahaan ini telah beroperasi sejak tahun 1968 di Sorowako, Sulawesi Selatan. Sebelum menjadi PT Vale, perusahaan ini bernama PT INCO. Perubahan nama entitas terjadi pada tahun 2011 seiring perubahan susunan pemegang saham.

Dalam situs resminya, PT Vale menyatakan komitmennya untuk menjaga lingkungan dengan memegang teguh prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environmental, Social, and Governance/ESG) dalam setiap aktivitas pertambangan. Komitmen ini menjadi bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap keberlanjutan di sektor pertambangan. Proses reklamasi, rehabilitasi, dan pemeliharaan daerah aliran sungai di sekitar area operasional didukung oleh pusat persemaian (nursery) milik perusahaan.

Sesuai prinsip ESG, PT Vale melaksanakan reklamasi hutan secara progresif. Lahan reklamasi tersebar di area operasional dan wilayah penyangga (buffer zone) dengan total luas sekitar 118.017 hektare. Selain itu, perusahaan berkomitmen menjaga lingkungan tetap bersih dari emisi karbon. Untuk mendukung prinsip net zero yang diterapkan Indonesia, PT Vale memanfaatkan tiga pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebagai sumber energi terbarukan.

Dari sisi sosial, perusahaan berfokus pada pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah operasional melalui program pendidikan, pelatihan kerja, dukungan terhadap UMKM, dan pembangunan infrastruktur. Sementara dari aspek tata kelola, PT Vale menjalankan operasionalnya berdasarkan prinsip good corporate governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik.

Studi Kasus Pertambangan Eksploitasi

Ilustrasi Logo Pertambangan PT GAG Nikel. Sumber : gagnikel.id 

PT Gag Nikel merupakan anak usaha dari PT Antam. Pada tahun 2018, perusahaan ini telah memperoleh izin lingkungan melalui dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Meskipun demikian, kegiatan tambang seluas 13.136 hektare ini mulai menuai banyak protes dari aktivis lingkungan dan masyarakat yang khawatir terhadap dampak ekologis di sekitar wilayah operasional.

Perusahaan ini tercatat telah merusak sekitar 500 hektare hutan dan mengancam sekitar 75% kawasan terumbu karang di perairan Raja Ampat. Selain itu, aktivitas pertambangan dinilai bertentangan dengan Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Berdasarkan hal tersebut, sejak 10 Juni 2025, Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup telah mencabut izin operasi empat perusahaan, yaitu PT Anugrah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Rasymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. Sementara itu, PT Gag Nikel tidak termasuk dalam daftar pencabutan izin secara penuh, melainkan dikenai penghentian sementara. Operasional perusahaan ini akan diawasi secara ketat dan dievaluasi sesuai dengan ketentuan regulasi yang berlaku.

Baca Juga



Bisnis Pertambangan Berkelanjutan

Bagaimana bisnis pertambangan bisa menjadi berkelanjutan di tengah pesatnya perkembangan industri tambang? Terlebih saat ini, permintaan terhadap baterai kendaraan listrik terus melonjak tajam, mendorong kebutuhan akan logam-logam kritis seperti nikel. Di satu sisi, tambang menjadi pusat pembangunan industri; di sisi lain, juga menjadi sumber kerusakan lingkungan dan konflik sosial.

Menurut Nimmi Zulbainarni, pertambangan hanya bisa berkelanjutan apabila mengadopsi prinsip ekonomi hijau. Sayangnya, dalam praktiknya, pembangunan tambang sering kali hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak ekologis terhadap hutan, laut, maupun budaya lokal. Seperti yang terjadi di Raja Ampat, di mana aktivitas tambang berisiko menghancurkan ekosistem laut dan sektor pariwisata secara permanen.

Oleh karena itu, mewujudkan bisnis berkelanjutan di sektor tambang tidak cukup hanya dengan memiliki dokumen AMDAL atau sertifikasi lingkungan. Yang terpenting adalah bagaimana perusahaan mampu mengendalikan praktik di lapangan secara adil dan sesuai dengan regulasi, serta menerapkan prinsip tata kelola lingkungan dan sosial berdasarkan standar ESG secara konsisten.

Pertambangan : Demi Masa Depan Atau Kehancuran

Industri tambang dapat dikatakan berkelanjutan apabila dijalankan berdasarkan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance). Artinya, sebelum izin operasi diterbitkan, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap dampak lingkungan baik terhadap sektor pariwisata, keanekaragaman hayati, maupun sumber mata pencaharian masyarakat.

Semua aspek ini harus dibahas secara terbuka dan partisipatif bersama masyarakat lokal, tokoh adat, pemerintah, serta pelaku usaha. Hal ini penting untuk menjaga kelestarian bumi pertiwi, agar tetap dapat dinikmati dengan indah oleh anak cucu di masa depan.

#zonaebt #sebarterbarukan #EBTheroes

Editor : Alfidah Dara Mukti

Referensi