Mengenal Co-firing, Solusi Alternatif Pengembangan Energi Terbarukan

  • Pada tahun 2024, diperkirakan kapasitas total co-firing pada PLTU PLN mencapai 18 GW
  • Penggunaan biomass co-firing menjadi salah satu usaha untuk mengurangi ketergantungan energi fosil
  • Dengan biomass cofiring sebayak 90 persen batu bara dan 10 persen biomassa, maka kebutuhan batu bara turun menjadi sekitar 108 juta ton

Penyediaan energi terbarukan terus didorong oleh pemerintah demi mencapai bebas emisi. Penggunaan energi biomassa memang sudah semakin luas dimanfaatkan di Indonesia. Terdapat teknik dalam penggunaan energi biomassa, yaitu co-firing biomassa.

Co-firing merupakan rancangan substitusi batubara pada rasio tertentu dengan bahan biomassa seperti wood pellet, cangkang sawit dan sawdust (serbuk gergaji). Pada tahun 2024, diperkirakan kapasitas total co-firing pada PLTU PLN mencapai 18 GW. Rencana co-firing ini ditujukan untuk mendukung pengembangan EBT di Indonesia.

Baca juga:



Selain dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap, tetapi Co-firing biomassa juga dapat menjadi solusi permasalahan sampah sekaligus menggerakkan roda ekonomi di Indonesia. Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menyebutkan penggunaan biomass co-firing menjadi salah satu usaha untuk mengurangi ketergantungan energi fosil.

Saat ini, lanjutnya, sejumlah PLTU di beberapa daerah sudah melakukan uji coba biomass co-firing dan berhasil. Skema itu mampu mencampur biomassa dengan batu bara, sehingga pemanfaatan batu bara sebagai bahan baku pembangkit listrik dapat dikurangi secara perlahan dan berkelanjutan.

“PLN mencoba dan sudah berhasil di beberapa pembangkit mereka untuk mengurangi penggunaan batubara melalui cofiring biomassa dan hasilnya cukup bagus. Ini penting juga dilakukan karena dapat mendorong bauran EBT, dan secara otomatis akan membantu mengurangi sampah juga meningkatkan keekonomian,” sebut Mamit, Kamis (9/9/2021).

Terdapat pula Guru Besar Teknik Elektro dari Universitas Indonesia, Iwa Garniwa yang turut menyuarakan teknik co-firing biomassa ini. Beliau menyebutkan bahwa biomass cofiring merupakan salah satu alternatif yang dapat didorong untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebanyak 23 persen pada 2025, alih-alih hanya fokus ke pengembangan PLTS Atap yang hingga kini masih menuai perdebatan dalam hal peraturannya.

Dengan cofiring, penggunaan batu bara pada pembangkit dikurangi. Dalam skala besar dan lebih panjang, langkah ini akan dapat mengatasi masalah Indonesia yang sedang mendorong energi bersih.”Batu baranya sebagian kita ganti. Ada bahasanya cofiring. Jadi [misalnya] 90 persen batu bara, 10 persen biomass. Biomass, sampah, kan renewable energy. Sampah, biomass, itu dikonversi menjadi batu bara. Dicampurlah. Ini berarti penggunaan batu bara sudah berkurang 10 persen,” tambah Iwa Garniwa.

Baca juga:



Beliau menyebutkan bahwa kebutuhan batu bara di Indonesia mencapai sekitar 120 juta ton. Dengan biomass cofiring sebayak 90 persen batu bara dan 10 persen biomassa, maka kebutuhan batu bara turun menjadi sekitar 108 juta ton karena sebanyak 12 juta ton sudah digantikan oleh biomassa.

Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Sahid Junaidi menyebutkan tantangan terbesar dalam implementasi cofiring biomassa adalah usaha untuk menjaga keberlanjutan suplai bahan baku biomassa dengan tetap memperhatikan aspek ekonomi.

Menurut laman resminya, menjaga keberlanjutan pasokan bahan baku dinilai menjadi hal yang sangat penting untuk menjaga harga listrik yang dihasilkan tetap terjangkau dan tidak melebihi biaya pokok penyediaan (BPP) yang ditetapkan.

zonaebt.com

Renewable Content Provider

#zonaebt #sebarterbarukan #cofiring #biomassa #ekonomi

Editor : Bunga Pertiwi

Referensi:

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210909191334-90-692233/pakar-biomass-cofiring-solusi-alternatif-transisi-energi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 Comment