Untung rugi Indonesia berdagang emisi Karbon

Berita tentang perdagangan karbon akhir-akhir ini semakin marak. Bukan hanya di tingkat nasional tetapi juga pada tingkatan internasional. Berbagai isu dan spekulasi kemudian berkembang dan hanya sedikit yang sesuai dengan fakta yang ada.

Di artikel kali ini, Admin Zonaebt. Mencoba mengulas lebih dalam terkait Untung rugi Indonesia berdagang emisi Karbon.

Awal 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memproyeksikan tambahan pendapatan sebesar Rp 350 triliun melalui penjualan kredit karbon. Hal ini diakibatkan mengingat lahan gambut dan hutan yang dimiliki Indonesia sebagai penyerap karbon mempunyai lahan yang luas.

Dana perkiraan sebesar Rp 350 triliun melalui penjualan kredit karbon. Potensi tersebut mendorong pemerintah untuk menyiapkan aturan tentang perdagangan karbon dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Regulasi ini direncanakan akan rampung pada Bulan Agustus 2020 yang sudah berlalu. Namun, hingga Bulan Juni 2021. Belum nampak akan kejelasan terkait diterbitkannya.

Bila ditinjau lebih jauh lagi, dilansir dari katadata.co.id Perpres tentang perdagangan karbon sudah mulai disusun sejak 2019. Saat ini, draf regulasi tersebut sedang dibahas di tingkat Sekretariat Kabinet dan Kementerian Sekretariat Negara. Draf Perpres akan segera dibawa ke Kementerian Hukum dan HAM untuk kemudian dibahas antar kementerian. “Proses sudah lama disiapkan,” kata Siti Nurbaya beberapa waktu lalu.

Baca juga:



Siti mengatakan, regulasi tersebut akan mengatur tiga skema dalam perdagangan karbon, yakni:

  1. Cap and trade,
  2. Result based payment (RBP)
  3. Carbon offset

Sebelum berbicara lebih jauh lagi. Ada Baiknya kita memahami apa itu perdagangan karbon. Apa untung dan ruginya untuk Indonesia

Perdagangan karbon atau Carbon trading merupakan kompensasi yang diberikan oleh negara atau swasta. Dalam hal ini industri maju (penghasil karbon) untuk membayar kerusakan lingkungan akibat asap dari karbondioksida (CO2) kepada negara/swasta pemilik hutan (menyerap karbon). Mekanisme ini telah menjadi solusi dari beberapa negara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Menurut dari Kurniawan selaku dosen dari Universitas Pendidikan Ganesha Bali. Perdagangan karbon (carbon trading) tidak jauh berbeda dengan transaksi jual beli yang dilakukan pada pasar konvensional. Berbeda hanya pada komoditas yang dijual berikan. Yaitu emisi karbon tersendiri.

Berikut merupakan beberapa Emisi karbon yang biasa diperdagangkan. Karena beberapa emisi ini menjadi pemicu utama dalam pemanasan global di Bumi dan akhirnya menyebabkan perubahan iklim. Untuk lebih lengkapnya sebagai berikut:

  1. Karbon dioksida (CO2)
  2. Metana (CH4)
  3. Nitrat oksida (N2O)
  4. Hidrofluorokarbon (HFCs)
  5. Perfluorocarbon (PFCs)
  6. Sulfur heksa fluorida (SF6).

Untung bisnis jual emisi karbon untuk Indonesia

Wilayah Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai pulau Rote. Bisa dipikirkan sendiri berapa besar potensi yang ada untuk dimanfaatkan sebagai sertifikat Perdagangan karbon. Menurut keterangan dari Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya menyebut Indonesia berpotensi menjadi negara adidaya tanpa emisi karbon. Hal ini mengingat potensinya yang cukup besar dalam sumber daya energi terbarukan.

“Indonesia memiliki lahan gambut seluas 7,5 juta hektar, mangrove 3,1 juta hektar, dan hutan seluas 180 juta hektar yang berkontribusi terhadap penyerapan gas karbon dunia,” kata Luhut beberapa waktu lalu. Diakses dari katadata.co.id

Indonesia sudah menjual emisi karbon sejak tahun 2005, salah satunya melalui proyek CDM (Clean Development Mechanism) atau Mekanisme Pembangunan Bersih.Proyek CDM merupakan proyek penurunan emisi di negara berkembang yang bertujuan mendapatkan sertifikasi penurunan emisi (certified emission reduction) atau CER. Kerja sama ini menghasilkan investasi sebesar US$150 juta atau Rp2,1 triliun

Hasil simulasi dari penelitian Kementerian Keuangan menunjukkan setiap tahun perdagangan karbon akan menyumbangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 7,5–26,1% dari realisasi pendapatan dari barang dan jasa (Pendapatan Badan Layanan Umum/BLU) tahunan untuk periode 2011-2018 atau sekitar Rp 350 triliun dengan asumsi bahwa pemerintah memiliki komitmen yang tinggi untuk menekan laju deforestasi hutan dan menyusun kebijakan yang mendukung pelestarian hutan.

Baca juga:



Jika potensi ini dimaksimalkan, perdagangan karbon akan memiliki peran yang begitu besar untuk penerimaan negara.

