Sebuah fakta menarik bahwa sebanyak 68 persen emisi karbon gas rumah kaca di dunia dihasilkan oleh 10 negara saja. Sepuluh besar negara penghasil emisi terbesar ini antara lain Tiongkok, Amerika Serikat, India, Rusia, Jepang, Iran, Jerman, Korea Selatan, Arab Saudi dan Indonesia. Sementara 32 persen sisanya dihasilkan oleh seluruh sisa negara yang ada. Pernyataan ini disampaikan oleh I Wayan Mustika dalam webinar carbon series yang diadakan Chakra Giri Energi Indonesia, dengan tema “Penerapan Energi Berkelanjutan Menggunakan Energy Monitoring System untuk Menurunkan Emisi Karbon”, pada Rabu (19/10).
Wayan menyampaikan bahwa pada tahun 2020 jumlah emisi karbon yang disumbangkan Indonesia sebesar 568,27. Di mana salah satu sektor paling besar penyumbang emisi tersebut berasal dari sektor energi.
Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), sebuah komitmen dalam mengurangi emisi karbon, sektor energi di Indonesia diprediksi akan menjadi penyumbang emisi GRK terbesar pada tahun 2030, mencapai 1.669 juta CO2e atau 58 persen dari total emisi GRK saat itu. Jumlah ini meningkat 3,6 kali lipat dari tahun 2010 yang mencapai 453,2 juta CO2e.
Berdasarkan dokumen NDC tersebut, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 29 persen dengan usaha sendiri di bawah business as usual (BAU) pada tahun 2030, dan 41 persen dengan bantuan internasional. Spesifik pada sektor energi, target reduksi emisi GRK yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2030 adalah sebesar 314 juta ton CO2e (11 persen) dengan usaha sendiri di bawah BAU atau sebesar 398 juta CO2e (14 persen) dengan bantuan internasional.
Untuk mendukung program pemerintah dalam menurunkan emisi, transisi energi dari fosil menuju energi bersih adalah salah satu upayanya. Namun transisi ini perlu dilakukan secara efisien. Menurut Wayan, efisiensi transisi ini dapat dilakukan dengan teknologi energy monitoring system (EMS).
Secara sederhana EMS dapat diartikan sebagai sebuah sistem teknologi berbasis Internet of Things (IoT) yang dapat memantau penggunaan energi di suatu tempat secara real-time. Selain itu, energy monitoring system dapat menghitung emisi karbon yang dihasilkan melalui penggunaan energi listrik tersebut.
Untuk menghitung berapa emisi yang dihasilkan dalam penggunaan energi listrik, ada sebuah faktor pengali yang mengacu pada berapa CO2 per megawatt listrik yang digunakan, atau bisa disebut sebagai grid emission factors (GEF). Nilai GEF ini akan tergantung pada sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan listrik.
“Rata-rata GEF Indonesia pada tahun 2015 adalah 0,867 kg CO2/kwh. Sementara pada 2017, nilai GEF menjadi 0,755 kg CO2/kwh. Tiap tahun bisa berubah tergantung penggunaan bahan bakar yang digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik. Kalau batu bara, angkanya lebih besar. Sementara dengan renewable energy, GEF ini bisa lebih kecil,” ujar Wayan.
Oleh karena itu, Wayan menyatakan bahwa sistem EMS bisa menjadi referensi bagi pemangku kebijakan untuk mengukur apakah pengurangan emisi karbon sudah sesuai dengan target yang ada atau belum. Sebagai contoh, kata dia, di universitas-universitas di luar negeri sudah banyak yang memiliki target harian berapa energi yang dikonsumsi yang dipantau dengan sistem EMS, sehingga mereka tidak bisa sembarangan menggunakan energi. “Ini bisa jadi kebijakan baru di kita,” ujar Wayan.
Sementara itu, CEO dan Founder Chakra Giri Energi Indonesia Herman Huang, mengatakan bahwa isu transisi energi erat kaitannya dengan agenda prioritas nasional saat ini. Namun Herman Huang menggarisbawahi bahwa transisi energi perlu dilakukan secara bijak dan hati-hati. Sebab saat ini, semua aktivitas manusia tidak bisa tanpa karbon. Di era modern seperti sekarang, pemanfaatan teknologi dapat dilakukan sebagai langkah untuk mengurangi karbon.
Herman Huang juga menyarankan bahwa pengurangan emisi karbon dapat dilakukan pada sektor-sektor yang menggunakan energi dalam skala besar. Dan penggunaan EMS berbasis IoT akan mempermudah penerapan transisi energi tersebut secara bijak.
Senada dengan Herman Huang, Kepala Pusat Industri Hijau dari Kementerian Perindustrian, Herman Supriadi menyampaikan bahwa penerapan transisi energi tepat dilakukan pada sektor industri berat. Menurutnya, ongkos energi di sektor industri ini bisa mencapai 30 persen dari total biaya produksi. Sehingga jika ada penghematan yang besar untuk konsumsi energi dengan menggunakan energi yang ramah lingkungan, maka dapat menurunkan biaya produksi yang signifikan. Untuk itu, penggunaan Green and Smart Monitoring System dapat membantu industri dalam melakukan efisiensi sumber daya energi dan mendukung adanya dekarbonisasi dan transisi energi sektor industri.
Meski pada awalnya transisi energi ini akan membutuhkan biaya investasi yang tidak sedikit, tetapi menurut Herman Supriadi, hal tersebut akan diimbangi oleh keuntungan lainnya. Sedikitnya ada empat keuntungan ekonomi (quadruple effects of economic), antara lain bisa menghemat biaya produksi untuk energi, menggugurkan pajak karbon, mendapat keuntungan dari penjualan karbon, hingga peluang investasi hijau.
3 Comment
Your article helped me a lot, is there any more related content? Thanks!
Thank you very much for sharing, I learned a lot from your article. Very cool. Thanks.
Thank you for your sharing. I am worried that I lack creative ideas. It is your article that makes me full of hope. Thank you. But, I have a question, can you help me?