Selain keuntungan dari aspek finansial negara, dilansir dari Mediaindonesia.com perdagangan karbon juga terbukti memberi manfaat baik dari segi ekonomi dan lingkungan. Dharsono Hartono, CEO PT Rimba Makmur Utama yang juga aktif dalam proyek “Katingan Mentaya”, proyek pendanaan karbon untuk mencegah perubahan iklim di Kalimantan Tengah, memaparkan manfaat perdagangan karbon dirasakan cukup nyata dalam 15 tahun terakhir.

Adapun dari proyek ini, dapat mencegah pelepasan GRK setara dengan 7,5 juta ton CO2 dalam setahun. Proyek ini juga melindungi satu kawasan hutan rawa gambut utuh terbesar di Asia Tenggara, seluas lebih dari 157.000 hektar Selama ini Rimba Makmur berfokus untuk bermitra dengan masyarakat, mendorong cara melakukan transformasi untuk mengubah kegiatan deforestasi di masyarakat. “Bahu membahu supaya terjadi kenaikan produktivitas tanpa harus merusak hutan,” ujarnya. (RO/OL-7).

Rugi Indonesia jual emisi karbon

Menurut dari NGO Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Dari pihak WALHI menganggap perdagangan karbon merupakan upaya makelar dalam mencari keuntungan untuk menciptakan perdagangan baru. Dilansir dari Katadata.co.id.

“Ini motifnya bisnis. Yang menikmati bukan alam dan mereka yang hidup di alam. Yang menikmati ya perusahaan, yang berdagang karbon itu,” ujar Manager Kampanye Iklim Eksekutif Nasional WALHI, Yuyun Harmono

Tak hanya itu, ia juga menilai perdagangan karbon berpotensi memberikan celah bagi perusahaan yang bergerak di industri ekstraktif untuk tidak benar-benar secara serius menurunkan emisi gas rumah kaca. Padahal, perusahaan yang bergerak di industri itu seharusnya dapat mentransformasikan bisnisnya dari energi berpolusi ke ramah lingkungan.

Dengan adanya karbon kredit, sektor industri dapat leluasa mengkompensasi dan membayar sejumlah uang tanpa harus repot-repot menjaga emisi gas buang yang dikeluarkan. Dengan adanya perdagangan karbon mereka akan melanjutkan aktivitasnya. “Mereka masih akan terus mengemisi asalkan mereka membeli karbon di tempat lain,” kata dia.

Dia pun menghimbau agar pemerintah tidak melegalkan aturan ini hanya demi mencari cuan. Keuntungan dari bisnis ini hanya dinikmati korporasi yang tidak benar-benar secara serius menurunkan emisi karbon.

Informasi secara terpisah, Menurut Peneliti Iklim dan Energi dari Greenpeace, Adila Isfandiari, menyoroti beberapa persoalan mengenai carbon trading yang pada akhirnya membuat skema ini tak efektif dalam menyelesaikan masalah emisi karbon. Skema ini malah menjadi justifikasi bagi polluted sector untuk tetap melepas emisi karbon selama mereka bisa memenuhi ketentuan dari skema yang dibuat.

Selain itu, dia juga mempertanyakan seberapa transparannya perdagangan karbon yang nantinya dibuat oleh pemerintah untuk industri pelepas emisi karbon itu. Pasalnya, skema ini bisa menjadi celah baru untuk negosiasi antara pengusaha industri dengan pemerintah. Apabila transparansi belum terjamin, maka pengurangan emisi karbon pun tidak akan maksimal. Jadi pihaknya berpendapat, kalau ingin mengurangi emisi karbon secara signifikan, satu-satunya cara adalah melakukan transisi energi secara masif. “Kalau dari sisi hutan, ya menerapkan zero deforestasi,” ujarnya.

Perdagangan Karbon Tak Kurangi Deforestasi

Yuyun (Manager Kampanye iklim eksekutif Nasional WALHI. Berpendapat perdagangan karbon tak menjamin Indonesia bebas dari penyalahgunaan hutan, penggundulan hutan, atau yang disebut deforestasi. Dia berujar, mencegah penggundulan hutan tidak harus melalui perdagangan karbon, namun melalui kebijakan dari pemerintah yang lebih kuat.

Misalnya, moratorium pembukaan lahan primer dan lahan gambut yang saat ini telah dipermanenkan, tapi masih memiliki celah. Peta indikatif wilayah yang dilindungi itu bisa berubah dalam enam bulan sekali. bahwa daerah yang dulunya dilindungi itu kemudian jadi daerah yang tidak dilindungi dalam kebijakan moratorium itu,” katanya.

Emisi Karbon Berjangka

Emisi Karbon Dapat dijual belikan melalui london carbon trading exchange. Harga dan pergerakannya dapat diakses pada link berikut ini.

https://id.investing.com/commodities/carbon-emissions

Harapan kita bersama

Meski memiliki kekurangan dan kelebihan. Namun, pengembangan ini harus disertai dengan komitmen yang kuat, terutama dalam menetapkan peraturan terkait perdagangan karbon serta pembagian manfaat bagi masyarakat setempat.

Masyarakat adat atau lokal. Harus paling terdepan dilibatkan. Mereka selama ini memanfaatkan hutan untuk kehidupan. Hidup mati mereka bergantung dengan hutan. Jadi diperlukan program yang nyata untuk melindungi hak asasi kehidupan masyarakat adat atau lokal.

Kepentingan segelintir pihak yang menguntungkan para pejabat duduk di gedung jakarta. Harus kita sampingkan

#ebt #energi #power #terbarukan #solarpanel #bumn #esdm #indonesia #carbon #listrik #fosil #ebt

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *